CNBCIndonesia; 13 Maret 2024
Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional terus mengalami tren peningkatan setiap tahunnya. Dalam satu dekade terakhir, konsumsi BBM nasional tercatat meningkat dari kisaran 1,1 juta barel per hari menjadi 1,5 juta barel per hari.
Pertumbuhan konsumsi BBM nasional tersebut turut berdampak pada peningkatan impor BBM nasional. Berdasarkan data Kementerian BUMN, impor BBM nasional meningkat dari 140,5 juta barel pada tahun 2018 menjadi 145,2 juta barel pada tahun 2022. Selama periode tersebut porsi impor BBM di dalam memenuhi kebutuhan BBM nasional juga tercatat cukup besar, yaitu mencapai 31,8%.
Penambahan kapasitas kilang nasional yang tidak sebanding dengan peningkatan konsumsi BBM menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya impor BBM beberapa tahun terakhir. Data Kementerian ESDM menyebutkan, sejak tahun 1984 hingga tahun 2022, kapasitas kilang nasional hanya bertambah sekitar 361,6 ribu barel per hari (kbpd). Sementara pada periode yang sama, konsumsi minyak nasional telah meningkat hingga sekitar 1.295 kbpd.
Kebijakan Pengembangan Kilang Nasional
Berdasarkan pencermatan, langkah pemerintah di dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan terkait impor BBM nasional dapat dikatakan telah cukup jelas. Di tingkat kebijakan makro, pemerintah telah menetapkan kebijakan revitalisasi dan pengembangan kapasitas kilang nasional yang dilakukan melalui proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR).
Melalui proyek tersebut pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas kilang nasional dari 1,151 juta barel per hari pada tahun 2022 menjadi 1,425 juta barel per hari pada tahun 2028.
Sejumlah kilang nasional tercatat terlibat dalam proyek RDMP di antaranya adalah kilang Balongan dengan target peningkatan kapasitas sebesar 25 kbpd dari kapasitas 125 kbpd menjadi 150 kbpd. Selanjutnya kilang Balikpapan dengan target peningkatan kapasitas dari 260 kbpd menjadi 360 kbpd yang dijadwalkan selesai pada tahun 2024. Selain itu, proyek RDMP juga akan mencakup kilang Cilacap, Plaju, dan Dumai yang dijadwalkan untuk selesai pada tahun 2026.
Sementara itu, pembangunan kilang yang ditetapkan di dalam proyek GRR adalah pembangunan kilang baru di Tuban yang dijadwalkan beroperasi pada tahun 2028. Proyek GRR Tuban direncanakan memiliki kapasitas kilang mencapai 300 kbpd. Kilang Tuban juga ditargetkan dapat menghasilkan produk petrokimia sebesar 4.701 KTPA atau setara dengan 30% kebutuhan produk petrokimia nasional saat ini.
Rencana makro pengembangan kilang di atas dilaporkan tidak hanya akan dapat mengendalikan impor BBM nasional, dalam perhitungan pemerintah proyek RDMP dan GRR di atas juga akan memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional.
Untuk pelaksanaan proyek GRR Tuban misalnya, proyek tersebut berpotensi memberikan tambahan terhadap investasi nasional sebesar US$13,5 miliar atau setara Rp 205,05 triliun. Proyek tersebut juga diproyeksi dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 20.000 orang pada saat konstruksi dan 2.500 pada saat mulai beroperasi.
Selain efek jangka pendek, penyelesaian proyek RDMP dan GRR juga memiliki peran strategis dalam mendukung upaya pemerintah dalam memperluas kegiatan hilirisasi di sektor migas untuk jangka panjang. Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, pemerintah telah menetapkan rencana perluasan program hilirisasi migas yang akan dilaksanakan dari tahun 2025 hingga 2040.
Program ini memiliki target total investasi sebesar Rp1.053 triliun, dengan alokasi dana sebesar Rp 314,71 triliun untuk hilirisasi minyak bumi dan Rp 771,70 triliun untuk hilirisasi gas bumi.
Program hilirisasi migas tersebut berpotensi memberikan dampak positif terhadap kinerja sektor moneter Indonesia dan stabilitas nilai tukar rupiah. Pelaksanaan hilirisasi migas diproyeksikan akan menghemat penggunaan devisa impor sekitar 73,30 miliar USD atau setara dengan Rp 1.134 triliun.
Tantangan Pengembangan Kilang Nasional
Implementasi penyelesaian sejumlah proyek RDMP dan GRR di atas memerlukan iklim investasi yang kondusif. Hal ini penting untuk memastikan bahwa badan usaha yang terlibat dalam revitalisasi dan pengembangan kilang dapat memenuhi komitmen yang telah disepakati.
Berbagai studi diantaranya dari US Energy Information Administration menyebutkan bahwa industri kilang merupakan industri padat modal dengan sistem pengoperasian yang kompleks. Keputusan pengembangan industri kilang juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor berkaitan dengan aspek lingkungan, ketersediaan lahan, kepastian pasar dan volatilitas harga minyak sebagai bahan baku utama.
Di tingkat global, struktur biaya pembangunan kilang minyak umumnya dipengaruhi oleh kegiatan konstruksi dan infrastruktur serta transportasi dan logistik yang berkontribusi lebih dari 60% dari total investasi pembangunan kilang. Sementara 30% lainnya diantaranya mencakup aspek penyediaan lahan, keamanan, dan persyaratan lingkungan.
Praktik yang umum terjadi di beberapa negara adalah pemerintah memberikan perlakuan khusus untuk mendukung perkembangan industri kilang di negaranya. Dalam rangka mengkompensasi margin keuntungan yang relatif kecil, pemerintah sering memberikan insentif investasi dan insentif perpajakan agar industri kilang dapat tetap kompetitif dalam konteks ekonomi yang lebih luas.
Dalam beberapa kasus, untuk kepentingan yang lebih luas seperti menjaga keamanan energi dan penciptaan cadangan minyak strategis (strategic petroleum reserve), pemerintah dari sejumlah negara seringkali mengambil peran sebagai pelaksana langsung dalam pembangunan kilang.
Setelah pembangunan, pengelolaan kilang-kilang ini dapat dilakukan oleh pemerintah secara langsung atau melalui pihak lain, baik itu BUMN atau swasta, yang mewakili kepentingan pemerintah dari negara yang bersangkutan.
Keterlibatan Pemerintah
Belajar dari konsep bisnis pengembangan kilang yang berlaku di tingkat global, dapat disimpulkan bahwa intervensi pemerintah pemerintah memainkan peran penting dalam kesuksesan pengembangan kilang di suatu negara.
Dalam konteks pengembangan kapasitas kilang nasional dan dalam upaya mempercepat penyelesaian target proyek RDMP dan GRR di atas, pemerintah pada dasarnya memiliki beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan. Pertama, pemerintah dapat mengambil sikap progresif dengan memberikan dukungan pembangunan, menggunakan dana yang dialokasikan dari pengurangan anggaran subsidi BBM.
Kedua, pemerintah dapat mengambil sikap moderat dengan memberikan penjaminan, insentif fiskal, dan non-fiskal kepada investor yang tengah menjajaki kerja sama dengan Pertamina. Intervensi pemerintah dalam hal ini menjadi faktor yang memungkinkan pelaksanaan pengembangan proyek kilang nasional dapat berjalan dan terealisasi dengan baik.