Selama bertahun-tahun, aspek regulasi di sektor hulu migas Indonesia selalu berkaitan dan berkutat dengan 3 masalah utama berikut (1) Ketidakpastian hukum (aturan), (2) Ketidakpastian fiskal (ekonomi), dan (3) Proses administrasi / birokrasi / izin yang rumit. Permasalahan (1) dan (2) menjadi sangat berpengaruh pada kondisi tidak dihormatinya Kontrak Kerja Sama yang berlaku (dishonored of contract sanctity), yang secara mendasar merupakan syarat utama bagi iklim investasi yang kondusif. Penerbitan peraturan baru, deregulasi dan debirokrasi yang baru-baru ini dilakukan oleh Pemerintah cukup positif, namun masih tidak dapat secara efektif menangani 3 masalah utama tersebut. Upaya-upaya tersebut belum secara konkret menangani masalah dan beberapa bahkan menambah komplikasi permasalahan.
Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) No. 15 Tahun 2018 tentang Kegiatan Pasca Operasi pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 20 dan 21 Permen ESDM 15/2018 menyebutkan bahwa Kontrak Kerja Sama yang lama harus mengadopsi aturan ini, yang artinya menuntut adanya perubahan isi kontrak. Pasal 11 menyebutkan adanya kewajiban bagi KKKS untuk mengalokasikan dan menyetorkan dana, yang artinya memiliki implikasi terhadap arus kas dan hitungan keekonomian suatu investasi migas. Sementara Pasal 6 yang menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaannya aturan ini tidak hanya akan melibatkan KKKS dan SKK Migas, tetapi juga Ditjen Migas dan pihak/instansi lain terkait, akan memiliki konsekuensi terhadap aspek administrasi dan birokrasi serta perizinannya.
Contoh lainnya adalah Permen ESDM No. 47/2017 (revisi atas Permen ESDM 26/2017 tentang Mekanisme Pengembalian Investasi pada Kegiatan Usaha Hulu Migas, Permen ESDM 52/2017 (revisi atas Permen ESDM 8/2017) tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, dan Permen ESDM 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 % Pada Wilayah Kerja Migas.
Di luar Permen ESDM, di tingkatan Peraturan Presiden (Perpres), ada Perpres 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Sementara itu, di tingkat Peraturan Pemerintah (PP), dua aturan yang dianggap akan dapat memberikan kepastian dan sekaligus memberikan insentif fiskal untuk hulu migas, yaitu PP 53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan Pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split dan PP 27/2017 (revisi atas PP 79/2010) juga belum efektif karena secara administrasi dan birokrasinya masih harus menunggu diterbitkannya peraturan-peraturan pelaksana di bawahnya, baik di tingkat menteri maupun dirjen.
Analisis dan identifikasi studi ReforMiner menemukan bahwa terus berkutatnya sektor hulu migas di dalam 3 permasalahan utama di atas, adalah karena ada 3 elemen fundamental yang diperlukan dalam Kontrak Kerja Sama yang selama ini hilang dari regulatory framework sektor hulu migas yang ada, yaitu: (1) penerapan assume and discharge di dalam hal perpajakan Kontrak Kerja Sama, (2) pemisahan urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama dengan urusan pemerintahan dan keuangan negara (state finance), dan (3) penerapan prinsip single door bureaucracy /single institution model yang mengurus hal administrasi/birokrasi/perizinan Kontrak Kerja Sama.
Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi 22/2001 tidak memiliki ketiga elemen fundamental tersebut, sehingga regulatory framework pengelolaan hulu migas yang selama ini didasarkan atasnya selalu “conflicting†atau tidak sinkron dengan bentuk Kontrak Kerja Sama yang dijalankan, sehingga memunculkan ketiga masalah utama di atas.