DuniaEnergi.com, 31 Mei 2021
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) merupakan salah satu komponen dalam struktur harga eceran bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Pasal 73 PP No 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas menetapkan bahwa harga jual eceran BBM di dalam negeri merupakan harga dasar di tingkat wholesale yang ditambahkan dengan biaya distribusi, margin pengecer, dan pajak.
Sementara itu, UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mendefinisikan bahwa PBBKB merupakan pajak atas penggunaan BBM yang meliputi semua jenis bahan bakar cair dan gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Regulasi tersebut menetapkan bahwa PBBKB merupakan satu dari lima jenis pajak yang kewenangannya melekat pada Pemerintah Provinsi.
Berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 tersebut subjek PBBKB adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor. Wajib pajak bahan bakar kendaraan bermotor meliputi orang pribadi atau badan yang menggunakan bahan bakar kendaraan bermotor. Sementara itu, pemungutannya ditugaskan untuk dilakukan oleh penyedia bahan bakar kendaraan bermotor. Basis dari pengenaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor tersebut adalah nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Regulasi tersebut menetapkan tarif PBBKB di seluruh wilayah Indonesia paling tinggi adalah sebesar 10 %.
Jenis BBM dan PBBKB
Berdasarkan Perpres No 191 Tahun 2014 jo Perpres No 43 Tahun 2018 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, kelompok BBM terbagi menjadi tiga jenis meliputi BBM Tertentu, BBM Khusus Penugasan, dan BBM Umum. Dalam kaitanya dengan PBBKB tersebut, Perpres No 191 Tahun 2014 menetapkan besaran PBBKB untuk harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan harga jual eceran Jenis BBM Khusus Penugasan sebesar 5%. Sedangkan besaran PBBKB untuk harga jual eceran Jenis BBM Umum ditetapkan sesuai dengan peraturan daerah provinsi setempat.
Permen ESDM No 39 Tahun 2014 (yang diubah keenam dengan Permen ESDM No 40 Tahun 2018) tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, mengatur hal serupa. Permen tersebut merupakan aturan pelaksana dari Pasal 14 ayat (1) Perpres No 191 Tahun 2014. Sama seperti Perpres tersebut, Permen ESDM No 39 Tahun 2014 juga menetapkan besaran PBBKB untuk harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan harga jual eceran Jenis BBM Khusus Penugasan sebesar 5%.
Dalam Permen ESDM tersebut ditetapkan bahwa PBBKB untuk harga jual eceran jenis BBM Umum sesuai dengan peraturan daerah provinsi setempat. Permen tersebut menetapkan bahwa harga jenis BBM Umum terendah ditentukan berdasarkan harga dasar ditambah PPN dan PBBKB dengan tarif paling rendah 5% dari harga dasar. Sementara harga tertinggi ditentukan berdasarkan harga dasar ditambah PPN dan PBBKB dengan tarif paling tinggi 10%.
Berdasarkan regulasi yang ada tersebut, peluang untuk terjadinya perbedaan harga eceran BBM khususnya jenis BBM Umum antara di provinsi yang satu dengan provinsi yang lainnya sangat terbuka. Hal tersebut karena regulasi yang ada memang memberikan ruang bagi Pemerintah Provinsi untuk dapat menerapkan tarif PBBKB dalam rentang 5% sampai 10% dari harga dasar BBM. Dalam hal ini yang diperlukan kemudian adalah kebijaksanaan dari Pemerintah Daerah Provinsi setempat, akan memilih tarif PBBKB terendah atau tertinggi.
Karena merupakan komponen pembentuk harga, kebijakan dalam menetapkan tarif PBBKB oleh Pemerintah Provinsi akan memberikan dampak secara langsung terhadap harga jual eceran BBM yang akan dibayar oleh konsumen di wilayah yang bersangkutan. Jika Pemerintah Daerah Provinsi mengutamakan untuk menjaga daya beli masyarakat di wilayahnya, pilihan kebijakan yang logis untuk diambil adalah menetapkan tarif PBBKB dengan tingkat terendah yaitu 5%. Melalui penetapan tarif PBBKB yang lebih rendah, harga jual eceran jenis BBM Umum relatif dapat menjadi lebih murah.
Sementara itu, jika Pemerintah Daerah Provinsi mengutamakan tambahan penerimaan pajak untuk daerahnya, pilihan kebijakan yang relevan adalah menetapkan tarif PBBKB dengan tingkat tertinggi dalam hal ini sebesar 10%. Melalui tarif yang lebih tinggi dan dengan asumsi volume penjualan BBM di wilayah tersebut sama maka penerimaan pajak dari PBBKB untuk Pemerintah Provinsi setempat akan lebih besar. Dalam hal ini yang perlu dipahami bersama adalah peningkatan penerimaan pajak daerah dari PBBKB tersebut memberikan konsekuensi bahwa masyarakat harus membayar harga BBM lebih mahal dari sebelumnya.
Regulasi yang ada menetapkan bahwa penyedia BBM sebagai wajib potong PBBKB. Artinya dalam hal ini baik Pertamina, Shell, Total, AKR-BP, ExxonMobil, Vivo, dan pihak lainnya yang melakukan bisnis niaga BBM wajib memotong PBBKB atas BBM yang dijual kepada konsumen atau pembeli mereka. Karena itu, jika Pemerintah Provinsi di mana mereka melaksanakan bisnis niaga BBM meningkatkan tarif PBBKB, secara otomatis para pihak tersebut akan menaikkan harga eceran BBM yang mereka jual.
Kenaikan harga eceran BBM tersebut bukan akibat dari biaya produksi, margin usaha, atau biaya distribusi BBM yang meningkat, tetapi semata-mata karena terdapat tambahan beban pajak akibat tarif PBBKB yang lebih besar dari sebelumnya. Sebagai wajib potong, para pelaku bisnis niaga BBM secara otomatis akan menambah besaran potongan pajak yang dibebankan pada harga eceran BBM jika terdapat peningkatan tarif PBBKB. Jika tidak melakukan, justru para pihak tersebut yang keliru karena tidak patuh atau tidak melaksanakan amanat dari undang-undang perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan regulasi yang ada tersebut, para pihak terutama stakeholder di daerah perlu lebih memahami konsekuensi dari pemberlakukan atau penyesuaian tarif PBBKB. Dalam konsep ekonomi, komponen pajak berkebalikan dengan subsidi. Jika kebijakan pemberian subsidi berdampak pada penurunan harga produk yang diberikan subsidi, sebaliknya pemberlakuan pajak termasuk dalam hal ini peningkatan tarif PBBKB akan meningkatkan harga produk yang dikenakan pajak tersebut. (*)