Investor.id: Kamis,12 November 2020
Undang-Undang No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang proses revisinya menjadi inisiatif DPR dan telah berjalan selama 12 tahun menjadi bagian dalam UU Cipta Kerja. Dalam UU No 11/2020, perubahan, penghapusan, dan/ atau penambahan ketentuan baru dilakukan melalui pasal 40.
Berdasarkan review, terdapat delapan pasal UU No 22/2001 yang diubah melalui UU Cipta Kerja. Di antaranya pasal 1,4,5,23, 25,52,53, dan 55. Selain itu, UU Cipta Kerja menambahkan pasal 23A yang disisipkan antara pasal 23 dan pasal 24.
Beberapa perubahan yang dilakukan adalah definisi pemerintah pusat, definisi pemerintah daerah, pengaturan dalam kegiatan usaha hulu migas, pengaturan dalam kegiatan usaha hilir, dan tata cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran dalam pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Belum Memenuhi Ekspektasi
Berdasarkan review terhadap substansi pasal per pasal, saya menilai pengaturan klaster migas dalam UU Cipta Kerja masih belum memenuhi ekspektasi para stakeholder. Terutama ekspektasi pelaku usaha di sektor hulu migas.
Dalam tingkatan tertentu, beberapa pengaturan di dalam klaster migas justru dapat berpotensi menambah komplikasi dalam pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Pasal-pasal UU No 22/2001 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Keputusan MK No 36/ PUU/X/2012 termasuk mengenai fungsi dan kedudukan BP Migas (sementara diganti SKK Migas) justru tidak diatur di dalam UU Cipta Kerja.
Sementara untuk hal yang dapat dikatakan tidak mendesak seperti mengubah sistem pengusahaan hulu migas dari kontrak kerja sama menjadi sistem perizinan justru dilakukan.
Berdasarkan pencermatan, dalam proses pembahasan sebelumnya terpantau terdapat pa salpasal dalam klaster migas yang mengakomodasi Keputusan MK No 36/PUU/X/2012 dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Bahkan pasal-pasal tersebut terpantau masih terdapat dalam draft RUU yang dibahas dan disetujui antara Badan Legislasi DPR RI (Baleg) dan Fraksi-Fraksi di DPR pada 3 September 2020.
Di antara pasal-pasal klaster migas yang terpantau terdapat dalam draft RUU Cipta Kerja status 3 September 2020, namun kemudian tidak tertuang dalam UU No 11/2020 adalah pasal 4A, pasal 11, pasal 12, dan pasal 64A. Substansi pasal 4A adalah mengatur penyelenggaraan kegiatan usaha hulu migas, pembentukan BUMNK Hulu Migas, dan mekanisme kerja sama antara BUMNK Hulu Migas dengan Ba dan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan usaha hulu migas.
Pasal 11 dan pasal 12 mengatur mekanisme dan tata cara dalam teknis pengusahaan hulu migas yang terkait dengan substansi pengaturan dalam pasal 4A.
Sementara itu, pasal 64A mengatur proses transisi dan pengalihan kewenangan dari SKK Migas kepada BUMNK Hulu Migas. Beberapa yang diatur adalah status kontrak kerja sama yang sedang berjalan dan kedudukan SKK Migas sebelum dan sesudah BUMNK Hulu Migas terbentuk.
Tidak munculnya sejumlah pasal dalam klaster migas UU No 11/2020 kemungkinan karena pemerintah c.q Kementerian ESDM mencabut ketentuan sejumlah pasal, termasuk pasal mengenai pembentukan BUMNK Hulu Migas. Keputusan tersebut konon diambil karena sejumlah ketentuan tersebut akan diatur dalam perubahan UU Minyak dan Gas Bumi No22/2001 yang akan masuk dalam Prolegnas.
Pencabutan ketentuan pasal 4A dari klaster migas UU Cipta Kerja pada dasarnya menyebabkan pengaturan Perizinan Berusaha dalam klaster migas menjadi tidak utuh dan rancu. Pada draft yang di sepakati 3 September 2020 saat itu ditetapkan bahwa “Pemerintah Pusat selaku pemegang Kuasa Pertambangan akan memberikan Perizinan Berusaha pada setiap Wilayah Kerja kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumiâ€.
Dalam bentuk yang berbeda, Perizinan Berusaha tersebut dapat dikatakan identik dengan Kuasa Usaha Pertambangan minyak dan gas yang diberikan kepada Per tamina melalui UU No 44 (Prp)/1960 dan UU No 8/1971. Ka rena itu pula, pada draft yang dise pakati sebelumnya ditetapkan bahwa nantinya kerja sama antara BUMNK Hulu Migas dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di dalam kegiatan usaha hulu migas akan dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
Karena itu, perubahan ketentuan sistem pengusahaan hulu migas dari kontrak kerja sama menjadi sistem perizinan menjadi rancu ketika BUMNK Hulu Migas tidak diatur di dalam klaster migas UU No 11/2020. Dapat muncul tafsir bahwa perizinan berusaha tersebut berlaku bagi seluruh pelaku usaha hulu migas, tidak hanya untuk BUMN tetapi juga untuk Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Konsekuensi dari ketentuan tersebut tidak sederhana, apalagi dalam klaster migas UU No 11/2020 tidak terdapat pasal yang mengatur mengenai ketentuan peralihan.
Status kontrak kerja sama yang sedang berjalan, apakah harus disesuaikan atau tetap berlaku, belum diatur secara tegas. Tugas, fungsi, dan kedudukan SKK Migas ketika sistem kontrak kerja sama berubah menjadi perizinan juga belum diatur.
Mencermati perkembangan yang ada tersebut, saya menilai ketidakpastian terhadap substansi pengaturan payung hukum dalam kegiatan usaha minyak dan gas di Indonesia masih tetap tinggi karena mayoritas perubahan ketentuan UU Migas tetap akan dilakukan melalui revisi UU Migas No 22/2001.
Sejumlah perubahan, termasuk mun culnya ketentuan yang tidak sejalan dengan apa yang sudah tertuang dalam klaster migas UU No 11/2020 tersebut juga masih sangat berpeluang terjadi. Apalagi jika mencermati substansi draft RPP Sektor ESDM atas UU Cipta Kerja ya ng telah beredar ke public tidak terdapat pengaturan mengenai sektor minyak dan gas bumi di dalamnya.
*) Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti.