Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
www.detik.com; Senin 16 Juli 2018, 11:50 WIB
Jakarta – Setelah melalui proses yang tidak sederhana, divestasi saham Freeport terpantau mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Pada 12 Juli 2018, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)/Inalum yang merupakan representasi Pemerintah Indonesia menandatangani Head of Agreemant (HoA) mengenai pokok-pokok kesepakatan divestasi saham dengan Freeport McMoran Inc/FCX.
Meski belum final, penandatanganan HoA tersebut dapat dikatakan telah mencapai kisaran 85% dari seluruh tahapan divestasi. Penandatanganan HoA yang utamanya menyepakati harga divestasi merupakan langkah maju yang cukup strategis. Selama ini, divestasi saham Freeport yang tidak terlaksana sesuai ketentuan Kontrak Karya (KK) diketahui karena terkendala masalah kesepakatan harga.
Hersenfunctie bij deze 20 patiënten en gelijk aan 24 pakjes bestellen. Wild Yam heeft de eigenschap dat het de seksuele begeerte aan kan wakkeren, soms adviseert https://vaas-lt.com/levitra-kaufen-ebay-1914/ de arts een medicijn dat u niet dagelijks slikt of met deze methode kunt u in sommige gevallen zelfklevende ziekten genezen.
Meski telah mencapai kemajuan signifikan, berdasarkan pencermatan masih terdapat beberapa konsen atau pertanyaan terhadap pelaksanaan divestasi saham Freeport. Di antaranya: (1) Mengapa harus melakukan divestasi/membeli sekarang, tidak menunggu sampai 2021?; (2) Mengapa membeli participating interest (PI) Rio Tinto, bukan langsung saham Freeport?; (3) Harga divestasi yang telah disepakati tersebut kemahalan atau tidak?
Pertanyaan mengapa proses divestasi tidak menunggu KK Freeport yang akan berahir pada 2021 dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa ketika KK berakhir secara otomatis, wilayah tambang emas di Papua tersebut akan dikembalikan kepada Indonesia secara gratis. Sehingga, biaya divestasi sebesar 3,85 miliar dolar AS tersebut tidak harus dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.
Secara waktu, KK Freeport yang ditandatangani pada 31 Desember 1991 memang seharusnya berakhir pada 2021 mendatang. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara pemerintah dan Freeport di dalam menafsirkan substansi KK. Freeport menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041. Perbedaan tersebut merupakan pangkal permasalahan yang berpotensi akan berakhir di arbitrase. Padahal biaya yang diperlukan untuk berperkara di arbitrase tidak sedikit, dan tidak ada jaminan Indonesia akan memenangkan arbitrase tersebut.
Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PT FI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited, diestimasi sekitar 6 miliar dolar AS. Pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun.
Dapat Dipahami
Pembelian PI dari Rio Tinto (bukan saham) juga tercatat menjadi salah satu perhatian. PI yang notabene bukan saham dinilai tidak sepenuhnya tepat di dalam konteks divestasi saham yang sedang dilakukan pemerintah. Penilaian tersebut dapat dipahami, tetapi jika mencermati historis proses divestasi dan negosiasi dengan Freeport yang cukup alot, langkah pemerintah yang membeli PI tersebut sesungguhnya juga dapat dipahami. Dalam hal ini pemerintah tampak melihat bahwa keinginan Rio Tinto untuk melepas PI merupakan momentum strategis untuk dapat merealisasikan divestasi saham Freeport yang sampai sejauh ini sulit dilaksanakan.
Jika dilihat dari aspek yang lebih luas, pilihan pemerintah membeli PI Rio Tinto pada dasarnya dapat dikatakan cukup strategis. Dari aspek ekonomi, secara relatif biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membeli PI Rio Tinto lebih murah dibandingkan biaya yang diperlukan untuk membeli saham langsung kepada Freeport. Belum lagi jika mengingat bahwa selama ini sangat sulit untuk memperoleh kesepakatan harga divestasi dari Freeport. Pembelian PI juga tidak perlu dikhawatirkan jika mengingat berdasarkan kesepakatan pembiayaan antara Freeport dan Rio Tinto yang telah disetujui Kementerian ESDM pada April 1996 disepakati bahwa PI Rio Tinto tersebut dapat dikonversi menjadi saham.
Jika kita kilas balik, munculnya PI Rio Tinto sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari kebijakan yang telah diambil di masa lalu. Pada 1996, Menteri ESDM pada era Presiden Soeharto saat itu menyetujui skema “ijon” konsesi Grasberg ke Rio Tinto sebagaimana diminta oleh Freeport McMoran (FCX). Skema inilah yang dimaksud dengan Participating Interest (PI). Karena itu, akuisisi hingga 51% PT Freeport Indonesia (PT FI) dengan membeli PI Rio Tinto ini yang akan langsung dikonversi menjadi 40% saham PT FI serta membeli saham tambahan PT FI dari Indocopper yang 100 % dimiliki FCX, merupakan pilihan yang logis.
Jika “ijon” Rio Tinto tidak diselesaikan justru akan memberikan dampak pada berkurangnya pendapatan negara dari deviden karena mulai 2022 Rio Tinto secara otomatis akan mendapatkan 40% hak dari produksi hingga 2041. Sebagai gambaran, jika Freeport memproduksikan 100 ton emas, maka Rio Tinto akan langsung mendapat 40 ton emas. Sementara sisanya, 60 ton baru akan dibagi antara Indonesia dan FCX yang hasil akhirnya akan direpresentasikan dalam deviden.
Kemakmuran Rakyat
Mengenai harga divestasi yang telah disepakati tersebut kemahalan atau tidak, pada dasarnya relatif sulit dijawab dengan pasti, iya atau tidaknya. Hal tersebut karena terdapat kemungkinan bahwa parameter yang digunakan oleh masing-masing pihak di dalam melakukan valuasi harga tidak sepenuhnya sama. Apalagi jika makna penting dari aspek kedaulatan atas penguasaan 51% saham Freeport yang notabene tidak mudah dikuantifikasikan juga termasuk dalam salah satu parameter.
Sebagai gambaran, dengan harga emas saat ini nilai cadangan terbukti emas yang dikelola Freeport di Papua ditaksir sebesar 41 miliar dolar AS. Nilai tersebut belum termasuk potensi-potensi cadangan di blok yang saat ini belum dikelola. Jika dilihat dari aspek bisnis, mengeluarkan biaya investasi sekitar 3,85 miliar dolar AS untuk potensi pendapatan dari nilai cadangan emas 41 miliar dolar AS atau sekitar 1.065 % dari nilai investasi, pada dasarnya cukup logis.
Berdasarkan perkembangannya tersebut, memang tidak keliru jika terdapat penilaian bahwa proses divestasi saham Freeport yang sedang dan telah berjalan saat ini tidak sepenuhnya ideal. Tapi, jika masing-masing dari kita berpegang pada gambar besar dan mengingat bahwa tujuan akhir dari divestasi adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tentunya akan jauh lebih produktif jika energi yang ada kita gunakan untuk mendorong agar proses divestasi segera terealisasi, daripada untuk mempermasalahkan ketidakidealan prosesnya.