Komaidi, Wakil Direktur ReforMiner Institute
Indonesia Finance Today, Tuesday, 15 November 2011
Berdasarkan informasi yang ada, rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang tengah bergulir di parlemen telah memasuki fase menentukan bentuk dan format kelembagaan sektor minyak dan gas (migas) nasional. Berkaitan dengan kecenderungan menurunnya iklim investasi hulu migas yang disertai sering tidak tercapainya target lifting minyak nasional dalam beberapa tahun terakhir, maka dalam penentuan bentuk dan format kelembagaan sektor migas, sektor hulu mendapat porsi perhatian yang besar.
Berdasarkan catatan, sektor hulu nasional secara garis besar memiliki dua model tata kelembagaan yang berbeda. Pada periode awal pengusahaan pada 1970-an hingga sebelum 23 November 2001, mengacu pada ketentuan UU Prp Nomor 4 Tahun 1960 dan UU Nomor 8 Tahun 1971, pengelolaan sektor migas nasional dipegang dan dilaksanakan oleh perusahaan negara atau badan usaha (BUMN), yaitu Pertamina.
Pada periode tersebut, pengelolaan hulu migas, terutama yang terkait dengan fungsi pelaksanaan dan pengawasan kontrak migas, dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Kontraktor Asing (BPKA) yang kemudian berubah menjadi Badan Pembinaan dan Pengawasan Kontraktor Asing (BPPKA), suatu unit/direktorat di dalam Pertamina.
Sedangkan sejak diundangkan Undang-Undang Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001, pengelolaan sektor hulu minyak dan gas dalam hal pengawasan dan pengendalian kontrak dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BPMIGAS), yang berstatus hukum sebagai badan hukum milik negara (BHMN).
Perubahan model tata kelembagaan tersebut menimbulkan berbagai konsekuensi yang terangkum dalam tabel.
Berdasarkan poin-poin pada tabel, konsekuensi mendasar pertama akibat perubahan model tata kelembagaan di sektor hulu dari Undang-Undang Prp Nomor 4 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 ke Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah bahwa amanat Undang-Undang Dasar 1945 tentang kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dilanggar. Mengapa?
Karena pemerintah (menteri) memberikan kuasa pertambangan langsung kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Pemberian kuasa pertambangan secara langsung kepada KKKS (termasuk KKKS asing di dalamnya) ini, secara tidak langsung telah melepaskan aspek kedaulatan negara dalam penguasaan kekayaan alam yang dimiliki.
Perubahan tata kelembagaan hulu tersebut juga melahirkan beberapa ketentuan yang rancu. Salah satunya adalah ditugaskannya Badan Pelaksana untuk melakukan kontrak dengan KKKS, termasuk dengan BUMN minyak dan gas kita sendiri, Pertamina. Badan Pelaksana yang bukan merupakan entitas bisnis dan juga tidak memiliki wilayah pertambangan (WP), namun ditugaskan untuk melakukan (menandatangani) kontrak bisnis dengan KKKS yang merupakan entitas bisnis.
Kerugian Negara
Hal ini berpotensi membawa konsekuensi yang sangat serius bagi negara jika terjadi legal dispute bisnis. Badan Pelaksana, dengan bentuk hukum sebagai BHMN, tidak memiliki wilayah pertambangan, dan tidak memiliki aset bisnis, tetapi berkontrak bisnis dengan KKKS yang merupakan entitas usaha.
Jika antara Badan Pelaksana dan KKKS terjadi legal dispute bisnis dan dimenangkan oleh KKKS, dan dengan kondisi Badan Pelaksana tidak memiliki aset, maka secara logis aset yang akan disita oleh KKKS adalah aset negara secara langsung. Hal tersebut mengingat Badan Pelaksana bertindak untuk dan atas nama pemerintah (negara).
Berbeda dengan tata kelembagaan sebelumnya, dengan dilakukan oleh Perusahaan Negara, Pertamina yang mengenal prinsip limited liabilities (tanggung jawab terbatas). Maka jika terjadi legal dispute bisnis antara Perusahaan Negara/BUMN dan KKKS hanya berhenti pada BUMN itu saja. Dalam konteks tersebut, tanggung jawab negara hanya terbatas pada kepemilikan saham atau penyertaan negara di BUMN tersebut.
Dari sudut pandang negara maupun kontraktor (investor), perubahan tata kelembagaan sektor hulu yang sebelumnya dilakukan oleh BUMN menjadi BHMN, juga cenderung merugikan. Berdasarkan sudut pandang kepentingan negara, selain hilangnya aspek kedaulatan atas penguasaan kekayaan alam (migas) dan potensi tersangkutnya negara dalam legal dispute bisnis, negara juga direpotkan karena tidak dapat menjual bagian produksi minyak dan gas yang menjadi haknya sehingga harus menunjuk pihak lain.
Inefisiensi Bisnis
Sedangkan dari sudut pandang kontraktor, pergeseran tata kelembagaan sektor hulu cenderung menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam kegiatan bisnis. Dalam kedudukan di dalam kontrak pengusahaan migas, misalnya, karena berbentuk BHMN dan bukan entitas bisnis, Badan Pelaksana cenderung memposisikan diri sebagai pihak yang mengawasi, sementara KKKS diposisikan sebagai pihak yang diawasi. Akibatnya pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan kinerja sektor hulu cenderung adiministratif, bukan pendekatan bisnis.
Konsekuensi bisnis yang lain, karena bukan merupakan badan usaha, Badan Pelaksana tidak memiliki Angka Pengenal Importir (API). Akibatnya, pengadaan (impor) barang dan jasa penunjang kegiatan hulu yang sebelumnya cukup dan dapat dilaksanakan oleh BUMN (Pertamina), kini harus dilakukan oleh KKKS.
Sementara ketentuan UU 22/2001 yang mewajibkan pemisahan manajemen untuk setiap wilayah kerja (WK) yang berbeda, juga semakin menyebabkan pengadaan (impor) barang jasa oleh KKKS semakin birokratif. Pasalnya jika KKKS memiliki 10 wilayah kerja juga diwajibkan memiliki 10 Angka Pengenal Importir yang berbeda.
Perubahan model kelembagaan ini juga telah menyebabkan kontraktor menjadi subyek pajak secara langsung. Artinya, konsekuensi perpajakan yang timbul atas kegiatan impor juga harus diselesaikan sendiri oleh KKKS. Berbeda dengan tata kelembagaan sebelumnya, impor barang dan jasa yang dibutuhkan KKKS cukup dilakukan oleh BUMN yang bertugas melakukan pengelolaan dan pengendalian sektor hulu migas.
Sehingga konsekuensi perpajakan yang timbul atas kegiatan impor dapat dilewatkan melalui satu pintu, yaitu domain BUMN. Selanjutnya, biaya dan konsekuensi perpajakan yang timbul atas impor barang dan jasa kebutuhan KKKS yang dilakukan oleh BUMN tersebut, diselesaikan dengan mekanisme business to business antara BUMN dan KKKS.
Disinsentif Investasi
Dengan konsekuensi semacam itu, perubahan tata kelembagaan sektor hulu migas tersebut dengan sendirinya juga menjadi disinsentif bagi iklim investasi hulu migas nasional yang berakibat pada semakin menurunnya produksi dan cadangan minyak nasional dalam beberapa tahun terakhir.
Meski disampaikan bahwa kecenderungan menurunnya kinerja sektor hulu migas tersebut disebabkan oleh adanya penurunan cadangan migas secara alamiah, kondisi sumur-sumur minyak yang sudah tua dan akibat adanya cuaca yang tidak (kurang) mendukung, namun perubahan tata kelembagaan sektor hulu dapat dikatakan merupakan akar masalahnya.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa aspek di atas, sangat jelas bahwa pengelolaan sektor hulu migas akan lebih tepat dan memberikan hasil yang lebih optimal ketika dilaksanakan oleh badan usaha/entitas bisnis (BUMN). Karenanya tata kelembagaan sektor hulu yang saat ini di bawah koordinasi Badan Pelaksana (BHMN) yang tidak memiliki alat kelengkapan bisnis dan cenderung administratif, sudah selayaknya dikembalikan lagi pada domain pengelola yang semestinya, yaitu BUMN.
Penataan ulang tata kelembagaan sektor hulu minyak dan gas tersebut tidaklah dimaksudkan untuk mendistorsi kekuasaan (kewenangan) pihak tertentu dan memperkuat pihak lain, namun sesungguhnya semata-mata untuk mencapai optimalisasi atau upaya mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat.