Sunday, January 5, 2025
HomeReforminer di Media2024PPN Jadi 12 Persen, Akankah Harga BBM Naik?

PPN Jadi 12 Persen, Akankah Harga BBM Naik?

Kompas.id; 19 Desember 2024

Penerapan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen, naik dari sebelumnya 11 persen, mulai 1 Januari 2025 telah dinyatakan akan berlaku secara umum. Seperti apa dampaknya pada harga bahan bakar minyak atau BBM sebagai salah satu energi penunjang mobilitas masyarakat luas? Sejauh ini, stimulus terkait energi diberikan untuk kendaraan berbasis baterai dan hibrida, bukan kendaraan berbahan bakar minyak.

Pada Senin (16/12/2024), pemerintah resmi menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen. Kenaikan itu tetap berlaku secara umum bagi berbagai barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat, dengan memperhatikan asas keadilan. Di samping itu, pemerintah juga memberi sejumlah stimulus ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat (Kompas, 17/12/2024).

Dalam stimulus terkait energi dan transportasi, pemerintah memberi diskon 50 persen untuk tarif listrik Januari dan Februari 2025, khusus untuk pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan daya 2.200 volt ampere (VA) ke bawah. Di samping itu ada stimulus bagi mobil listrik dan mobil hibrida, antara lain pajak ditanggung pemerintah. Namun, tidak ada stimulus terkait BBM.

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, ditemui di sela-sela peresmian BBM Satu Harga di Terminal Terintegrasi BBM Wayame, Ambon, Maluku, Rabu (19/12/2024), mengatakan, pihaknya masih berkoordinasi terkait penerapan PPN 12 persen pada BBM. Kalaupun akan berimbas pada kenaikan harga BBM, ia meyakini kenaikannya tidak akan signifikan.

”Terus terang kami masih koordinasi, apakah nanti berdampak ke energi, atau tidak. Namun, tambahan 1 persen (PPN) itu sebenarnya kecil. Kami serahkan ke pemerintah dan secara prinsip Pertamina harus mendukung. Hanya, kalau memang ini mencakup juga energi, kami juga harus menyiapkan penjelasan kepada publik,” tutur Riva.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Erika Retnowati menuturkan, berkaca dari kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11, beberapa tahun lalu, harga BBM bersubsdi tetap atau tidak ada perubahan. Artinya, pemerintah yang akan menanggung beban kenaikan 1 persen PPN. Sementara pada BBM nonsubsidi, termasuk pertamax, kenaikan harga jual dapat dilakukan oleh badan usaha.

Ia tak bisa memperkirakan berapa kenaikan harga BBM nonsubsidi. ”Itu, kan, ada formulanya sehingga tentu akan menyesuaikan. Saya enggak bisa bilang harganya (jadi) berapa. Itu bergentung harga minyak dunia juga ke dalam formula tersebut. Namun, kan, bedanya sedikit. Untuk kelas menengah ke atas (pengguna BBM nonsubsidi), semestinya tidak masalah,” kata Erika.

Saat dikonfirmasi mengenai adanya kemungkinan migrasi dari BBM nonsubsidi ke subsidi akibat kenaikan harga, Erika mengaitkannya dengan rencana pengaturan kriteria pengguna pertalite dalam reformasi BBM bersubsidi. Namun, hingga saat ini, Presiden Prabowo Subianto belum memutuskan apa-apa terkait rencana reformasi subsidi yang juga akan dilakukan pada kelistrikan itu.

”BBM, kan, ke depannya ada transformasi (BBM bersubsidi) itu. Jadi, sebagian masih diberikan (seperti yang berjalan saat ini) dan sebagian BLT (bantuan langsung tunai). Namun, itu, kan, belum diputuskan,” ucap Erika.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, di sela-sela peninjauan ke pembangkit listrik terapung atau barge mounted power plant Nusantara 1 di Maluku Tengah, Rabu, tak menjawab secara pasti saat ditanya terkait dampak PPN 12 persen kepada masyarakat, khususnya terkait BBM. Namun, ia mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah akan berpihak kepada rakyat.

”(Mengenai BBM) kami lagi membuat formulasinya dan insya Allah akan juga tidak menyengsarakan rakyat,” kata Bahlil.

Selama ini, harga jual BBM bersubsidi ditetapkan pemerintah. Terakhir kali ada penyesuaian adalah pada 3 September 2022. Saat itu, harga pertalite dinaikkan dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Begitu pula harga biosolar yang naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, yang bertahan hingga saat ini.

Digeser ke konsumen
Sebelumnya, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pengenaan PPN umumnya selalu digeser kepada pengguna akhir. Dalam hal ini, Pertamina ataupun badan usaha penyedia BBM sebagai pihak yang wajib pungut, sementara yang membayar secara riil ialah konsumen. Hal tersebut khususnya bisa terjadi pada BBM nonsubsidi.

Sementara pada BBM bersubsidi, seperti pertalite dan biosolar, kemungkinan akan ditanggung pemerintah. Sebab, selama ini pun pemerintah yang berwenang menetapkan harga BBM bersubsidi. Adapun BBM nonsubsidi diserahkan kepada badan usaha, hanya ada batas atas tertentu yang diatur sehingga mesti diikuti badan usaha.

”(Kenaikan PPN 1 persen) sebetulnya ada sisi positif, yakni dari kacamata lingkungan hidup dan penggerak energi terbarukan. Sebab, jika harga fosil naik, energi terbarukan bisa lebih kompetitif meskipun ujung-ujungnya tetap kena pajak. Orang menjadi lebih melirik ke sana (nonfosil),” papar Komaidi.

Namun, menurut dia, lebih krusial ialah potensi dampak lanjutan kenaikan PPN, yakni pengaruh pada menurunnya konsumsi masyarakat, yang selama ini menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai kenaikan PPN menjadi tidak efisien karena pada akhirnya target pertumbuhan ekonomi tak tercapai akibat ada rentetan kenaikan harga. Terlebih jika ternyata target penerimaan juga tak tercapai.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments