Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di Media2019Pemerintah Harus Benahi Iklim Investasi Target Lifting Migas Sulit Tercapai

Pemerintah Harus Benahi Iklim Investasi Target Lifting Migas Sulit Tercapai

Selasa, 5 November 2019

JAKARTA, investor.id – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan target produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi (migas) tahun ini sulit tercapai. Untuk menggenjot lifting migas, pemerintah didesak segera membenahi iklim investasi migas dalam negeri agar perusahaan migas, khususnya skala besar (major company), mau menginvestasikan dananya.

Lifting minyak bumi tahun ini ditargetkan mencapai 775 ribu barel per hari, dan gas bumi sebesar 7.000 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, per 31 Oktober 2019, realisasi lifting minyak tercatat sebesar 742,9 ribu barel per hari (bph) dan gas bumi sebesar 5.892 mmscfd.

“Outlook akhir tahun 2019 ini lifting minyak 746,2 ribu bph dan gas 5.896 mmscfd,” kata Julius dalam pesan pendeknya kepada Investor Daily, Senin (4/11).

Berdasarkan data yang dihimpun Investor Daily, dalam periode 2010-2018, realisasi lifting minyak hanya mencapai target pada tahun 2016, selebihnya selalu di bawah target. Hal yang sama juga terjadi pada lifting gas bumi untuk periode 2014-2018.

Meski target lifting sulit tercapai, Julius mengatakan bahwa SKK Migas masih berupaya mencapai target tersebut. “Cukup menantang, tetapi tetap kami usahakan,” kata Julius.

Menurut dia, SKK Migas telah mengupayakan sejumlah strategi untuk menggenjot lifting migas hingga akhir tahun, di antaranya merealisasikan program kerja tahun ini, seperti pengeboran sumur dan perawatan sumur. Mengacu data SKK Migas, tahun ini rencananya terdapat pengeboran 80 sumur pengembanganm kerja ulang 241 sumur, dan perawatan sumur 11.021 kegiatan.

SKK Migas juga akan melakukan pengurasan stok di beberapa terminal. “Pengurasan stok bisa menambah 500-600 barel minyak roughly,” ujar Julius.

Selain itu, pihaknya akan merealisasikan proyek migas yang dijadwalkan beroperasi (onstream) akhir tahun ini. Berdasarkan data SKK Migas, terdapat delapan proyek hulu migas dijadwalkan beroperasi di sisa akhir tahun ini. Dari proyek ini, tambahan produksi yang direncakan yakni gas 270 mmscfd dan minyak 10.500 bph.

Empat proyek dijadwalkan mulai beroperasi di November. Rinciannya, proyek Buntal-5 sebesar 45 mmscfd oleh Medco E&P Natuna Ltd, Bison-Iguana-Gajah Putri 163 mmscfd oleh Premiere Oil Natuna Sea BV, Temelat oleh PT Medco E&P Indonesia 10 mmscfd, dan Panen 2.000 bph oleh PetroChina International Jabung Ltd.

Sedangkan pada Desember nanti, dua proyek akan beroperasi, yaitu Bukit Tua Phase-3 dengan perkiraan produksi minyak 3.182 bph dan gas 31 mmscfd oleh Petronas Carigali Ketapang II Ltd serta Proyek Full Well Stream Kedung Keris dengan produksi minyak 3.800 bph oleh Exxon Mobil Cepu Ltd.

Namun demikian, Julius mengungkapkan, pihaknya tengah berupaya mempercepat Proyek Kedung Keris. “Projek onstream misalnya Proyek Kedung Keris yang akan on stream di mid (pertengahan) November 2019. Kami percepat (jadi) pertengahan November, semoga berhasil,” tutur dia.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, ada tiga gangguan operasi yang mempengaruhi rendahnya produksi migas nasional hingga September 2019. Pertama, harga gas di pasar dunia saat ini tercatat sangat rendah. Hal ini membuat pemerintah memutuskan untuk tidak memproduksikan dahulu cadangan gas yang dimiliki. Keputusan ini berdampak pada produksi gas nasional.

“Jadi lifting 2019 terus terang agak terpukul, sebagian besar karena harga gas dunia sangat rendah,” ujar Dwi.

Penyebab lainnya adalah kebakaran hutan yang berdampak pada kegiatan operasi migas di Sumatera. Salah satunya yakni di Blok Rokan yang dioperasikan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Pihaknya terpaksa menghentikan sebagian kegiatan operasi di Blok Rokan demi keamanan selama sekitar satu bulan.

Saat ini, kegiatan operasi di Blok Rokan belum kembali normal. “Mungkin masih kami tahan dulu untuk alasan keamanan. Saya kira November mestinya sudah normal lagi,” tuturnya.

Terakhir, lanjut dia, kejadian tumpahan minyak pada Sumur YYA-1, Proyek YY di Blok Offshore North West Java (ONWJ) juga berdampak pada produksi migas nasional. Pasalnya, tambahan produksi migas yang direncanakan datang dari proyek ini batal diperoleh.

Dwi juga mengatakan, lifting yang belum mencapai target berdampak pada realisasi penerimaan negara yang hingga September 2019 baru mencapai US$ 10,99 miliar dari target dalam APBN 2019 sebesar US$ 17,5 miliar. “Hal ini (penerimaan negara) juga dipengaruhi ICP (Indonesia Crude Price) yang sekitar US$ 60 per barel. Ini cukup jauh di bawah target asumsi makro APBN yaitu US$ 70,” kata dia.

