Jawapos.com; 28 Oktober 2020
JawaPos.com – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong peningkatan nilai tambah batubara sehingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi lagi. Direktur Jenderal Minerba, Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin meminta pengusaha batubara yang biasanya menjual material mentah (raw coal) untuk pembangkit listrik (PLTU), beralih mengolah produk yang memiliki nilai tambah dan diperlukan oleh industri.
“Sudah ada beberapa teknologi yang layak diusahakan untuk meningkatkan nilai tambah batubara untuk industri, seperti coal to DME dan underground coal gasification atau UCG,†katanya dalam webinar peringatan 31 Tahun APBI, Selasa (27/10).
Ridwan mengemukakan, upaya-upaya peningkatan nilai tambah ini juga didorong untuk memenuhi kebutuhan energi pada masa yang akan datang. Pengusaha batubara yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) pun diharapkan menaruh perhatian terhadap isu peningkatan nilai tambah ini.
Pemerintah, lanjutnya, juga terbuka untuk menerima masukan dari para pelaku bisnis tambang sehingga dapat meningkatkan iklim investasi di batubara. “Pemerintah terbuka untuk berbagai masukan dan siap berdialog. Namun, kami mohon agar setelah proses dialog itu, kita bisa secara konsisten melaksanakannya bersama-sama,†katanya.
Dalam kesempatan sama, Ketua Bidang ESDM APINDO Sammy Hamzah mengamini transformasi energi di dunia berjalan demikian cepat. Para pemain migas besar dunia misalnya, saat ini sudah mulai melirik pengembangan energi baru terbarukan.
Menurutnya, hal yang sama juga akan terjadi pada industri batubara. Apalagi, jenis batubara yang banyak ditemukan di Indonesia adalah yang berkalori rendah. Di sisi lain, sektor ini kerap diterpa isu lingkungan.
“Sehingga perlu ada kiat-kiat tertentu agar nilai tambah batubara berkalori rendah itu bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat atau rakyat,†ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Indonesia Komaidi Notonegoro melihat, pendorong utama transisi energi adalah aspek lingkungan. Masalahnya adalah ketika isu lingkungan dikombinasikan dengan aspek bisnis dan ekonomi, seringkali tidak ketemu.
Tak bisa dipungkiri, batubara masih menjadi sumber elektrifikasi yang murah dan melimpah. Hingga saat ini, porsi batubara masih mencapai 48-50 persen dari total sumber energi pembangkit (PLTU).
“Jika tadi Pak Sammy sampaikan industri migas sudah melirik EBT, saya kira batubara juga harus bersiap-siap. Namun, bicara konteks Indonesia, harga akan menjadi elastisitas yang paling utama,†kata Komaidi.
Dia mencontohkan, bagaimana transisi energi bersih sulit diupayakan karena terbentur faktor harga. Penghapusan premium misalnya, sangat sulit dilakukan, meskipun jelas-jelas diketahui emisi karbonnya lebih besar dibandingkan produk BBM lainnya.
Demikian pula dengan batubara. Komaidi memperkirakan, Indonesia tidak akan dengan mudah meninggalkan batubara dalam konteks kelistrikan nasional.
“Saya kira pilihannya nantinya kalau kita mau hijrah dari batubara, ya pilihannya pemerintah harus memberikan subsidi yang begitu besar. Karena memang tumpuan atau tulang punggung utama penyediaan listrik dengan biaya murah saat ini adalah batubara. Apalagi nanti kalau yang 35.000 MW beroperasi, ini makin besar lagi porsinya,†pungkasnya.