Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute &
Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
Investor Daily; Jumat, 11 Oktober 2019 | 11:13 WIB
Rencana penyesuaian harga jual gas PGN untuk pengguna industri yang sedianya efektif diberlakukan pada awal Oktober 2019, masih menuai pro-kontra. Pelaku industri pengguna gas bumi melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia belum sepakat dengan rencana tersebut. Pelaku industri mengisyaratkan akan tetap menggunakan harga lama jika PGN melakukan penyesuaian harga gas.
Melalui FGD Kepastian Implementasi Penurunan Harga Gas Bumi Sesuai Perpres No 40/2016 yang dilaksanakan pada 25 September 2019, Kadin, Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), dan Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) merumuskan sejumlah rekomendasi terkait industri gas. Pertama, Pemerintah diminta mengimplementasikan harga gas bumi sesuai ketentuan Perpres No 40/2016.
Kedua, penerapan harga gas bumi dilakukan di titik pengguna (plant gate). Ketiga, pipa gas SSWJ ditetapkan sebagai open access dan di-review oleh BPH Migas. Keempat, BKPM perlu mencari investor untuk jasa distribusi gas. Kelima, pelaku industry bersepakat akan menolak harga gas yang akan disesuaikan PGN dan hanya akan membayar dengan patokan tarif lama.
Perlu Duduk Bersama
Mencermati permasalahan yang ada tersebut, saya menilai para pihak perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang optimal. Bagaimanapun penyelesaian permasalahan bisnis memerlukan komunikasi dua arah, yang mana PGN dan industri pengguna gas tidak dapat hanya berdiri dan melihat dari sudut pandang kepentingan masing-masing.
Pada satu sisi, industri pengguna gas perlu memahami posisi PGN adalah sebagai usaha niaga gas. Karena itu, harga jual gas PGN akan sangat ditentukan oleh harga yang diperoleh dari industri hulu gas. Berdasarkan kajian ReforMiner, harga gas kepala sumur di Indonesia cukup variatif. Rata-rata harga gas kepala sumur di seluruh wilayah Indonesia sekitar US$ 5,30/MMBTU dengan rentang harga yang berbeda untuk setiap wilayahnya.
Rentang harga gas kepala sumur untuk wilayah Indonesia bagian barat antara US$ 2,88–8,90/MMBTU dengan rata-rata US$ 6,16/MMBTU. Wilayah Indonesia bagian tengah berkisar US$ 2,59–6,44/MMBTU dengan rata-rata US$ 5,26/MMBTU.
Sementara untuk wilayah Indonesia bagian timur berkisar US$ 2,05–4,29/MMBTU dengan rata-rata US$ 2,65/MMBTU. Jika mengacu pada harga gas kepala sumur tersebut, kemungkinan akan sulit bagi PGN untuk dapat memberikan harga jual gas sesuai amanat Perpres No 40/2016. Perpres tersebut mengamanatkan harga gas untuk pengguna industry tidak boleh melebihi US$ 6/MMBTU.
Sementara itu, jika PGN membeli gas di wilayah Indonesia bagian barat yang dapat mencapai US$ 8,9/MMBTU di kepala sumur misalnya, tentu tidak mungkin akan menjualnya dengan harga yang diamanatkan Perpres tersebut. Apalagi jika sumber gas yang diperoleh PGN berasal dari LNG yang memerlukan biaya tambahan pada fasilitas regasifikasi untuk mengubah LNG menjadi gas kembali.
Sementara di sisi yang lain, PGN juga perlu memahami permasalahan industri pengguna gas. Studi ReforMiner menemukan harga gas yang diterima oleh beberapa industri di Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan harga gas yang diterima oleh industri pengguna gas di Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Rata-rata harga gas kepala sumur ketiga negara tersebut juga tercatat lebih rendah dibandingkan rata-rata harga gas kepala sumur di Indonesia. Hal tersebut di antaranya karena durasi dari penemuan cadangan sampai dengan pertama kali gas diproduksikan di ketiga negara tersebut rata-rata lebih cepat dibandingkan Indonesia.
Studi ReforMiner juga menemukan bahwa tingginya harga gas di Indonesia tidak semata-mata dikontribusikan oleh industri hulu, tetapi juga akibat keterbatasan infrastruktur dan niaga gas yang bertingkat. Harga gas yang diterima industri makanan di wilayah Bekasi merupakan salah satu contohnya.
Industri pengguna harus menerima harga gas sebesar US$ 14,50/MMBTU meskipun harga gas di kepala sumur yang dialokasikan untuk industri tersebut sebesar US$ 6/MMBTU. Rantai niaga gas yang panjang menyebabkan harga gas yang harus dibayar industry pengguna menjadi sekitar 242% dari harga gas di kepala sumur.
Secara umum industri gas memiliki rantai bisnis yang lebih panjang dibandingkan industri minyak. Rantai bisnis dalam industri gas di antaranya meliputi industri hulu, usaha penyediaan pipa transmisi dan distribusi, usaha infrastruktur pengolahan (kilang LNG), usaha penyediaan infrastruktur regasifikasi, dan melibatkan pelaku usaha niaga gas.
Bagi Indonesia, kondisinya semakin kompleks mengingat sekitar 80% kebutuhan gas berada di wilayah Indonesia bagian barat, sedangkan sekitar 75% cadangan gas berada di wilayah Indonesia bagian timur. Karena itu, ketersediaan infrastruktur menjadi kunci agar produksi gas dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam negeri.
Mengingat banyak rantai bisnis yang terlibat, para pihak perlu lebih cermat dan hati-hati di dalam menyikapi kebijakan niaga gas, terutama menyangkut penetapan harga gas. Para pihak perlu melakukan identifikasi menyeluruh terhadap penyebab meningkatnya harga gas terlebih dahulu sebelum mengambil sikap.
Hal ini mengingat pengambilan sikap yang hanya didasarkan pada informasi parsial justru dapat berpotensi merugikan kepentingan para pihak.
Terkait polemik yang terjadi antara PGN dan industri pengguna gas tersebut, alangkah baiknya jika para pihak segera duduk bersama mencari solusi atas permasalahan yang ada. Agar dapat memahami permasalahan satu sama lain, penting bagi para pihak untuk saling terbuka mengenai struktur biaya masing-masing.
Bagi industri pengguna gas, penting untuk menyampaikan kepada PGN bagaimana sesungguhnya gambaran porsi biaya pengadaan gas dalam struktur biaya produksi mereka.
Sedangkan bagi PGN, juga penting untuk menyampaikan kepada industri penggunanya mengenai bagaimana struktur biaya gas yang diniagakan dan berapa besaran margin wajar yang diambil dari kegiatan tersebut.