CNBCIndonesia; 25 Juni 2025
Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute;
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti
Berkaitan dengan transisi energi, polemik seputar potensi kerusakan lingkungan-ekosistem terkait penambangan nikel di kawasan Raja Ampat yang tengah mengemuka sejatinya – untuk kesekian kalinya – menegaskan bahwa transisi energi perlu disikapi dan dijalankan secara lebih proporsional.
Pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan, dalam konteks ini kendaraan listrik dengan baterai berbasis nikel, tak serta merta selalu menghasilkan energi yang lebih hijau dan ramah lingkungan. Tinjauan atas kehijauan dan keramahtamahan terhadap lingkungan dari pendayagunaan suatu sumber energi tak cukup hanya dilihat dari satu sisi – jumlah emisi karbon – dalam pemanfaatan energi akhirnya, tetapi harus dari jejak lingkungan produk (Product Environmental Footptint/PEF) dari seluruh siklus hidupnya.
Telah cukup banyak studi yang memberikan catatan kritis terkait hal ini. Di antaranya Kurkin et all (2024) yang menyebutkan bahwa kendaraan listrik di sisi penggunaan akhir memang akan lebih sedikit mengeluarkan emisi, namun dalam proses produksi dan siklus hidunya mengonsumsi enam kali lipat lebih banyak volume sumber daya mineral (bijih nikel, mangan, kobalt), menggunakan air-energi lebih intensif, dan menghasilkan limbah lebih banyak.
Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH (2023) juga memberikan catatan atas keunggulan rendah emisi dari penggunaan kendaraan listrik – sepanjang dihasilkan dari listrik yang bersih -, namun di dalam tahapan produksi dan siklus hidupnya baterai berbasis logam-mineral kritis secara keseluruhan menambah intensitas penggunaan air, sumber daya alam-mineral dan emisi total dibanding kendaraan bakar konvensional.
Peralatan dan teknologi untuk menghasilkan listrik energi terbarukan seperti turbin, motor, generator untuk pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dan panel elektrik untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada dasarnya sangat bergantung pada komponen magnetik yang terdapat di dalam unsur logam tanah jarang (Rare Earth Element/REE) dan mineral kritis seperti nikel, kobalt, litium dan tembaga.
Baik REE maupun mineral kritis tersebut tergolong sumberdaya tak terbarukan. Disebut sebagai rare earth dan mineral kritis tidak semata karena sifat tak terbarukannya, tetapi juga karena di dalam proses eksplorasi-produksi, ekstraksi, pemisahan dan pengolahannya memerlukan teknologi, energi dan investasi (modal-pengembalian) yang intensif.
Dengan kata lain, betapa pun transisi energi menjanjikan produksi energi yang diklaim akan selalu dapat terbarukan, transisi energi tetap tak dapat dilepaskan dan bergantung pada sifat ketidakterbarukan dan keberlangsungan komersialitas-kelayakan ekonomi yang melekat pada komponen sumber daya bahan baku, teknologi, proses produksi dan pasarnya.
Dalam keterkaitan dengan aspek ekonomi-pasar ini, langkah kontroversial Trump yang menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, menyerukan “drill, baby, drill” untuk mendorong pengembangan energi migas dan menerapkan tarif resiprokal dalam kebijakan perdagangan internasionalnya, dari sudut pandang transisi energi sejatinya juga secara langsung dan tak langsung mengajarkan-membuka mata kita bahwa transisi energi juga tak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonomi, dan bahkan, geopolitik.
Merujuk data International Energy Agency-IEA (2024), AS adalah produsen energi terbarukan terbesar kedua di dunia 1.493 Trillion Watt-hour (TWh), kurang lebih setara dengan produksi seluruh negara Eropa (1.492 TWh), kurang lebih 22 kali lipat dari produksi energi terbarukan Indonesia (65 Twh), dua kali lipat dari Uni Eropa (692 TWh) yang selama ini di tingkat global lebih kita kenal sebagai pendukung utama transisi energi.
Produksi energi terbarukan AS hanya kalah dari China, yang menghasilkan 3.749 TWh. Produsen teknologi energi terbarukan terkemuka dunia mayoritas berasal dari China, AS, Kanada dan negara-negara Eropa Barat seperti Denmark, Norwegia, Inggris, Spanyol dan Portugal.
China, namun demikian, saat ini adalah yang paling mendominasi di dalam keseluruhan mata rantai produksi dan penyediaan teknologinya. China menguasai sekitar 80% pertambangan grafit dan lebih dari 60% pertambangan REE dan mineral kritis global.
China juga menguasai lebih dari 80% kapasitas pemrosesan litium – ion baterai yang diperlukan untuk industri dan ekosistem kendaraan listrik (Benchmark Mineral Intelligence, 2025). Lebih dari 80% manufaktur teknologi listrik tenaga surya dan lebih dari 60% listrik tenaga angin juga dikuasai China (Bloomberg-ING Research, 2024).
Dari perspektif ekonomi, dari angka-angka di atas dapat kita lihat bahwa transisi energi-produksi energi terbarukan berjalan relatif lebih progresif di negara-negara dengan keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif tertentu. Keunggulan komparatif-kompetitif itu terutama berupa tingkat kemajuan ekonomi-pendapatan per kapita dan keunggulan dalam penguasaan ilmu pengetahuan teknologi-sumberdaya manusianya.
Kemajuan dan tingkat ekonomi-pendapatan suatu negara menentukan daya mampu negara dan daya beli masyarakatnya di dalam menjangkau harga energi terbarukan dan teknologinya yang secara umum masih lebih mahal dibandingkan energi fosil.
Kemampuan ekonomi ini adalah prasyarat sekaligus enabler untuk dapat berjalannya transisi energi secara lebih progresif. Penguasaan ilmu pengetahuan teknologi dan keunggulan sumber daya manusia memungkinkan suatu negara secara kompetitif lebih dapat merealisasikan benefit ekonomi dari transisi energi dalam arti lebih luas.
Artinya, tidak hanya sebatas hanya menjadi pasar ataupun menjadi objek proses produksinya dengan menanggung dampak lingkungan dan eksternalitas negatif lainnya yang ditimbulkan.
AS dan mayoritas negara Eropa barat dengan tingkat pendapatan per kapita rentang US$ 50 ribu hingga US$ 100 ribu relatif memiliki keduanya. China dengan tingkat pendapatan per kapita mendekati US$ 14 ribu relatif memiliki keunggulan kompetitif dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan teknologi-sumber daya manusia terutama dari sisi lebih rendah biaya.
Keunggulan kompetitif dari sisi inilah terutama yang menjadikan China dominan dalam mata rantai produksi dan penyediaan teknologi energi terbarukan. Dibandingkan negara-negara lain yang termasuk memimpin dalam transisi energi, AS secara relatif juga memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam hal sumber energi lainnya, yaitu migas dan batubara, sehingga mereka relatif lebih memiliki pilihan untuk bisa lebih menentukan sikap dalam merespons dan menjalankan transisi energinya.
Indonesia, sebagaimana AS, secara relatif dan dalam skala yang berbeda, sebenarnya dapat dikatakan juga memiliki keunggulan komparatif berupa keberanekaragaman jenis sumber energi baik fosil maupun non-fosil. Kita juga memiliki keberagaman jenis REE dan mineral kritis yang diperlukan dalam teknologi transisi energi. Dalam hal nikel, sekitar 48% cadangan nikel dunia ada di Indonesia. Namun, kita belum tergolong negara dengan pendapatan per kapita kelas atas.
Dengan tingkat pendapatan per kapita di kisaran US$ 5.300, kita saat ini baru di entry level di dalam kelompok negara dengan tingkat pendapatan kelas menengah-atas. Kita juga tidak bisa dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dalam hal sumber daya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan-teknologi transisi energi.
Oleh karenanya, kita perlu lebih bijaksana dan terukur dalam merespons dan menjalankan transisi energi yang ada. Kita perlu menetapkan target (bauran) energi nasional yang lebih didasarkan atas ketersediaan sumber dan sistem energi yang kita miliki, dalam kerangka ketahanan energi secara lebih independen.
Jangan sekadar latah, menjadi pengikut atau malah juga berada paling depan-berlari di dalam gelombang transisi energi yang ada tanpa berpijak pada kondisi dan keunggulan komparatif yang kita miliki.