Benahi Iklim Investasi

Pengamat migas Pri Agung Rakhmanto mengatakan, upaya untuk menggenjot lifting adalah dengan alokasi investasi besar untuk kegiatan pengembangan seperti enhanced oil recovery (EOR) skala besar, memperbanyak pemboran sumur pengembangan serta optimasi produksi lapangan eksisting.

“Alokasikan investasi dalam porsi besar untuk kegiatan development (pengembangan lapangan),” kata Pri Agung.

Menurut dia, upaya tersebut bisa memperbaiki defisit neraca migas. Namun, diperlukan pembenahan secara mendasar baik di hulu maupun di hilir.

Penambahan kapasitas kilang yang belum terealisasi membuat impor BBM semakin besar. Sementara di sisi hulu, produksi migas mengalami penurunan. “(Lifting naik) memperbaiki tapi tentu tidak menyelesaikan,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan, jika tahun ini saja tidak bisa mencapai target, maka dipastikan tahun depan akan makin sulit. “Tantangan tahun depan itu lebih berat. Yang saya tahu, para KKKS itu sanggupnya hanya sekitar 600-an bph,” kata Kardaya kepada Investor Daily.

Menurut Kardaya, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Banyak hal yang mendesak yang harus segera dibenahi pemerintah. Hal yang utama adalah mengenai kepastian berinvestasi.

”Jadi, turunnya produksi ini karena investasi tidak masuk. Perusahaan-perusahaan besar (major company) seperti Shell, Exxon, Total lebih suka menginvestasikan dananya ke negara lain. Dan yang menyakitkan adalah, negara tujuannya itu secara potensi tidak lebih baik dari Indonesia, seperti Vietnam dan Myanmar. Mereka menganggap di Indonesia tidak ada kepastian hukum, banyak hukum juga ditabrak,” jelasnya.

Selain itu, kata Kardaya, banyak aturan yang diubah namun justru menakutkan investor. Misalnya perubahan dari skema cost recovery ke gross split.

“Sebenarnya gross split itu bagus, kalau yang dipakai adalah gross split yang sebenarnya, bukan yang ada seperti sekarang. Misalnya, besaran bagi hasil tentukan di depan, bukan nanti di belakang setelah cadangan minyak ditemukan,” papar Kardaya.

Dia menyarankan pemerintah agar lebih fleksibel dalam menerapkan skema. Artinya, investor diberi opsi apakah tetap menggunakan skema cost recovery ataukah gross split. Namun, gross split yang diterapkan pun yang simple.

Dia mengakui bahwa dalam hal penerapan skema ini memang untuk kegiatan eksplorasi dan hasil produksinya baru terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Namun, secara tidak langsung, ini membuat investor pun enggan untuk berinvestasi dalam jangka pendek.

Hingga akhir kuartal III-2019, realisasi investasi sektor energi dan sumber daya mineral tercatat baru sebesar US$ 19,8 miliar atau 59,28% dari target US$ 33,44 miliar. Rinciannya, untuk subsektor minyak dan gas bumi sebesar US$ 8,1 miliar dari target US$ 13,4 miliar, ketenagalistrikan US$ 7,4 miliar dari target US$ 12 miliar, mineral dan batu bara US$ 3,3 miliar dari target US$ 6,2 miliar, serta energi baru terbarukan US$ 1 miliar dari target 1,8 miliar.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerjasama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, pihaknya beserta stakeholders terus menjaga agar target investasi dapat tercapai. Di sisa akhir tahun ini, investasi akan digenjot semaksimal mungkin, mengingat biasanya investasi mengikuti S-curve.

“Realisasi investasi biasanya mengikuti S-curve. Investasi akan kita pacu agar bisa lebih cepat. Sesuai arahan Bapak Menteri ESDM, bahwa kami diminta agar bekerja lebih cepat, cermat dan produktif,” kata dia di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, sektor ESDM sangat strategis dalam mendorong perekonomian nasional. Karenanya, pihaknya terus menjaga iklim investasi di sektor ini semakin bergairah dan kondusif bagi investor. Sebelumnya, sebanyak 186 perizinan di sektor ESDM telah dipangkas. Hal tersebut akan terus dilanjutkan untuk mempercepat dan mempermudah proses investasi di sektor ESDM.

“Aspek perizinan, baik kecepatan maupuan birokrasinya akan terus dievaluasi, sehingga dapat mendorong investasi yang lebih cepat dan memberikan certainty. Investasi ini penting karena akan mendorong pembukaan lapangan kerja, sehingga efektif menjadi prime mover ekonomi nasional,” tamban Agung.

Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffee Suardin Arizon pernah menuturkan, investasi hulu migas tercatat US$ 8,4 miliar hingga akhir September 2019. Realisasi ini meningkat 11% dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 7,6 miliar.

Namun, jika dibandingkan dengan target investasi tahun ini sebesar US$ 14,7 miliar, realisasi tersebut tercatat baru sekitar 57,15%. Menurut Jaffee, pihaknya terus melakukan efisiensi guna menekan biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) atau juga merupakan biaya investasi.

Ke depan, Jaffee memproyeksikan investasi migas nasional akan terus meningkat. Apalagi, hingga 2027, terdapat 42 proyek migas yang direncanakan bergulir dengan total investasi US$ 43,3 miliar.

 

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments