CNBCIndonesia,09 Desember 2021
Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah RI memiliki target ambisius terkait produksi minyak dan gas bumi (migas) pada 2030. Untuk produksi minyak ditargetkan mencapai 1 juta barel per hari (bph), sementara untuk gas ditargetkan hingga 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD).
Target itu bukan tanpa tantangan, salah satu tantangan yang dihadapi dalam beberapa waktu ini yaitu investor-investor raksasa di sektor migas mengundurkan diri dari Indonesia.
Lalu, mungkinkah target 1 juta bph dan 12 BSCFD itu bisa tercapai?
Pri Agung Rakhmanto, Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute, mengatakan bahwa iklim investasi migas RI yang kalah kompetitif tentunya akan membuat target yang dicanangkan itu sulit tercapai.
Alasannya, secara kalkulasi target 1 juta barel per hari minyak dan 12 BSCFD gas itu memerlukan tambahan produksi dari lapangan-lapangan migas skala besar.
“Untuk bisa mencapai 1 juta bph, secara kalkulasi memerlukan tambahan produksi dari lapangan-lapangan migas skala besar yang di dalam kenyataan, umumnya atau mayoritas dihasilkan dari investasi-investasi skala besar yang dilakukan oleh para major international oil companies (IOCs),” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (09/12/2021).
Pri berpandangan jika 1 juta bph ini belum layak untuk disebut sebagai target karena belum ada kejelasan dari detail program kerjanya. Misalnya, dari lapangan mana saja target produksi itu dihasilkan.
“Termasuk di dalamnya akan dari lapangan mana produksi itu dihasilkan, berapa produksinya, kapan waktunya, dan oleh siapa yang akan melakukannya, sampai saat ini belum jelas,” ucap Pri Agung.
Hal senada disampaikan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi. Dia mengatakan, target ini mustahil dicapai tanpa adanya temuan cadangan yang besar.
“Target 1 juta bph mustahil dicapai, kecuali ditemukan sumur baru dengan cadangan terbukti yang besar,” paparnya.
Seperti diketahui, raksasa migas yang akan hengkang dari Indonesia terbaru adalah ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd (CIHL), unit perusahaan minyak dan gas bumi (migas) berbasis di Houston, Amerika Serikat. CIHL menjual 100% sahamnya kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
CIHL memegang 100% saham di ConocoPhillips (Grissik) Ltd (CPGL) dan 35% saham di Transasia Pipeline Company Pvt Ltd. CPGL adalah operator dari blok gas Corridor (Corridor PSC), Sumatera Selatan, dengan kepemilikan hak partisipasi 54% di Blok Corridor ini.
Beberapa waktu belakangan raksasa migas asing lainnya juga menyatakan akan cabut dari Indonesia, salah satunya adalah Royal Dutch Shell yang melepas 35% sahamnya di Lapangan Abadi, Blok Masela.
Satu lagi adalah Chevron Indonesia Company yang menyatakan mundur dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur. Sebelumnya, pihak Chevron menyampaikan bahwa proyek IDD tahap 2 dengan nilai investasi menembus US$ 5 miliar itu tidak dapat bersaing untuk mendapatkan modal dalam portfolio global Chevron.
Berdasarkan hasil riset, sebelumnya terdapat beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) asing yang juga hengkang dari Indonesia sejak tahun 2013. Diantaranya adalah Hess Corporation dari Blok Semai. Kemudian Marathon Oil dari Blok Pasang Kayu, Sulawesi Selatan. Dan juga Talisman Energy yang sahamnya di caplok oleh Repsol. Pada waktu itu, Talisman Energy adalah pemegang hak partisipasi Blok Corridor.