Friday, November 22, 2024
HomeReforminer di Media2020Perubahan kontrak hulu migas jadi perizinan di UU Cipta Kerja dinilai rancu

Perubahan kontrak hulu migas jadi perizinan di UU Cipta Kerja dinilai rancu

KONTAN.CO.ID; 9 Oktober 2020

JAKARTA. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja alias Omnibus Law terus mematik polemik. Kali ini aturan kontroversial datang dari klaster energi yang mengubah sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Aturan yang mendapat sorotan ialah perubahan rezim dari kontrak hulu migas menjadi Perizinan Berusaha.

Menurut pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, pengubahan rezim pengusahaan hulu migas dari Kontrak Kerja Sama (KKS) menjadi perizinan berusaha tersebut serupa dengan yang berlaku di pertambangan umum mineral dan batubara (minerba).

 “Ada sinyal yang cukup kuat dari klaster (migas) di Omnibus Law bahwa ke depan, rezim kontrak akan diubah menjadi perizinan,” kata Pri saat dihubungi Kontan.co.id, Jum’at (9/10).

Dalam UU Migas Pasal 6 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama. Sementara dalam Omnibus Law klaster energi-migas, Pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Masalahnya, di Omnibus Law ini belum diatur secara jelas mengenai skema perizinan maupun pihak yang memberikan izin. Apalagi, pengaturan terkait dengan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) yang sebelumnya ada di Rancangan UU Omnibus Law telah dicabut, dan kelembagaan di hulu migas itu baru akan dibahas pada revisi UU Migas.

Padahal, adanya kepastian terkait kelembagaan tersebut sangat lah penting dan mendesak. Alhasil, adanya perubahan rezim kontrak menjadi perizinan, tanpa adanya kelembagaan yang pasti, menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian.

“Kelembagaan itu ada hubungannya dengan perizinan. Kalau itu dikeluarkan, arah perubahan (dari kontrak ke perizinan berusaha) menjadi tidak bisa ditebak, rancu, tidak utuh dan akhirnya tidak pasti,” jelas Pri.

Menurut dia, Omnibus Law klaster migas ini tidak memberikan pengaturan yang prinsipil, sehingga sebagian besar isu-isu krusial seperti kelembagaan hulu masih harus menunggu revisi UU migas yang entah kapan akan dibahas dan disahkan.

“Ini menimbulkan ketidakpastian bagi sektor migas. Karena sebagian besar masih akan dibahas melalui revisi UU Migas yang prosesnya kita nggak tahu kapan,” sambungnya.

Pri menambahkan, kendati Omnibus Law mengubah rezim kontrak hulu migas menjadi perizinan berusaha, namun kontrak-kontrak yang ada sekarang tetap berlaku dan belum ada yang berubah. Sebab, pengubahan rezim pengusahaan itu tidak lah mudah dan harus terlebih dulu ada aturan yang lebih jelas baik berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau diatur melalui revisi UU Migas.

“Omnibus law tidak menyebut kontrak yang sekarang ada menjadi perizinan, tidak merujuk pada itu. Secara implisit kontrak itu tetap berlaku sampai kemudian izin itu ada,” ujar Pri.

Artinya, dibutuhkan pengaturan dan masa transisi dalam mengubah kontrak hulu migas menjadi perizinan berusaha. Hal tersebut serupa dengan pengaturan dalam pertambangan minerba, dari rezim kontrak (KK dan PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Pasti akan ada transisinya di situ, karena tidak mungkin juga pemerintah mengubah seketika. Dulu (di pertambangan minerba) kontrak masih ada, tapi kemudian nanti harus ada penyesuaian menjadi izin. Tapi itu kan membutuhkan pengaturan lebih lanjut,” sambung Pri.

Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa pemerintah perlu segera memberikan kejelasan di dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau pun Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pelaksanaan Omnibus Law tersebut. Komaidi menekankan, pemerintah pun perlu membuat ketentuan peralihan dan masa transisi di dalam rezim hulu migas ini.

“Masih perlu menunggu PP dan Perpres-nya. Termasuk perlu ketentuan peralihan di dalam masa transisinya,” kata Komaidi.

Secara umum, di Omnibus Law klaster energi sektor migas baik hulu maupun hilir, Komaidi melihat ada kecenderungan pengaturan pengelolaan dan pengusahaan migas semakin ketat dan terpusat. Hal tersebut tercermin dari perubahan definisi mengenai pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pengenaan sanksi dalam kegiatan usaha migas yang lebih ketat dan berat dibandingkan yang diatur dalam UU Migas.

Dihubungi terpisah, Praktisi Migas Tumbur Parlindungan menilai bahwa prinsip penarikan kewenangan ke pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Presiden, justru cukup menjanjikan bagi perbaikan investasi.

Mengenai perubahan rezim kontrak menjadi perizinan di hulu migas, mantan Ketua Indonesian Petroleum Association (IPA) tersebut mengatakan, aturan itu mesti diperjelas melalui PP.

“Omnibus law merupakan preamble untuk PP dan aturan turunannya, itu yang kita tunggu. Kita tunggu PP-nya agar semua aturannya makin jelas,” kata Tumbur saat dihubungi Kontan.co,id, Jum’at (9/10).

Yang pasti, rezim izin ini diharapkan bisa lebih memberikan efektivitas dan kepastian dalam pengusahaan migas sebagai industri yang berisiko tinggi. “Kalau masa perpanjangan itu ada di PP atau kontrak PSC-nya, berarti setelah diberikan izin berusaha tidak perlu ada izin lain atau aturan lain. Karena aturan ini hanya dibuat untuk business yang high risk,” pungkas Tumbur.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments