Lokadata.co.id; 22 April 2021
Pemerintah menetapkan target yang cukup ambisius untuk memperbaiki persoalan ketahanan energi dalam negeri. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengatakan, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) akan disudahi pada 2030 mendatang.
“Dalam Strategi Energi Nasional ini kami rencanakan 2030 itu tidak lagi impor BBM dan diupayakan juga tidak impor LPG,†kata Arifin di kantor Presiden Jakarta, Selasa (20/4/2021), dikutip dari Antara. Pernyataan Arifin ini disampaikan usai menghadiri sidang paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) bersama Presiden Joko Widodo.
Niatan pemerintah ini tentu perlu diapresiasi lantaran impor BBM memang selalu menjadi beban bagi perekonomian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam beberapa tahun terakhir, neraca perdagangan RI selalu tekor akibat defisit minyak dan gas (migas) yang lebih besar ketimbang surplus nonmigas.
BPS mencatat, pada 2018 misalnya, total defisit neraca minyak mencapai AS$20,21 miliar. Besarnya defisit minyak ini tak mampu menutupi surplus gas dan nonmigas sehingga neraca perdagangan Indonesia defisit AS$8,7 miliar. Pada 2019, neraca dagang RI juga tekor AS$3,59 miliar akibat defisit minyak AS$15,74 miliar.
Data yang sama menunjukkan, pada sepanjang 2020 lalu, di saat neraca dagang keseluruhan mencetak surplus AS$21,74 miliar, neraca minyak masih defisit AS$8,82 miliar. Begitu juga pada Januari-Maret tahun ini, di saat neraca dagang masih melanjutkan tren surplus AS$5,52 miliar, neraca minyak tekor AS$2,97 miliar.
Arifin Tasrif menambahkan, pemerintah menyadari bahwa ke depan kebutuhan energi akan meningkat. Sedangkan, pasokan sumber daya di dalam negeri juga terbatas. Jika kondisi ini tak kunjung diatasi, maka ketergantungan terhadap impor BBM akan makin tinggi.
Pada konteks inilah, kata dia, “Indonesia perlu mengantisipasinya untuk bisa mendorong sumber-sumber energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai bauran energi nasionalâ€. Namun, pemanfaatan EBT sampai saat ini baru 10,5 gigawatt. Padahal, pemerintah menargetkan porsi EBT pada 2025 mencapai 23 persen atau setara 24 ribu mega watt dan di 2035 meningkat 38 ribu mega watt.
Tak realistis, belum terukur
Direktur Energy Watch, Mamit Setiawan berpendapat, sah-saja pemerintah menargetkan akan menyetop impor BBM pada 2030 mendatang. Namun, penetapan target tersebut perlu dibarengi dengan pelbagai upaya terobosan dan kebijakan yang serius.
“Saya pada prinsipnya pesimistis target ini bisa dicapai,†kata Mamit kepada Lokadata.id, Rabu (20/4). “Konsumsi BBM masih tinggi, sedangkan produksi dalam negeri masih rendah.â€
Pendapat Mamit ada benarnya. Data Kementerian ESDM memperlihatkan, sepanjang tahun lalu, realisasi produksi minyak bumi mencapai 708 ribu barel per hari, turun dari 2019 sebesar 746 ribu barel per hari. Sementara konsumsi BBM dalam negeri, menurut data yang sama, pada sepanjang tahun lalu mencapai 1,1 juta barel per hari.
Pemerintah sebetulnya juga menargetkan target lifting minyak 1 juta barel per hari pada 2030 mendatang. Namun, menurut Mamit Setiawan, jika pun tercapai, hal belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri sepenuhnya. “Kebijakan pemerintah sampai saat ini masih memanjakan penggunaan kendaraan berbasis BBM,†katanya.
Kepada Lokadata.id, Pengamat migas dari Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto menambahkan, pemerintah semestinya menyiapkan rencana kebijakan yang lebih detail dan terukur untuk mencapai bebas impor BBM pada 2030. Dia menyebutkan, dalam jangka pendek sampai 2024 misalnya, setidaknya ada target berapa persen pengurangan impor yang akan dicapai.
Menurut Pri Agung, target merdeka dari impor BBM ini bisa dicapai melalui dua upaya. Pertama, menambah produksi BBM melalui peningkatan kapasitas kilang. Kedua, menekan dan/atau mensubstitusi konsumsi BBM dengan energi final lain secara signifikan, misalnya, kendaraan listrik.
Namun, kata dia, kedua kebijakan ini belum disiapkan secara konkret oleh pemerintah. “Ini yang menurut saya belum cukup jelas, sehingga target bebas impor BBM 2030 itu menjadi kurang bermakna kalau bagi saya. Bagi saya, target itu tidak cukup terukur,†kata Pri Agung.
Mobil listrik
Transisi penggunaan kendaraan bermotor berbasis BBM ke listrik diyakini dapat menjadi salah satu upaya mempercepat pengurangan ketergantungan terhadap energi fosil. Namun demikian, menurut Pri Agung Rahkmanto, kehadiran mobil listrik (electric vehicle/EV) ini tak otomatis menggeser eksistensi kendaraan BBM.
“Dalam konteks Indonesia, mobil listrik makin meningkat baik jumlah maupun konsumsinya, tapi tidak serta merta akan menghancurkan mobil BBM atau industri terkait BBM,†katanya. Pendiri Reforminer Institute ini mengatakan, volume mobil listrik ke depan memang akan meningkat dan bertambah. Tren mobil listrik ini katanya sudah berjalan “cukup progresifâ€.
Reforminer Institute mencatat, permintaan kendaraan listrik global pada sepanjang 2010-2019 meningkat sekitar 7 juta unit. Sementara, populasi EV pada 2030 nanti diperkirakan naik mencapai sekitar 140 juta unit.
Di Indonesia, menurut data yang sama, sampai pertengahan tahun lalu, populasi mobil listrik baru mencapai 2.338 unit, sekitar 84 persen di antaranya atau 1.971 unit merupakan roda dua. Per akhir Desember 2020, Indonesia juga sudah memiliki 62 unit stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) untuk mobil listrik dan 6 unit stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) untuk kendaraan roda dua.
Menurut catatan Reforminer Institute, ada sejumlah faktor yang dapat menstimulus peningkatan populasi kendaraan listrik. Dari sisi produksi, mobil listrik akan meningkat jika produsen berhasil mengefisienkan biaya baterai yang kontribusinya 30-50 persen dari total biaya produksi. Jika berhasil, harga kendaraan listrik akan lebih kompetitif.
Selain itu, dari segi kesiapan pemerintah, gairah mobil listrik juga akan bergantung pada dua hal: pemberian insentif fiskal dan nonfiskal baik untuk produsen maupun konsumen dan kesiapan infrastruktur seperti charging station.
Mamit Setiawan menambahkan, pemerintah perlu mempercepat holding perusahaan baterai listrik. Dia juga mendesak pemerintah agar segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) energi baru terbarukan (EBT) sebagai landasan hukum pengembangan EBT. “UU EBT ini merupakan cara untuk menarik investasi,†katanya.