(Kompas: Senin 8 Juni 2015)
Pertamina diminta memacu revitalisasi dan menambah empat kilang baru.
JAKARTA, KOMPAS PT Pertamina (Persero) ingin lebih dominan dalam pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas di Indonesia. Pertamina berharap keinginan itu terwujud dalam Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang diharapkan selesai pada 2015.Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan, beberapa pokok pikiran dari Pertamina dalam penyusunan revisi UU No 22/2001 adalah bagaimana Pertamina diperkuat dengan menjadi badan penyangga tunggal di sektor minyak dan gas (migas) untuk ketahanan energi nasional.
Dalam hal itu, Pertamina bertanggung jawab dalam pembangunan infrastruktur migas dan menjadi operator setiap wilayah kerja migas di Indonesia. Pertamina tentu secara informal banyak berdiskusi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (terkait revisi UU No 22/2001). Kami berharap secara formal dapat mengajukan usulan itu kepada pemerintah kata Wianda di Jakarta, Minggu (7/6).
Menurut Wianda, saat ini, kontribusi Pertamina bagi produksi minyak siap jual (lifting) di dalam negeri masih kecil, yaitu sekitar 23 persen. Dibandingkan dengan perusahaan minyak nasional Malaysia, yaitu Petronas, Pertamina jauh tertinggal. Kontribusi Petronas terhadap lifting minyak negara itu lebih dari 50 persen.
Kami juga menginginkan seluruh produksi migas nasional wajib dijual ke Pertamina untuk diolah di kilang-kilang milik Pertamina. Tujuannya, pasokan bahan bakar minyak (BBM) nasional bisa ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kata Wianda.
Terkait keinginan Pertamina untuk lebih dominan dalam pengelolaan migas itu, menurut pengamat energi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, hal itu bisa saja diwujudkan. Namun, diperlukan perusahaan minyak nasional yang baru, selain Pertamina.
Hal itu terkait dengan wacana pembubaran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjadi semacam badan usaha milik negara (BUMN) khusus. Keberadaan BUMN lain, selain Pertamina, diperlukan untuk menyempurnakan sistem yang dulu (saat Pertamina diberi kewenangan penuh mengelola blok migas di dalam negeri). Saat itu, seluruh blok migas yang dikuasakan ke Pertamina tidak seluruhnya berjalan optimal, kata Pri Agung.
Keberadaan BUMN Khusus, lanjut Pri Agung, akan mendorong kompetisi yang lebih sehat dengan Pertamina. Beberapa negara, seperti Brasil, Tiongkok, dan Norwegia, memiliki lebih dari satu perusahaan minyak nasional. Setiap perusahaan itu dapat saling bersinergi.
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Demokrat, dalam diskusi akhir pekan lalu, di Jakarta, Kurtubi, mengusulkan, sebaiknya SKK Migas dilebur ke tubuh Pertamina. Jadi, kontraktor swasta yang akan menandatangani kontrak pengelolaan suatu blok migas dengan Pertamina, tidak lagi dengan SKK Migas.
Menurut Kurtubi, pola semacam itu lebih adil dan setara. Model yang ada sekarang ini, perusahaan (kontraktor kontrak kerja sama) menandatangani kontrak dengan pemerintah yang diwakili SKK Migas. Saya rasa itu menurunkan derajat negara. Masak negara harus sejajar kedudukannya dengan perusahaan Padahal, negara adalah selaku pemilik sumber daya alam migas, katanya.
Harus transparan
Pengamat ekonomi dan politik, Ichsanuddin Noorsy, mengatakan, sah-sah saja jika Pertamina ingin dominan dalam pengelolaan blok migas. Namun, Pertamina harus transparan dalam pengadaan minyak mentah dan BBM, ataupun dalam penetapan harga jual BBM ke masyarakat. Hal itu untuk mencegah praktik penyelewengan yang rentan mengarah pada tindak pidana korupsi. Amerika yang dikenal liberal pun sangat transparan dan detail dalam penetapan harga jual BBM ke warganya. Sebaiknya Pertamina juga melakukan hal serupa, katanya.
Saat ini, Revisi UU No 22/2001 masih dalam pembahasan oleh pemerintah. Revisi UU tersebut sudah masuk dalam program legislasi nasional 2015. Baik pemerintah maupun kalangan DPR berharap revisi bisa selesai tepat waktu pada tahun ini.