Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2010Pemerintah Pilih DMO, Bukan Pengenaan Pajak Ekspor

Pemerintah Pilih DMO, Bukan Pengenaan Pajak Ekspor

Kompas, 6 Februari 2010

Jakarta, Kompas – Pemerintah menilai, pajak yang tinggi bagi ekspor batu bara bukan pilihan. Pemerintah lebih memilih mengoptimalkan kewajiban kontraktor memasok dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Batu bara yang wajib dipasarkan di dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebesar 30 persen dari total produksi nasional.

Apakah kita harus menerapkan pajak ekspor batu bara Itu belum jadi keputusan saat ini. Yang penting kebijakan DMO. Jika nanti DMO tidak terpenuhi, baru kami pikirkan mekanisme lain, kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Jumat (5/2).

Hatta berpendapat, jika semua kontraktor mematuhi ketentuan DMO, tak perlu ada kekhawatiran bahwa pasokan batu bara untuk dalam negeri kurang. Namun, lanjut Hatta, seandainya DMO tidak dilaksanakan maksimal, pemerintah bisa menggunakan jatah dari bagi hasil batu bara sebesar 13 persen dari total produksi.

Jatah ini biasanya dikelola kontraktor batu bara dan disetorkan kepada pemerintah dalam bentuk dana tunai. Jika diperlukan, pemerintah bisa menggunakan jatah itu tanpa harus dikonversi ke uang, tetapi diberikan dalam bentuk batu bara, ujar Hatta. Tahun 2009 pemerintah menargetkan produksi batu bara nasional sebesar 250 juta ton. Dengan demikian, apabila DMO sebesar 30 persen, sekitar 75 juta ton batu bara per tahun yang wajib dipasarkan di dalam negeri, selebihnya bisa diekspor. Sementara bagian pemerintah pusat 13 persen dari produksi, yakni 32,5 juta ton per tahun. Bagian pemerintah ini yang, menurut Hatta, bisa untuk tambahan pasokan dalam negeri.

Pendekatan bisnis Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek meminta pemerintah pusat dan Badan Anggaran DPR mempertimbangkan pengenaan pungutan yang tinggi atas setiap batu bara yang diekspor. Awang menjelaskan, dari 95 persen batu bara dari Kaltim yang diekspor, hanya 5 persen untuk dalam negeri. Adapun yang kembali ke Kaltim hanya 1 persen. Akibatnya, Kaltim menderita kelangkaan pasokan listrik karena pembangkit listrik yang ada kekurangan bahan bakar batu bara.

Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto sepakat bahwa kebijakan yang paling tepat diterapkan adalah DMO yang menggunakan pendekatan bisnis. Artinya, pemerintah membeli batu bara DMO dengan harga pasar sehingga tidak memberatkan produsen. Pengenaan pajak ekspor yang terlalu tinggi akan menimbulkan disinsentif bagi produsen untuk berproduksi. Pajak ekspor menjadi makin tidak tepat jika pasar domestik tengah memasuki kondisi penurunan, lanjutnya. (OIN)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments