Wednesday, September 3, 2025
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2025Peluang Pasar Tembaga Indonesia di Era Kebijakan Tarif Trump

Peluang Pasar Tembaga Indonesia di Era Kebijakan Tarif Trump

Katadata.co.id; 28 Agustus 2025
Penulis: Pri Agung Rakhmanto,
Founder & Advisor ReforMiner Institute, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti

Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif impor produk tembaga setengah jadi (semi-fabricated) seperti bars, rods, plates, foil, tubes, dan fittings dari 25% menjadi sebesar 50% pada 31 Juli 2025. Kebijakan ini diambil untuk menjamin pasokan tembaga, sehingga AS tidak bergantung pada sekelompok kecil pemasok.

Selama ini, tembaga dipakai sebagai kebutuhan esensial bagi industri pertahanan, infrastruktur, hingga transisi energi AS. Ketergantungan terhadap sekelompok kecil pemasok akan meningkatkan risiko terhadap keamanan nasional. Dengan kebijakan tarif ini, AS berupaya menciptakan rantai pasok baru yang berasal dari multisumber. Langkah ini juga dimaksudkan untuk mendukung produsen domestik dengan mengurangi persaingan dari produk impor berharga rendah yang berasal dari negara non-mitra.

Secara langsung maupun tidak langsung, kebijakan ini akan mengondisikan negara-negara mitra agar memasok tembaga ke AS dengan harga yang lebih kompetitif. Negara-negara eksportir besar yang tidak memiliki status Most Favored Nation (MFN) diperkirakan paling terkena dampak kebijakan tarif Trump ini.

Misalnya, Jerman yang selama ini menjadi pemasok utama produk tembaga setengah jadi terbesar dunia, dipastikan dapat terkena dampak secara langsung. Begitu pun Cina yang menjadi pemasok terbesar di bawah Jerman. Cina selama ini berperan sebagai pemasok penting tembaga setengah jadi bagi industri AS, menghadapi risiko kehilangan pangsa pasar yang besar karena tidak memperoleh perlakuan tarif khusus.

Italia, yang berada di peringkat kelima eksportir setengah jadi dan sekaligus importir penting, juga berpotensi terganggu rantai pasoknya. Ini dapat meningkatkan kerentanan pada perdagangan bilateral. Sedangkan Belgia menjadi pihak yang menghadapi risiko ganda, karena menjadi salah satu eksportir utama produk tembaga setengah jadi yang langsung terkena tarif 50%.

Selama ini Belgia merupakan pemasok global untuk tembaga unrefined atau produk intermediate (matte, ash, precipitate). Meski produk tembaga tersebut tidak dikenakan tarif secara langsung, namun tetap berada dalam lingkup kebijakan diversifikasi pasokan AS. Kondisi ini menempatkan Belgia pada posisi yang lebih rentan dibandingkan pemasok lain. Sebelum adanya tarif impor Trump ini, pasar tembaga global diproyeksikan mengalami perlambatan dalam satu-dua tahun ke depan. Harga tembaga diprediksi mengalami penurunan dari US$9.142 per metrik ton pada 2024 menjadi US$8.200 per metrik ton dan US$8.000 per metrik ton pada 2026. Penurunan ini setara dengan koreksi tahunan sekitar 10,3% pada 2025 dan 2,4% pada 2026.

Sebelum adanya tarif impor Trump ini, pasar tembaga global diproyeksikan mengalami perlambatan dalam satu-dua tahun ke depan. Harga tembaga diprediksi mengalami penurunan dari US$9.142 per metrik ton pada 2024 menjadi US$8.200 per metrik ton dan US$8.000 per metrik ton pada 2026. Penurunan ini setara dengan koreksi tahunan sekitar 10,3% pada 2025 dan 2,4% pada 2026.

Prospek harga tersebut dipengaruhi oleh pelemahan permintaan global, khususnya dari sektor properti Cina. Bank Dunia juga menekankan bahwa dalam skenario perlambatan ekonomi global yang lebih tajam, harga tembaga dapat turun hingga 19% pada 2025, sehingga meningkatkan risiko bagi negara pengekspor. Penurunan harga global yang bertepatan dengan pemberlakuan tarif Trump akan menekan posisi eksportir besar yang tidak mendapat pengecualian, seperti Jerman dan Cina.

Di sisi lain, Indonesia justru berpeluang mendapatkan manfaat pasar atas kondisi ini. Sejauh ini, Indonesia mendapatkan pengecualian dari tarif impor tembaga 50% berkat kesepakatan perdagangan timbal balik dengan AS. Sebagai bagian dari kesepakatan itu, Indonesia menyetujui penghapusan pembatasan ekspor komoditas industri, termasuk mineral kritis ke AS. Sebagai negara yang termasuk dalam kategori MFN untuk tembaga, di dalam fasilitas Generalized System of Preferences (GSP), produk tembaga Indonesia yang ditandai dengan status khusus “A” pada Harmonized Tariff Schedule dapat masuk ke pasar AS dengan tarif 0%.

Sebagian besar ekspor tembaga Indonesia, termasuk dalam kategori tembaga murni (refined) yang dikenakan tarif 0%. Potensi manfaat ini bisa semakin signifikan jika dikaitkan dengan status tembaga yang dikategorikan sebagai mineral transisi strategis. Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) menekankan bahwa tembaga dikategorikan sebagai Mineral Kritis Transisi (Transitional-Critical Mineral/TCM) lintas-sektor yang sangat penting bagi teknologi rendah karbon.

Permintaan TCM (termasuk tembaga) dapat meningkat antara dua hingga sepuluh kali lipat dalam skenario Net Zero Emission (NZE) 2050. Kebijakan tarif impor tembaga Trump 50%, meskipun belum tentu secara langsung akan dapat mendorong ekspor tembaga Indonesia ke AS, tetap akan memperkuat daya saing ekspor tembaga Indonesia. Ini sekaligus memposisikan kita sebagai salah satu mitra pasokan yang lebih andal bagi AS.

Di tengah kemungkinan situasi pasar dan harga tembaga global yang cenderung melemah, posisi Indonesia dapat dikatakan diuntungkan karena akses pasar yang relatif (lebih) terjaga. Kebijakan tarif impor tembaga Trump sebesar 50% pada dasarnya menunjukkan semakin eratnya kaitan antara perdagangan internasional, geopolitik mineral transisi energi, dan secara lebih khusus pentingnya jaminan-akses rantai pasok tembaga bagi pertahanan dan industri energi AS. Langkah ini mencerminkan upaya AS untuk mengocok ulang keseimbangan pasar tembaga global, sekaligus memperkuat posisi tawar AS terhadap negara-negara yang selama ini menjadi eksportir utama tembaga global.

Tujuan utamanya adalah memastikan akses pasokan yang lebih besar, lebih beragam sumbernya, sekaligus lebih murah bagi kebutuhan domestik yang terus meningkat. Indonesia, dengan kesepakatan tarif resiprokal dengan AS yang ada, dimana tembaga mendapatkan pengecualian berupa tarif 0%, berpotensi mendapatkan manfaat atas kondisi tersebut. Namun, ini tetap tidak menjamin bakal adanya perhatian khusus dari AS, karena strategi mereka berfokus pada diversifikasi multisumber, dan faktor geografis membuat Indonesia tidak otomatis menjadi pemasok utama.

Dengan demikian, meskipun Indonesia berpotensi mendapat keuntungan, relevansi dan eksistensi tembaga Indonesia dalam dinamika pasar tembaga global tetap harus dijaga. Sebagaimana AS yang menerapkan strategi diversifikasi multisumber untuk pasokannya, kita pun harus menerapkan strategi diversifikasi multipasar untuk tembaga kita.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments