Media Indonesia, 13 September 2010
JAKARTA–MI: Mundurnya pemberlakuan kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan membatasi pemakaian pada kendaraan bermotor menunjukkan ketidaksiapan pemerintah terhadap rencana tersebut. Kebijakan tersebut merupakan solusi instan yang tidak menghapus masalah utama, yakni ketergantungan terhadap BBM.
“Pemerintah belum memiliki rencana yang matang mengenai pembatasan BBM bersubsidi. Dari rencana awalnya saja belum siap, apalagi pengaplikasiannya di lapangan,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada Media Indonesia , Senin (13/9).
Ia mengungkapkan, rencana pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan rencana lama yang sudah diwacanakan sejak tahun 2008. Namun hingga kini belum ada kebijakan yang matang untuk mendukung wacana pembatasan BBM bersubsidi ini.
“Wacana pembatasan ini selalu ada jika anggaran subsidi untuk BBM meningkat. Namun rencana kongkritnya belum ada hingga sekarang,” kata Pri.
Menurutnya, pemerintah selama ini hanya berkutan dengan masalah pembatasan BBM. Padahal, pembatasan BBM ini hanyalah solusi instan terkait dengan penurunan anggaran untuk subsidi BBM.
“Masalah sebenarnya yang harus diselesaikan pemerintah adalah bagaimana mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap BBM. Karena saat ini 70% sumber energi kita adalah BBM,” imbuhnya.
Pri pun mengingatkan, dari tahun ke tahun BBM bersubsidi selalu melebihi kuota yang telah ditetapkan. Meski demikian, ia melihat pemerintah tidak serius dalam menanganinya.
“Dari tahun ke tahun realisasi penggunaan BBM bersubsidi selalu lebih 1-1,5 juta kilo liter dari kuota yang ditetapkan. Namun walaupun realisasi volume terus meningkat, jika anggaran untuk subsidi tetap aman, maka pemerintah tetap tidak melakukan langkah-langkah yang signifikan,” ujarnya.
Untuk itulah, lanjut Pri, yang harus dilakukan pemerintah selain melakukan pembatasan terhadap BBM bersubsidi adalah dengan mengembangkan sumber bahan bakar lain dan mengembangkan transportasi massal. Ia memberi contoh, pengembangan bahan bakar lainnya dapat dilakukan dengan mengembangkan bahan bakar gas (BBG) atau dengan bahan bakar nabati.
“Namun lagi-lagi pengembangan bahan bakar lainnya lagi-lagi hanya menjadi wacana lama. Rencana pengembangan bahan bakar nabati sendiri sudah ada sejak tahun 2005 pada saat kita menaikkan harga BBM sebesar 120 %, namun hingga kini belum ada hasilnya. Padahal jika sejak saat itu sudah diberlakukan, saat ini kita sudah bisa menikmati hasilnya,” tandas Pri. (*/OL-3)