Kontan; 13 Maret 2024
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat realisasi lifting minyak sebesar 605,5 ribu BOPD pada tahun lalu.
Jumlah tersebut turun dari realisasi 2022 sebesar 612,3 ribu BOPD dan juga masih di bawah target APBN 2023 sebesar 660 ribu BOPD dan work program and budget (WP&B) 621 ribu BOPD.
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto mengatakan, SKK Migas akan berupaya mencapai produksi lifting minyak pada 2024 supaya tidak kurang dari 600 ribu BOPD di tengah tantangan pada awal tahun menghadapi bencana alam banjir.
Dwi membeberkan sejumlah kendala yang dihadapi oleh SKK Migas, antara lain kondisi cuaca yang ekstrem, safety stand down yang terjadi di seluruh wilayah Pertamina selama empat bulan yang mengakibatkan berkurangnya produksi sekitar 3.000 BOPD, pengeboran yang tidak mencapai target, ketersediaan rig, finansial, minimalnya integasi infrastruktur gas, hingga tumpang tindih dengan kawasan hutan konservasi.
“Kita menghadapi problementry rate yang berkurang 5.400 barel per hari, ada proyek-proyek yang delay menyebabkan berkurangnya 6.100 barel, dan beberapa peralatan yang stop planned maupun unplanned berkurang 7,4 ribu,” kata Dwi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Rabu (13/3).
Praktisi Sektor Hulu Migas, Tumbur Parlindungan menilai produksi minyak turun setiap tahunnya disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi. Pertama, kurangnya aktivitas eksplorasi terutama dalam kurun 15 tahun terakhir, sehingga belum ditemukan lapangan-lapangan baru yang signifikan produksinya.
“Kedua, laju penurunan produksi dari lapangan yang ada juga cukup besar (di atas 2% per tahun), namun pada saat ini mulai banyak dilakukan penanganan penurunan produksi dengan teknologi,” ungkap Tumbur kepada KONTAN, Rabu (13/3).
Ketiga, lanjut Tumbur, ?fluktuasi harga komoditas juga mengakibatkan banyak penundaan dalam investasi terutama di sektor hulu migas. Selain itu, contract sanctity juga menjadi salah satu domain yang akibatnya banyak investor di sektor hulu melakukan “wait and see” dalam berinvestasi di Indonesia.
Terakhir, competitiveness upstream Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain yang mempunyai resources juga merupakan salah satu kendala dalam menarik investor.
Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, masalah utama target produksi minyak yang tidak tercapai lantaran lapangan eksisting sudah berumur tua secara pola atau tren berada pada kondisi yang terus turun.
“Fosil kan memang sudah menjadi hukum alam pasti kemampuan produksinya akan turun,” kata Komaidi kepada KONTAN, Rabu (13/3).
Biasanya, kata Komaidi, untuk mengkompensasi hal itu harus dilakukan penemuan baru atau mengganti lapangan atau sumur-sumur yang baru yang sudah turun produksinya, seperti yang dilakukan negara-negara lain.
Ia menuturkan, untuk menemukan cadangan baru harus dilakukan kegiatan eksplorasi, tanpa adanya kegiatan eksplorasi kemungkinan kecil sekali untuk bisa menemukan cadangan.
“Ibarat di pertanian, eksplorasi ini seumpamanya menanam, kalau tidak menanam ya tidak akan pernah panen,” tutur Komaidi.
Menurut Komaidi, masalah utamanya saat ini adalah sistem pengusaha migas di Indonesia memakai sistem kontrak, di mana ketika pada tahap eksplorasi ketika belum menemukan cadangan migas, 100% risikonya melekat pada KKKS.
Selain itu, di tambah dengan kondisi geologi yang berbeda dengan masa lalu yang cadangannya lebih banyak di darat, saat ini cadangannya lebih banyak di laut dalam sehingga risiko masalahnya makin tinggi.
“Ini kombinasi masalah kenapa kegiatan eksplorasi tidak masif dan cadangan yang ditemukan juga tidak signifikan. Lebih besar penurunan produksinya daripada cadangan-cadangan baru,” ujar Komaidi.
Ia menambahkan, pelaku migas sebetulnya sudah memberikan masukan dan mengeluhkan ke pemerintah, namun belum dijalankan dengan baik. Menurutnya, pengusaha migas ini perlu kolaborasi.
“Modalnya gede, teknologinya canggih. Harus berkolabarasi baik di modal, teknologi, dan tenaga ahlinya,” pungkas Komaidi.