Detik Finance, 28 Februari 2010
Revisi asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang terlalu tinggi dalam APBN-P 2010 dikhawatirkan hanya akan mendorong belanja pemerintah yang berlebihan.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Minggu (28/2/2010).
“Karena asumsinya kan penerimaan negara akan lebih besar, maka di belanjanya pun, misalnya belanja kementerian, akan menyesuaikan lebih besar juga karena belanja besar juga diyakini pemerintah akan lebih mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.
Padahal, lanjut Pri Agung, dalam kondisi dimana pemerintah tidak siap dengan program yang bagus maka hal itu tidak akan terjadi dan justru akan jadi pemborosan saja.
Ia menyatakan jika pemerintah tidak ingin harga bahan bakar minyak (BBM) naik tahun ini, sebaiknya tidak dengan memasang asumsi ICP yang tinggi. Pemerintah disarankan untuk mengalokasikan cadangan Fiskal sebesar Rp 6-8 triliun.
“Lebih baik alokasikan cadangan fiskal saja, katakanlah Rp 6-8 triliun supaya APBN bisa tahan sampai harga minyak US$ 85 per barel,” jelasnya.
Pri Agung mengakui, harga minyak tahun ini memang cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Namun Ia memperkirakan harga minyak dunia akan tetap stabil di kisaran US$ 70-80 per barel karena secara fundamental tidak akan ada kekurangan pasokan.
“ICP US$ 77 per barel itu sedikit terlalu tinggi sepertinya. Dengan mematok ICP US$ 75 per barel menurut saya sudah cukup karena itu berarti rata-rata harga minyak dunianya sekitar US$ 80 per barel,” paparnya.
Untuk diketahui, pemerintah memang berencana untuk mengubah asumsi ICP dari US$ 65 per barel menjadi US$ 77 per barel serta menambah subsidi BBM sebesar Rp 20 triliun dalam usulan APBN-P 2010. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia.
Sementara itu, Mantan Gubernur OPEC Maizar Rahman memperkirakan harga minyak dunia tahun ini masih berkisar antara US$ 70-90 per barel dengan rata-rata US$ 75-80 per barel. Batas bawah US$ 70 per barel dikarenakan minyak non-konvensional seperti biofuel dan minyak dari pasir minyak di Kanada jumlahnya sudah cukup besar dalam suplai minyak dunia sedangkan ini hanya bisa berproduksi pada harga di atas tersebut.
“Bila harga di atas US$ 90 per barel, ini akan mendorong berkurangnya permintaan atau konsumsi sehingga harga akan tertekan lagi,” kata dia.
Ia menambahkan kenaikan harga saat ini masih dipicu faktor fundamental, yaitu pelemahan dollar karena Euro menguat dan adanya indikasi pemulihan ekonomi USA yang lebih baik. Secara fundamental suplai dan masih melimpah, bahkan di kwartal II akan lebih melimpah karena permintaan biasanya turun 1-2 juta barel per hari sehingga harga biasanya tidak naik pada kuartal tersebut.