Sunday, November 24, 2024

Posisi Menteri ESDM

Pri Agung Rakhmanto 
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Kompas, 13 September 2016

Pasca pemberhentian Arcandra Tahar karena masalah dwikewarganegaraan, posisi menteri ESDM definitif hingga saat tulisan ini dibuat belum terisi. Tugas menteri ESDM dijalankan oleh Pelaksana Tugas Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan yang merangkap sebagai Menko Kemaritiman.

Ada banyak sekali pandangan, pendapat, dan usulan yang berkembang di publik, baik yang hanya berbicara tentang kriteria maupun yang menyebut secara langsung nama-nama yang dipandang pantas menduduki kursi Menteri ESDM. Tulisan ini tentu saja juga merupakan bagian dari hal itu. Mudah-mudahan tidak menambah hiruk pikuk yang ada, tetapi bisa ikut membantu mendudukkan permasalahan yang ada sesuai porsinya.

Setelah Purnomo Yusgiantoro 2000-2009, tidak ada satu pun figur yang duduk di posisi Menteri ESDM itu hingga selesai satu periode pemerintahan. Darwin Saleh mendudukinya hampir dua tahun (2009-2011), digantikan Jero Wacik (2011-2014) kurang lebih sebulan sebelum berakhirnya masa pemerintahan SBY- Boediono. Ia kemudian digantikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Chairul Tanjung. Berikutnya adalah Sudirman Said (2014-2016), yang baru saja digantikan oleh Arcandra Tahar. Ternyata sang pengganti ini bahkan hanya 20 hari menduduki posisi itu.

Tidak sembarangan

Dari fakta itu jelas bahwa posisi Menteri ESDM (ternyata) memang tidak sembarangan. Jelas pula bahwa figur yang (semestinya) menempatinya, juga tidak boleh sembarangan. Sekadar untuk dapat bertahan “duduk” di posisi itu sampai selesai satu periode pemerintahan saja terbukti sangat tidak mudah.

Belum lagi menyelesaikan segala permasalahan dan pekerjaan rumah di dalamnya yang menumpuk sekian banyak. Jelas tidak akan mudah dan dapat dipastikan sangat tidak sederhana, baik secara politik, teknis, manajerial, maupun dari sisi operasionalnya.

Oleh karena itu, sebelum lebih jauh membicarakan kriteria dan apalagi nama, mungkin ada baiknya kita membaca fenomena posisi Menteri ESDM ini tidak hanya dari apa yang terlihat, tetapi juga dari apa yang bisa dirasakan. Sependek yang saya bisa lihat dan sedangkal yang bisa saya rasakan dari luar, sepertinya ada semacam aturan main tidak tertulis yang berlaku di dalam fenomena posisi Menteri ESDM ini, paling tidak sejak periode Purnomo Yusgiantoro.

Pertama, bahwa posisi Menteri ESDM ini secara portofolio ekonomi-politik sepertinya memang harus menjadi “milik” Presiden. Dalam arti, figur yang mengisi posisi ini harus merupakan orang yang dapat dipercaya atau secara politik bisa mendapatkan kepercayaan (penuh) presiden. Ini adalah aspek ekonomi-politik, yang menurut saya paling fundamental dan merupakan prasyarat utama dan pertama yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat duduk dan kemudian bertahan di posisi itu.

Dengan hal itu, di satu sisi pada posisi itu dia akan mendapatkan dukungan politik presiden, tetapi di sisi lain dengan posisi itu dia pada lingkup dan tataran tertentu juga harus bisa berfungsi untuk memperkuat Presiden secara ekonomi-politik, langsung ataupun tak langsung.

Fungsi politik dan teknis

Kedua, dalam kaitan dengan aspek ekonomi-politik, pada posisi Menteri ESDM melekat aspek dan fungsi politik dan teknis secara bersamaan. Sepertinya, tidak dapat dihindari bahwa di dalam penyelesaian permasalahan teknis yang ada, yang berhubungan dengan dimensi ekonomi (bisnis) sektor ESDM, Menteri ESDM akan selalu berinteraksi, bersinggungan, dan bahkan mungkin berhadapan langsung maupun tak langsung dengan aktor-aktor utama di dalamnya yang memiliki keterkaitan, pengaruh, dan kekuatan politik.

Di dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru di mana kekuatan ekonomi-politik tidak lagi terpusat pada satu poros, tetapi tersebar pada beberapa poros utama, posisi Menteri ESDM secarade facto menjadi berada di dalam pusaran itu.

Ketiga, sebagai konsekuensi dari dua hal di atas, di sepanjang periode tersebut menjadi logis ketika pertimbangan politik lebih mendominasi dasar pengambilan keputusan dibandingkan dengan pertimbangan dan kompetensi teknis. Hal ini terjadi baik di dalam penentuan figur yang mengisi posisi tersebut ataupun di dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan permasalahan teknis di sektor ESDM.

Tidak kemudian berarti bahwa pertimbangan teknis menjadi tidak penting dan diabaikan, tetapi pertimbangan dan faktor yang lebih menjadi penentu adalah politik. Pertimbangan teknis penting, tetapi perlu pertimbangan dan kalkulasi politik yang matang. Pertimbangan dan kompetensi teknis ketika sejalan dengan politik adalah semacam “bonus” yang memudahkan pengambilan keputusan dan memperkokoh bangunan dan relasi politik.

Jangan jadi beban

Sebaliknya, ketika pertimbangan teknis hanya menjadi kosmetik, tetapi dengan menafikan konteks dan konstelasi politik yang ada, hal itu akan menjadi beban yang kemudian menjadikan suatu keputusan atau kebijakan dipermasalahkan atau mengondisikan seorang Menteri ESDM yang tidak dapat bertahan hingga selesai satu periode pemerintahan.

Ketiga hal di atas, menurut saya, masih akan tetap menjadi semacam aturan main tidak tertulis yang berlaku di panggung politik nasional, terutama yang berkaitan dengan posisi Menteri ESDM, paling tidak hingga 2019 atau 2024.

Penentuan kriteria dan pemilihan figur yang akan mengisi posisi itu, dengan demikian, suka atau tidak suka, kemungkinan tetap akan mengikuti “panduan” dari ketiga aturan main yang tidak tertulis itu.

Kompromi dan bagaimana bisa menyelaraskan ketiganya secara elegan adalah pilihan realistis yang dapat dan perlu dilakukan, baik di dalam pengisian posisi Menteri ESDM definitif yang saat ini masih kosong maupun bagaimana nanti sang Menteri ESDM definitif tersebut akan menunaikan tugas mulia dari negara dan sepenuhnya bekerja untuk kemaslahatan rakyat.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments