Bisnis Indonesia, 10 Oktober 2016
Komaidi Notonegoro,Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Pemerintah berencana menurunkan harga gas untuk industri menjadi kisaran US$5—US$6 per MMBtu efektif per akhir November 2016. Keputusan tersebut diambil dalam rapat terbatas mengenai Kebijakan Penetapan Harga Gas, Selasa, 4 Oktober 2016. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
Pemerintah menyebutkan, tidak bersaingnya industri dalam negeri karena harga gas untuk industri yang terlalu mahal. Harga gas industri di Indonesia disebut sebagai yang termahal di kawasan Asia, lebih mahal dari negara yang tidak memiliki cadangan gas. Pemerintah menyebut harga gas untuk industri ada yang mencapai US$12 per MMBtu, sementara harga gas di Singapura pada periode yang sama hanya US$4 per MMBtu.
Dari aspek konsistensi kebijakan, keputusan pemerintahan Presiden Jokowi terkait harga gas tersebut positif. Kebijakan tersebut merupakan kelanjutan kebijakan sebelumnya yakni lewat Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III yang fokus utamanya meningkatkan daya saing industri nasional.
Konsistensi dan keseriusan pemerintah juga tercermin dari terbitnya Perpres No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan Permen ESDM No.16/2016 tentang Tata Cara Penetapan Harga dan Pengguna Gas Bumi Tertentu. Melalui regulasi tersebut pemerintah membentuk tim taks force harga gas lintas kementerian, termasuk Kementerian Perindustrian.
Tata Kelola & Niaga Gas
Harga gas untuk industri di dalam negeri yang tercatat sebagai salah satu yang termahal tampaknya telah diketahui dan dipahami para stakeholder. Karena itu sejumlah pihak juga tampak maklum jika kemudian fokus stakeholder –terutama pemerintah—adalah menunurunkan harga gas. Apalagi, ditinjau dari beberapa aspek, penurunan harga gas untuk industri memperoleh momentum. Penurunan harga gas relevan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan juga cukup logis karena sejalan dengan harga gas di pasar internasional yang juga turun.
Saya menilai semua pihak perlu lebih utuh dalam melihat permasahan harga gas ini. Dalam hal ini saya berpandangan permasalahan tata kelola dan tata niaga gas di dalam negeri yang kurang solid, merupakan penyebab atas mahalnya harga gas. Karena itu permasalahan atau ‘kesalahan’ atas mahalnya harga gas di dalam negeri tidak dapat hanya dibebankan kepada pelaku usaha.
Mahalnya harga gas di dalam negeri disebabkan oleh tiga faktor yaitu masalah di hulu, masalah di tengah (transmisi dan distribusi), dan juga masalah hilir (usaha niaga gas). Permasalahan timbul bukan hanya kontribusi dari masing-masing pelaku, tetapi juga karena ada kontribusi dari pemerintah.
Harga gas hulu yang mahal, umumnya disebabkan oleh keekonomian proyek dari lapangan gas yang bersangkutan yang juga mahal akibat kompleksitas perizinan yang menyebabkan pelaksanaan proyek sering mundur dari jadwal atau plan of development semula.
Mahalnya harga gas karena faktor di tengah, disebabkan biaya transmisi dan distribusi yang dibebankan pada harga jual gas relatif tinggi yang mana UU Migas No.22/2001 dan peraturan pelaksananya sendiri mengamanatkan tarif pengangkutan—transmisi dan distribusi—atau tol fee dari kegiatan pengangkutan gas harus ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, jika mahalnya harga gas di dalam negeri berasal dari segmen ini, juga dapat dikatakan karena ada andil dari pemerintah.
Begitupula jika mahalnya harga gas di dalam negeri karena masalah di hilir—karena usaha niaga gas mengambil margin yang terlalu tinggi—juga dapat dikatakan ada kontribusi pemerintah di dalamnya.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.19/2009 jelas dan tegas menetapkan, bahwa harga gas dalam negeri dibagi menjadi tiga kelompok; harga untuk pengguna rumah tangga dan pelanggan kecil yang ditetapkan BPH Migas, harga untuk pengguna tertentu yang ditetapkan Menteri ESDM, dan harga untuk pengguna umum–ditetapkan oleh badan usaha.
Penetapan harga gas untuk pengguna umum tersebut juga diwajibkan untuk dilaporkan kepada Menteri ESDM. Dari ketentuan yang ada tersebut, dapat dipastikan bahwa seluruh penetapan harga gas di dalam negeri pada dasarnya dilakukan atas sepengetahuan pemerintah.
Lebih Proporsional
Meski penurunan harga gas akan memberikan dampak positif bagi industri dalam negeri, hal itu harus dilakukan secara proporsional. Mencermati penyebab mahalnya harga gas tidak semata-mata karena masalah teknis dan bisnis  tetapi juga karena kontribusi pemerintah, penurunannya harus dilakukan dalam rentang yang tetap dapat menjaga iklim investasi industri gas itu sendiri.
Penetapan rentang penurunan ini menjadi tidak sederhana, karena harga gas yang mahal selama ini belum dapat diketahui secara pasti apakah akibat pelaku usaha mengambil margin terlalu tinggi atau justru karena kebijakan pemerintah yang menyebabkan biaya eksplorasi, eksploitasi, dan distribusi gas menjadi jauh lebih mahal.
Dari aspek biaya manfaat, saya menilai terdapat biaya secara langsung maupun tidak langsung akan dibayar pemerintah dalam kebijakan penurunan harga gas. Pertama, pemerintah akan mengalami pengurangan penerimaan negara (pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari industri gas yang akan diterima secara langsung pada tahun anggaran yang bersangkutan.
Kedua, berpotensi terjadi penurunan minat investasi dalam industri gas jika penurunan harga gas yang dilakukan pemerintah di luar toleransi pelaku usaha. Sementara itu, manfaat yang akan diterima adalah sebagaimana simulasi Kementerian Perindustrian, bahwa penurunan harga gas akan menambah penerimaan pajak dari sektor industri. Penurunan harga gas sebesar 47% diproyeksikan akan meningkatkan penerimaan pajak industri sekitar Rp21 triliun.
Terkait upaya peningkatan daya saing industri, saya memandang pemerintah perlu lebih proporsional dalam melihat permasalahan. Dari penelusuran, relatif belum bersaingnya industri dalam negeri bukan semata-mata karena faktor harga gas yang mahal. Ketergantungan industri nasional terhadap komponen impor juga disinyalir menjadi salah satu penyebab utama industri nasional relatif belum dapat bersaing.
Data neraca input-output nasional dan statistik industri menunjukkan kontribusi komponen impor dalam input sektor industri dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan terhadap gas itu sendiri. Ketergantungan terhadap komponen impor juga tercermin dari porsi impor bahan penolong dan barang modal terhadap total impor dalam beberapa tahun terakhir tidak kurang dari 90%.
Mengacu pada permasalahan yang ada tersebut, menjadi penting untuk dilakukan simulasi mengenai sensitivitas industri nasional terhadap harga gas dan komponen impor. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan kebijakan penggantian komponen impor dengan produksi dalam negeri justru akan memberikan dampak peningkatan penerimaan pajak yang lebih besar dibandingkan dampak dari penurunan harga gas.
Penggantian komponen impor dengan produk dalam negeri tidak hanya memberikan manfaat dalam penghematan devisa impor dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hal itu juga akan menciptakan nilai tambah yang lebih besar akibat bergeraknya industri penunjang dan pendukungnya.
Dengan begitu, kebijakan hilirisasi pertambangan yang salah satunya untuk menyediakan bahan baku bagi sektor industri kemungkinan justru yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah sebelum harga gas itu sendiri.
Editor : Gita Arwana Cakti