Thursday, November 21, 2024
HomeReforminer di Media2021Pemerintah belum Memberi Perhatian Serius pada Ketahanan Energi

Pemerintah belum Memberi Perhatian Serius pada Ketahanan Energi

Koranbernas.id; 05 November 2021

KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Pemerintah Indonesia belum memberikan perhatian yang cukup untuk membangun kemandirian energi. Padahal, energi adalah pilar penting dalam kehidupan. Ibarat kata, energi adalah kehidupan itu sendiri. Industri hulu minyak dan gas di Indonesia, dalam dua dasa warsa terakhir nyaris kurang mendapat perhatian.

Pemerintah enggan berinvestasi untuk membangun industri hulu migas. Dalam perekonomian Indonesia, minyak dan gas bumi masih berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) serta penyediaan lapangan kerja.

“Sekitar 80 persen PDB dan penyediaan lapangan kerja, dihasilkan dari perdagangan minyak dan gas bumi!”

Pernyataan itu dikemukakan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, menjawab pertanyaan koranbernas.id dalam acara Nongkrong Bareng Pertamina di Hotel Marriot Yogyakarta, Sleman, Jumat pagi (5/11/2021). Acara tersebut diselenggarakan oleh PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah (Jateng-DIY), mengundang sejumlah pemimpin redaksi media di Yogyakarta.

Pernyataan Komaidi dibenarkan oleh Ketua Pusat Studi Energi UGM Prof. Deendarlianto yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut. Guru besar ilmu teknik mesin UGM ini menegaskan, pemerintah belum berada pada jalur yang semestinya untuk menyelamatkan energi nasional dan membuat ketahanan energi. Padahal, untuk membangun bangsa ini dan memberikan kemakmuran kepada rakyat, sektor minyak dan gas bumi sangat berperan penting.

Komaidi memberikan ilustrasi, kilang minyak dan gas, relatif mandeg sejak tahun 2000-an. Akibatnya, produksi minyak dalam negeri relatif stagnan bahkan turun. “Rencana membangun jalur distribusi gas, tidak pernah terealisasi. Presiden Jokowi dalam dua periode lebih memilih menggenjot pembangunan infrastruktur. Memang bisa dimaklumi, karena membangun infrastruktur gampang terlihat hasilnya. Berbeda dengan berinvestasi di sektor hulu migas. Duitnya habis banyak, hasilnya tidak segera kelihatan,” tutur Komaidi.

Seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat, kalau pada tahun 1990-an konsumsi minyak hanya sekitar 700.000 barrel/hari, saat ini sudah meningkatkan menjadi sekitar 1,5 sampai 1,6 juta barrel per hari. Sementara kebutuhan konsumsi LPG (Liquefied Petroleum Gas) sudah sekitar 7 juta metrik ton per tahun.

Akibatnya, kata Komaidi, negara melalui PT Pertamina harus memenuhi kebutuhan dengan cara mengimpor minyak. Jumlah impor semakin tahun semakin besar. Dan tentu saja, ini menggerogoti devisa negara. Satu-satunya pintu masuk untuk impor minyak hanya melalui Singapura. Kalau jalur impor ini ditutup satu bulan saja, Indonesia pasti akan kolaps.

“Cadangan minyak kita hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi antara 20 sampai 25 hari saja. Bandingkan dengan AS yang cadangan minyaknya cukup untuk konsumsi 6 bulan,” ujar Komaidi.

Tak Bisa Investasi

Sebagai BUMN yang menangani usaha minyak dan gas, PT Pertamina, menurut Komaidi tidak memiliki cukup dana untuk berinvestasi. Keuntungan yang didapat oleh Pertamina, 80 % disetor ke negara melalui Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sisanya yang 20 % dikembalikan ke Pertamina. Keuntungan itu masih harus dibagi-bagi untuk deviden dan kebutuhan lain.

“Kemarin, untuk membangun rumah sakit guna menampung pasien Covid-19, ya pakai duit keuntungan Pertamina. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin Pertamina bisa melakukan ekspansi bisnis dan investasi,” beber Komaidi.

Ia menambahkan, piutang Pertamina yang belum terbayar saat ini mencapai ratusan triliun rupiah. PT Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional yang sekarang sedang kolaps, berhutang pada Pertamina sebesar Rp 80 triliun.

Ketua Pusat Studi Energi UGM Prof. Deendarlianto mengatakan, dalam kaitan konsumsi energi, sektor transportasi mengalami pertumbuhan paling cepat. Fakta itu ia dapatkan melalui data primer lapangan, yang dikumpulkan mahasiswa UGM untuk menyusun disertasi yang ia bimbing. Apabila hal ini tidak ditangani secara terpadu, krisis energi akan terus meningkat.

Kebijakan pemerintah untuk mengubah pasokan energi dari energi fosil ke energi terbarukan, menghadapi banyak problema yang rumit. Misalnya, pemanfaatan energi surya untuk listrik, tidak bisa diterapkan di semua wilayah. Jumlah panas matahari sangat fluktuatif tergantung daerah. Demikian pula sumber energi lainnya seperti angin, air dan gelombang laut.

UGM, sebenarnya sudah memberikan rekomendasi untuk membangun ketahanan energi. Namun sayangnya, pemerintah belum serius untuk mengikuti peta jalan yang dibuat.

“Belum on the track,” tegas Prof. Deendarlianto.

Executive General Manager PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Putut Andriatno mengatakan, soal energi memang sedang mengalami perubahan besar dan cepat. Sesuai kebijakan pemerintah, Pertamina juga sedang terus bertransformasi, untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.

Salah satu transformasi yang dilakukan, membangun sistem distribusi BBM yang lebih simpel, sehingga mata rantai distribusi semakin pendek dan lebih cepat sampai ke stasiun penjualan BBM.(*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments