Pri Agung Rakhmanto
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Indonesia Finace Today, 12 September 2011
Dua dari enam asumsi (target) makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kita terkait dengan sektor energi, yaitu harga minyak (Indonesian Crude Price, ICP) dan lifting minyak (produksi minyak siap jual). Ini untuk kesekian kalinya- sudah cukup menegaskan bahwa sektor energi penting bagi perekonomian nasional.
Namun mencermati lebih jauh Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2011, khususnya yang menyangkut besaran subsidi energi yang dialokasikan sebesar Rp 168,6 triliun, tak terlihat bahwa kita benar-benar serius mengelola sektor energi di negara ini.
Subsidi energi terdiri dari subsidi listrik sebesar Rp 45 triliun dan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 123,6 triliun. Dari angka-angka tersebut pada tingkat makro sebenarnya dapat kita lihat seberapa jauh kemajuan dan kinerja yang dicapai pemerintah dalam mengelola sektor energi selama ini. Sekaligus dari angka tersebut kita juga dapat mengukur seberapa besar kesungguhan pemerintah menempatkan dan mengelola sektor energi ini sebagai sektor yang penting bagi perekonomian nasional.
Inefisiensi Kelistrikan
Subsidi listrik yang dialokasikan sebesar Rp 45 triliun jelas mengindikasikan adanya rencana pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik pada 2012. Hal ini juga telah ditegaskan pemerintah sendiri dalam berbagai kesempatan.
Kenaikan tarif dasar listrik pada 2012 dari sudut pandang fiskal dan kebijakan harga listrik yang berlaku saat ini di satu sisi mungkin bisa saja tepat. Namun, dari sudut pandang mikro pengelolaan energi nasional sebenarnya hal itu tidak tepat dan sekaligus menunjukkan kelambanan pemerintah sendiri dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan mendasar di belakangnya.
Tidak tepat, karena semestinya kenaikan tarif dasar listrik dilakukan setelah acuan atau basis untuk kenaikan tarif dasar listrik tersebut, yaitu biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, efisien (optimal) terlebih dahulu. Biaya pokok penyediaan listrik selama ini tinggi (tidak efisien) karena biaya bahan bakar yang digunakan untuk menghasilkan listrik juga tidak efisien.
Banyak pembangkit listrik berbahan bakar gas yang ada tidak mendapatkan pasokan gas dalam jumlah cukup sehingga dipaksa menggunakan bahan bakar minyak yang biayanya dapat 400% lebih mahal. Dari sekitar 1.800 million standard cubic feet (MMSCFD) kebutuhan gas untuk pembangkit, hanya sekitar 800 MMSCFD yang bisa dipenuhi.
Lamban, karena berarti program pemenuhan gas pembangkit-pembangkit tersebut dan juga program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt berbahan bakar batu bara yang juga lebih murah tidak dapat diselesaikan tepat waktu.
Terminal penerima liquified natural gas sebagai sarana pemenuhan kebutuhan gas pembangkit paling cepat diperkirakan baru akan beroperasi pada 2013. Demikian juga dengan program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt batu bara yang direncanakan selesai sejak 2009, hingga akhir 2011 diperkirakan baru akan selesai 30% yang siap beroperasi dan masuk ke sistem kelistrikan nasional. Sehingga biaya pokok penyediaan listrik tetap tinggi dan untuk menekan subsidi listrik yang ada kebijakan yang ditempuh masih harus dengan cara menaikkan tarif dasar listrik.
Dapat diringkas bahwa kenaikan tarif dasar listrik sebenarnya tidak perlu dilakukan di 2012 seandainya program pemenuhan kebutuhan gas pembangkit dan program pembangunan 10 ribu megawatt pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dilaksanakan dan diselesaikan tepat waktu.
Potensi penghematan anggaran subsidi listrik jika kedua program tersebut diselesaikan tepat waktu sebetulnya bisa mencapai Rp 30 triliun, lebih besar daripada penghematan anggaran yang diskenariokan pemerintah melalui kenaikan tarif dasar listrik sebesar 10% yang nilainya Rp 20 triliun.
Politisasi Bahan Bakar
Subsidi bahan bakar minyak yang dialokasikan sebesar Rp 123,6 triliun (di dalamnya termasuk subsidi untuk bahan bakar nabati dan elpiji tiga kilogram), tidak jauh berubah dari anggaran subsidi bahan bakar minyak di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 yang sebesar Rp 129 triliun.
Dari angka ini yang terlihat adalah bahwa setidaknya hingga saat penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, pemerintah masih belum memiliki rencana kebijakan yang jelas dan konkret terkait bagaimana mengurangi besaran subsidi bahan bakar minyak yang ada, baik melalui pengendalian konsumsi ataupun melalui pengaturan harga.
Angka yang ada dengan kata lain juga mengindikasikan bahwa politisasi (harga) bahan bakar minyak, dalam arti tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak demi alasan politis, tetap akan dilanjutkan. Dalam kaitan dengan pengembangan energi alternatif, seperti bahan bakar gas atau bahan bakar nabati, angka yang ada juga menunjukkan pemerintah tetap belum memiliki program nasional khusus yang benar-benar mendorong pengembangan secara masif. Yang ada hanyalah sebatas pilot project skala uji coba, yang kelanjutannya setelah itu sering kali tidak jelas.
Jadi, kalau beberapa waktu lalu diaktifkan kembali Instruksi Presiden (Inpres) tentang hemat energi, hasilnya juga tak tercermin dalam besaran subsidi yang dianggarkan. Tentu saja, karena memang sifatnya hanya merupakan kampanye publik untuk menunjukkan bahwa pemerintah melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak konkret- untuk mengurangi besaran subsidi energi tersebut, dan hasilnya pasti tidak akan signifikan.
Konsekuensinya, kondisi dan segala permasalahan terkait energi dan subsidi bahan bakar minyak yang ada saat ini termasuk kelangkaan gas dan bahan bakar minyak dan penyalahgunaan bahan bakar minyak di banyak wilayah kemungkinan tetap akan terjadi dan berulang di tahun depan.
Sedikit penurunan besaran subsidi bahan bakar minyak yang ada di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 bukan karena dilakukan perbaikan dalam pengelolaannya, melainkan hanya karena basis asumsi yang digunakan berbeda, dari harga minyak US$ 95 per barel turun menjadi US$ 90 per barel.
Dari tinjauan makro dan mikro di atas, sulit untuk tidak mengatakan bahwa kita selama ini hanya seolah-olah mengelola sektor energi. Sektor energi seolah-olah dianggap dan ditempatkan sangat penting dan strategis, tetapi di dalam praktiknya ternyata diperlakukan biasa-biasa saja.
Seolah-olah hiruk pikuk dengan beragam program dan kebijakan energi, tetapi sebenarnya tak ada yang benar-benar konkret dan substansial menyelesaikan satu per satu permasalahan mendasar yang ada. Apakah hal ini ada kaitannya dengan absennya dirigen di dalam penyelenggaraan pemerintahan di sektor energi nasional yang benar-benar mumpuni Sangat bisa jadi