Kompas.com; 8 Desember 2025
JAKARTA, KOMPAS.com – Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Indonesia baru mencapai 11,5 persen dari total potensi nasional, meskipun kapasitas terpasangnya berada di peringkat kedua dunia setelah Amerika Serikat. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan industri panas bumi nasional untuk mengejar target dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan capaian tersebut masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan.
“Filipina mampu memanfaatkan sekitar 48,07 persen dari total potensi panas buminya,” ujar Komaidi dalam paparannya, dikutip Senin (8/12/2025). Ia menambahkan, Turki bahkan mencatatkan lonjakan kapasitas PLTP tertinggi secara global, tumbuh 328,23 persen sepanjang 2014–2024.
Dalam RUPTL 2025–2034, pemerintah menargetkan energi baru dan terbarukan (EBT) berkontribusi 51 persen atau 27,4 gigawatt hingga 61,3 persen atau 42,6 gigawatt dari tambahan kapasitas pembangkit listrik nasional. Dari target tersebut, penambahan kapasitas PLTP ditetapkan sebesar 5,2 gigawatt.
Panas bumi dinilai memiliki sejumlah keunggulan. Selain tidak bergantung pada cuaca, faktor kapasitas pembangkitnya mencapai 90–95 persen, tertinggi di antara pembangkit EBT lain. PLTP juga menjadi satu-satunya pembangkit EBT yang bisa beroperasi sebagai beban dasar sistem kelistrikan.
Namun, pengembangan industri ini masih berjalan lambat. Komaidi menyebut kondisi pasar listrik panas bumi yang monopsoni—berada di bawah satu pembeli atau single buyer/single offtaker—menjadi salah satu penyebab. “Masih banyak proyek yang menunggu kepastian perjanjian jual beli listrik (PJBL) dan uap (PJBU), sementara kewajiban eksplorasi harus dipenuhi lebih dulu,” kata Komaidi.
Menurut kajian tersebut, keberhasilan Filipina dalam mengembangkan panas bumi didorong tersedianya perangkat regulasi yang mempermudah akses data, penyederhanaan birokrasi, hingga insentif fiskal. Perusahaan transmisi nasional di negara itu juga memberi dukungan penuh dalam proses jual beli listrik panas bumi. Sementara itu, Turki mempercepat pertumbuhan kapasitas PLTP melalui penerapan feed-in tariff, percepatan perizinan, insentif fiskal, serta jaminan dan kompensasi bagi investor yang terdampak perubahan kebijakan.
Usulan Penyempurnaan Kebijakan Kajian menilai sejumlah langkah perlu dilakukan untuk mengejar target RUPTL:
Revisi regulasi dasar dan turunan panas bumi, termasuk pengaturan posisi panas bumi dalam penyediaan listrik nasional. Penyederhanaan dan kepastian perizinan, lengkap dengan batas waktu proses perizinan. Penguatan pelaksanaan Perpres 112/2022 melalui sinergi kementerian dan lembaga. Kepastian jadwal penandatanganan PJBL dan PJBU, terutama dalam kondisi pasar monopsoni. Penyederhanaan negosiasi tarif, yang sebaiknya hanya mencakup harga dasar dan eskalasi. Intervensi pemerintah jika negosiasi harga listrik maupun uap tidak menemukan kesepakatan dalam batas waktu wajar.
Perbaikan skema pembelian tenaga listrik, karena ketentuan Harga Patokan Tertinggi dalam Perpres 112/2022 mengasumsikan pengembang dapat mengakses dukungan pemerintah seperti government drilling atau pembiayaan risiko eksplorasi, yang pada praktiknya belum banyak dapat dimanfaatkan. “Jika akses terhadap fasilitas pendanaan dan dukungan pemerintah masih terbatas, maka ketentuan harga tidak akan sejalan dengan struktur biaya di lapangan,” ujar Komaidi. Ia menegaskan bahwa penyempurnaan kebijakan menjadi krusial untuk memastikan PLTP dapat berkembang sesuai target dan memainkan peran strategis dalam transisi energi nasional.
