Tuesday, June 24, 2025
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2025Pengelolaan Blok Migas Mature Field dan Keuangan Negara

Pengelolaan Blok Migas Mature Field dan Keuangan Negara

Liputan6.com; 24 Juni 2025

Penulis Opini: Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute;
Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Liputan6.com, Jakarta Permasalahan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terlihat semakin komplek. Hal tersebut diantaranya karena produksi migas di Indonesia sebagian besar bergantung pada lapangan mature fields atau yang lebih dikenal sebagai sumur tua.

Berdasarkan data, sekitar 52 % produksi migas Indonesia dikontribusikan dari lapangan migas yang sudah berada pada fase mature field. Berdasarkan informasi, dari sekitar 76 Wilayah Kerja (WK) Migas produksi di Indonesia, 36 WK diantaranya telah berumur antara 25-50 tahun dan 4 WK berumur lebih dari 50 tahun. Sekitar 70 % WK migas produksi di Indonesia juga dilaporkan telah mengalami penurunan produksi alamiah.

Data juga menunjukkan bahwa dalam kurun 10 tahun terakhir produksi migas Indonesia berada pada tren menurun. Produksi minyak Indonesia tercatat turun sekitar 31 % dalam sepuluh tahun terakhir. Sementara pada kurun waktu yang sama produksi gas dilaporkan turun sekitar 19 %.

Keekonomian Proyek dan Keuangan Negara

Penyelesaian masalah untuk mengatasi tren penurunan produksi migas di dalam negeri relatif tidak mudah karena adanya trade-off antara keekonomian proyek migas dengan keuangan negara. Pada umumnya pengelolaan lapangan migas yang sudah berada pada fase mature fields memerlukan perlakuan khusus. Hal itu dikarenakan biaya produksi dan pemeliharaan mature fields cenderung terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya.

Meskipun tidak akan mudah untuk dapat langsung diterima, insentif fiskal merupakan instrumen utama untuk dapat meningkatkan keekonomian proyek dan sekaligus mempertahankan atau bahkan meningkatkan produksi migas pada mature fields.

Pemberian insentif fiskal untuk mature fields juga berpotensi dapat menarik investasi hulu migas yang baru ke Indonesia. Hal itu karena implementasi kebijakan insentif fiskal untuk mature fields dapat menjadi sinyal bahwa pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk kembali berpihak dan memperbaiki iklim investasi hulu migas nasional.

Sejumlah studi menyebutkan bahwa pemberian insentif fiskal akan meningkatkan kinerja operasional dan mempertahankan kemampuan produksi migas pada mature fields. Hasil studi Inter-American Development Bank (IDB) menemukan bahwa implementasi kebijakan pemberian insentif untuk mature fields dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun. Kebijakan pemberian insentif untuk mature fields diantaranya tercatat telah dilakukan oleh Kanada dan Brazil.

Pemerintah Kanada menerapkan kebijakan pengurangan pajak pendapatan dan penangguhan kerugian pajak untuk pengelolaan dan pengusahaan mature fields. Dalam hal ini Pemerintah Kanada menurunkan bagian pajak pendapatan bagi Pemerintah Federal dari 30 % menjadi 15 %. Pemerintah Kanada juga menerapkan kebijakan untuk menangguhkan kerugian pajak hingga 20 tahun untuk setiap WK yang telah masuk dalam fase mature fields.

Pemerintah Brazil menerapkan kebijakan pengurangan tarif royalti dan penggantian biaya kerugian eksplorasi pada pengembangan dan pengusahaan mature fields. Pemerintah Brazil menetapkan untuk mengurangi tarif royalti sebesar 5 % untuk mature fields dengan skala kecil.

Sementara untuk tarif royalti mature fields dengan skala besar ditetapkan dikurangi sebesar 7,5 % dan diberikan pengurangan lagi sebesar 5 % untuk setiap tambahan produksi migas yang berhasil dilakukan. Pemerintah Brazil juga berkomitmen akan mengganti kerugian pada tahap eksplorasi sebesar 30 % dari total kerugian tanpa batasan waktu.

Jika mencermati perspektif para stakeholder pengambil kebijakan, implementasi kebijakan pengelolaan mature fields seperti yang dilakukan oleh Kanada dan Brazil tersebut tampaknya tidak mudah untuk dapat dilakukan di Indonesia. Pada umumnya cara pandang kita terhadap pengelolaan migas adalah bagaimana agar pengusahaan migas yang dilakukan di dalam negeri memberikan hasil maksimal untuk negara di dalam jangka pendek.

Dengan cara pandang dan keterbatasan kapasitas fiskal, seringkali fokus utama dalam kegiatan pengelolaan dan pengusahaan migas adalah memaksimalkan penerimaan negara. Hal tersebut tercermin dari kebijakan yang diimplementasikan seperti upaya meminimalkan besaran cost recovery dan memaksimalkan porsi bagian negara dari kegiatan usaha hulu migas. Terkait cara pandang tersebut, pemberian insentif fiskal untuk mature fields yang dapat dinilai akan mengurangi penerimaan negara kemungkinan akan relatif sulit untuk dapat diimplementasikan.

Meskipun produksi migas Indonesia telah menurun, penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas yang terdiri atas penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam beberapa tahun terakhir tercatat masih berada pada kisaran Rp 220 triliun – Rp 300 triliun. Untuk ukuran penerimaan negara, nilai tersebut dapat dikatakan cukup signifikan.

Bahkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari kegiatan usaha hulu migas tercatat mencapai 55 % – 60 % dari total penerimaan PBB di APBN. Pada tahun 2022 misalnya, realisasi penerimaan PBB dari hulu migas dilaporkan sebesar Rp 14,08 triliun atau sekitar 59,28 % dari total penerimaan PBB pada tahun yang sama yang dilaporkan sebesar Rp 23,76 triliun.

Penerapan kebijakan pengelolaan dan pengusahaan untuk mature fields pada dasarnya memang tidak mudah. Untuk sekedar dapat mempertahankan apalagi untuk meningkatkan produksi migas pada mature fields pemberian insentif fiskal dapat dikatakan merupakan keharusan.

Secara relatif, kebijakan tersebut memang dapat mengurangi potensi penerimaan negara paling tidak setara dengan nilai insentif fiskal yang diberikan. Namun demikian, mengingat sebagian besar WK Migas Indonesia telah berada pada fase mature fields kita relatif tidak memiliki banyak pilihan.

Jika insentif diberikan, dalam jangka waktu tertentu akan terdapat penurunan potensi penerimaan negara sebesar nilai insentif yang akan diberikan. Selain potensi tersebut, pemberian insentif juga berpotensi dapat meningkatkan umur dan volume produksi dari mature fields yang akan memberikan dampak positif terhadap meningkatnya penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas.

Akan tetapi, jika pilihan kebijakan yang diambil adalah tidak memberikan insentif, maka dalam jangka pendek tidak akan terdapat pengurangan potensi penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas. Namun dalam jangka panjang, potensi penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas yang saat ini sekitar Rp 220 triliun – Rp 300 triliun tersebut, tidak hanya sekedar berkurang tetapi berpotensi tidak ada lagi. Semua pilihan kebijakan dan konsekuensi akan kembali pada kita semua.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments