CNBCIndonesia, 07 Mei 2021
PT Total Oil Indonesia memutuskan untuk menutup semua bisnis Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Indonesia sejak akhir 2020 lalu.
Hal ini menandakan dua perusahaan migas asing akhirnya menyerah berbisnis bahan bakar minyak (BBM) di negara ini, setelah perusahaan migas asal Malaysia, Petronas, memutuskan menutup bisnis SPBU-nya lebih dulu pada 2012 lalu.
Lantas, apa yang menyebabkan perusahaan asing akhirnya “gulung tikar” berbisnis retail BBM di Indonesia? Apakah karena kalah saing dan tidak mampu bersaing dengan bisnis SPBU PT Pertamina (Persero) yang telah menggurita dan mapan?
Pri Agung Rakhmanto, ahli ekonomi energi dan perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute, berpandangan setidaknya ada lima faktor yang menentukan perkembangan dan keberlangsungan bisnis SPBU di Indonesia.
Pertama, kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dalam hal ini khususnya untuk harga bensin dan biodiesel yang diatur oleh pemerintah (administered price), seperti solar dan bensin RON 88 atau dikenal dengan merek dagang Premium di Pertamina.
Kedua, mengenai kebijakan distribusi BBM, dalam hal ini dikenal adanya BBM penugasan dari pemerintah kepada badan usaha.
“Ketiga, volume dan distribusi dari market. Di kita, secara volume nasional cukup besar, mencapai 75 juta kilo liter (kl) per tahun, dengan distribusi yang terkonsentrasi di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) sekitar 50%, Sumatera sekitar 25%-30%,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (07/05/2021).
Lalu faktor keempat, ketersediaan infrastruktur penunjang seperti tangki penyimpanan, jaringan, dan jalur logistik dan distribusi. Dan terakhir, citra merek dagang (brand image) dan loyalitas konsumen menurutnya juga menjadi faktor pemicu berkembang atau tidaknya bisnis SPBU di Tanah Air.
Pri Agung berpandangan, tidak mudah bagi perusahaan swasta atau pemain bisnis retail BBM non Pertamina untuk bisa bertahan dan berkembang karena harus menghadapi kelima faktor di atas. Secara umum, lanjutnya, faktor-faktor tersebut lebih menyokong ke bisnis Pertamina.
“Dalam arti, Pertamina sebagai tuan rumah yang memang sudah established (mapan) memiliki keunggulan dalam banyak hal di kelima faktor di atas maupun di dalam adaptasinya terhadap perubahan-perubahan yang ada,” jelasnya.
Menurutnya, Pertamina lebih adaptif terhadap perubahan kebijakan harga dari pemerintah atau kebijakan penugasan pendistribusian BBM oleh pemerintah.
Lebih lanjut Pri Agung mengatakan, mengenai tutupnya bisnis SPBU perusahaan swasta, biasanya karena tidak memiliki cukup kemampuan dari salah satu atau beberapa faktor tersebut.
“Sedangkan yang mampu bertahan dan nantinya akan terus berkembang adalah yang memiliki kemampuan dan adaptabilitas yang baik terhadap kelima faktor di atas,” ungkapnya.
Namun demikian, dia berpandangan jika secara umum pasar BBM di Indonesia masih terus tumbuh, meski pertumbuhannya mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir.