PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Indonesia Finance Today, 22 Februari 2011
Mencermati apa yang dilakukan pemerintah selama ini dalam upaya mengatasi permasalahan klasik subsidi Bahan Bakar Minyak, tampaknya selalu tak jauh beranjak dari upaya pembatasan konsumsi Bahan Bakar Minyak bersubsidi. Wacana pembatasan konsumsi Bahan Bakar Minyak dengan berbagai pilihan skenario ini telah berulangkali mengemuka.
Namun, hingga hari ini, belum atau tidak ada satu pun yang telah secara konkret diimplementasikan. Yang terkini, jika sesuai rencana dan mendapatkan persetujuan resmi dari Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu mulai April 2011 di wilayah Jabodetabek akan diterapkan pembatasan hanya angkutan umum dan sepeda motor yang diperbolehkan mengonsumsi Bahan Bakar Minyak bersubsidi, sedangkan mobil plat hitam diharuskan beralih ke Bahan Bakar Minyak non-subsidi, seperti Pertamax dan setaranya.
Plus Minus Pembatasan
Sepintas kebijakan ini tampak bagus karena dapat membuat subsidi Bahan Bakar Minyak lebih tepat sasaran dan tampak seolah tidak ada kenaikan harga. Namun, jika ditinjau lebih jauh kebijakan ini memiliki cukup banyak kelemahan dan memiliki sejumlah prasyarat.
Di balik pembatasan ini sesungguhnya terdapat unsur kenaikan harga, yang meskipun tampaknya terbatas bagi kalangan pemilik mobil plat hitam, namun sesungguhnya kenaikan itu secara nominal dan persentase amat sangat besar, dari Rp 4.500 per liter ke Rp. 7.950 per liter.
Tambahan inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan ini bisa mencapai 0,7% (Kompas, 21/2/2011), atau berarti bisa lebih tinggi jika dibanding menaikkan harga Bahan Bakar Minyak dalam besaran terbatas, contohnya Rp 500 per liter.
Kebijakan ini juga sangat berpotensi menimbulkan distorsi dan permasalahan-permasalahan baru, yaitu munculnya pasar gelap bensin premium bersubsidi yang akan sangat sulit diawasi karena disparitas yang demikian lebar antara harga bensin premium dan bensin setara Pertamax.Dengan disparitas harga mencapai Rp 3.450 per liter dan kencenderungan akan semakin lebar seiring penguatan harga minyak yang kemungkinan akan terus terjadi pada 2011, peluang terjadi distorsi yang berakibat tidak efektifnya kebijakan ini semakin terbuka.
Sehingga, tujuan penghematan anggaran yang diklaim dapat mencapai lebih dari Rp 3 triliun diragukan. Terlebih, tak ada yang dapat menjamin konsumsi bensin premium subsidi benar-benar akan dapat ditekan sesuai kuota anggaran, karena kebijakan ini pada gilirannya akan makin memacu pertumbuhan penggunaan sepeda motor dan konsumsi bensin premiumnya – secara lebih cepat.
Kesiapan Infrastruktur
Agar efektif, kebijakan ini memerlukan kesiapan infrastruktur distribusi dan pasokan yang saat ini relatif masih terbatas. Kurang lebih sebulan menjelang jadwal penerapan kebijakan tersebut, masih ada sekitar 120 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di wilayah Jabodetabek yang belum sepenuhnya siap menyalurkan dan mendistribusikan Pertamax.
Jika kebijakan pembatasan ini diterapkan di tengah ketidaksiapan infrastruktur, tentu akan merugikan masyarakat karena Pertamax tak selalu dapat dijumpai dengan mudah.
Risiko yang lebih buruk jika kebijakan ini dipaksakan di tengah ancaman tingginya harga minyak internasional seperti sekarang, yang bahkan telah menembus batas psikologis US$ 100 per barel, adalah tak ada jaminan bagi masyarakat ketika kebijakan pembatasan Bahan Bakar Minyak ini benar-benar diterapkan, pemerintah tak akan menaikkan harga bensin premium bagi sepeda motor dan kendaraan umum.
Dengan kata lain, masyarakat dapat terkena dua kali pukulan kenaikan harga jika opsi pembatasan Bahan Bakar Minyak ini diterapkan. Pukulan pertama kenaikan harga Bahan Bakar Minyak hingga 76% akibat harus beralih dari bensin premium subsidi ke Pertamax. Pukulan kedua adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang terjadi ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tak sanggup lagi menahan gempuran tingginya harga minyak internasional.
Opsi Kenaikan Harga
Maka, tak ada salahnya membandingkan kebijakan pembatasan Bahan Bakar Minyak ini dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak yang cenderung sangat dihindari pemerintah demi pertimbangan politis dan populis.
Kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak memiliki beberapa kelebihan , di antaranya: (1) tidak memerlukan kesiapan infrastruktur, (2) tidak menimbulkan distorsi tambahan (penyelundupan BBM), (3) masih memberikan pilihan kepada konsumen untuk tetap mengkonsumsi premium dan/atau solar tanpa harus dipaksa beralih menggunakan Pertamax dan sejenisnya, (4) besaran kenaikan harga dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan (defisit) APBN, (5) dapat diterapkan langsung secara nasional, dan (6) besarnya nilai target penghematan dapat ditentukan/diperkirakan sejak awal.
Dalam hal ini, nilai penghematan anggaran subsidi relatif jauh lebih signifikan. Untuk kenaikan harga bensin premium sebesar Rp 500 per liter saja sudah akan diperoleh penghematan anggaran subsidi sebesar Rp 11, 6 triliun. Maka, meskipun juga pahit , kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dalam besaran terbatas kiranya merupakan pilihan kebijakan yang relatif lebih sedikit dampak negatifnya, dan relatif lebih rasional dan realistis guna mengantisipasi kecenderungan tingginya harga minyak.
LGV Sebagai Alternatif
Karena opsi kenaikan harga seperti ditabukan oleh pemerintah, dalam perkembangan belakangan pemerintah kemudian memunculkan wacana penggunaan bahan bakar gas bagi kendaraan (Liquified Gas for Vehicle, LGV) sebagai alternatif. Lebih tepatnya, alternatif bagi masyarakat yang merasa harga Pertamax terlalu mahal.
Pemerintah mengklaim harga LGV di tingkat konsumen akhir adalah Rp 3.600 per liter sehingga lebih murah dibandingkan harga bensin premium bersubsidi. Sepintas, ini memang bisa menjadi alternatif. Tetapi jika ditinjau lebih jauh, opsi menggunakan LGV ini sesungguhnya sangat tidak layak untuk disebut sebagai suatu alternatif yang patut disejajarkan dengan opsi lain yang ada.
Tidak layak, karena dalam hal infrastruktur penyedia dan distribusi LGV, yaitu SPBG, ketersediaan yang ada saat ini masih amat sangat terbatas. Jumlah SPBG yang ada dan benar-benar beroperasi saat ini tak lebih dari enam buah, dan itu pun hanya ada di wilayah Jabodetabek saja.
Terdapat lagi delapan SPBG di Jabodetabek, namun belum direvitalisasi dan sebagian belum mendapatkan kepastian pasokan gas sehingga belum dapat beroperasi. Persoalan lain ada pada peralatan coverter kit yang perlu dipasang pada setiap kendaraan yang akan menggunakan LGV.
Tanpa ada kejelasan siapa yang akan menanggung investasi dan pemasangan coverter kit ini pada mobil konsumen, dan tanpa adanya kejelasan program yang konkret dari pemerintah dalam menggulirkan LGV ini, jangan berharap masyarakat akan dengan suka rela beralih ke LGV.
Pengalaman di negara lain, pengembangan bahan bakar gas untuk sektor transportasi baru dapat berjalan dan memberikan hasil signifikan ketika hal ini dijadikan suatu program dan kebijakan nasional yang mendapatkan alokasi dana khusus dari anggaran pemerintah.
Pada kondisi infrastruktur distribusi gas siap pun, kebijakan ini memerlukan waktu yang tidak sebentar karena melibatkan aspek perubahan budaya. Tak cukup hanya tiga tahun untuk bisa layak disebut sebagai alternatif yang benar-benar dapat diandalkan masyarakat. Jadi Tak sepatutnya hanya sekadar melempar wacana demi memaksakan penerapan kebijakan pembatasan Bahan Bakar Minyak yang jelas-jelas bermasalah dalam berbagai aspek.