(Kompas,23 Januari 2017)
JAKARTA, KOMPAS.com Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonantelah mengeluarkan regulasi skema bagi hasil kotor berdasar produksi bruto minyak dan gas bumi (migas) atau gross split.
Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Aturan ini diterbitkan dengan tujuan mempercepat proses administrasi sehingga meningkatkan gairah investor untuk membenamkan dana-dananya di sektor migas di Indonesia.
Meski demikian, pakar energi dari Universitas Trisaksti Pri Agung Rakhmanto menilai beberapa pasal dalam Permen ESDM 8/2017 justru tidak konsisten dengan tujuan diterbitkannya peraturan menteri tersebut.
Misalnya, soal aset. Pasal 21 beleid itu menyebutkan, seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu migas yang dibeli kontraktor, menjadi milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Ini tidak logis dan tidak konsisten. Sebab, kalau sudah gross split, aset atau peralatan ya bukan lagi milik negara. Tetapi, milik kontraktor, kata Pri Agung kepada Kompas.com, Senin (23/1/2017).
Aset di hulu menjadi milik kontraktor lantaran aset tersebut sepenuhnya dibiayai dari investasi kontraktor yang tidak diganti oleh pemerintah.
Dalam skema bagi hasil produksi atau production sharing contract (PSC) yang ada penggantian biaya dari pemerintah (cost recovery), aset memang menjadi milik negara.
Selain soal aset, Pri Agung melihat birokrasi di dalam pengaturan dan pengawasan masih tetap sama seperti ketika menggunakan skema PSC.
Kontraktor masih tetap harus mengajukan rencana pengembangan lapangan, anggaran, dan sebagainya.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16, BAB IV tentang Rencana Kerja dan Anggaran serta Rencana Pengembangan Lapangan.
Menurut Dewan Penasihat Reforminer Institute itu, hal ini juga tidak konsisten. Sederhananya, kalau pakai skemagross split, ya, pemerintah yang penting menerima hasil finalnya saja. Tidak lagi repot-repot di dalam perencanaan dan segala administrasinya, imbuh Pri Agung.
Inkonsistensi lain juga terlihat dari aturan operasionalnya yang nampaknya masih akan rumit dan tidak sederhana.
Misalnya, kata Pri Agung, dalam menentukan penambahan atau pengurangan split (bagian), banyak variabel yang tidak mudah ditentukan dan harus dimonitor setiap saat, contohnya tingkat komponen dalam negeri dan variabel harga minyak.
Jadi, tujuan untuk menyederhanakan administrasi dan birokrasi, dalam hal ini yang menjadi keunggulan utama darigross split, tidak akan tercapai karena inkonsistensi-inkonsistensi yang ada, kata Pri Agung.
Banyaknya inkonsistensi yang ada ini, mengindikasikan bahwa filosofi gross split dan PSC belum sepenuhnya dipahami, pungkasnya