(Kompas, 27 Januari 2017)
Jakarta, KOMPAS Penyerapan gas pipa dari Lapangan Abadi, Blok Masela, Maluku, harus dipastikan melalui komitmen dari industri hilir yang dibangun sebagai pengguna gas. Sampai saat ini, belum ada titik temu antara pemerintah dan kontraktor Blok Masela yang terdiri dari Inpex Corporation dan Shell.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan, kapasitas kilang gas alam cair (LNG) dan kapasitas gas pipa Blok Masela harus berdasarkan studi. Studi ini terkait minat pihak lain untuk membangun industri hilir di sekitar Blok Masela. Industri hilir tersebut di sektor pupuk dan petrokimian. Ada dua model kapasitas gas, yaitu 7,5 metrik ton per tahun untuk kilang LNG dan 474 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) untuk gas pipa atau 9,5 metrik ton per tahun untuk kilang LNG dan 150 MMSCFD untuk gas pipa.
Saya kira studinya harus segera jalan. Soal pilihan kapasitas itu tergantung hasil studi. Apa betul nanti ada yang berminat membangun industri hilir di sana dan sebagainya, kata Jonan, Kamis (26/1). Di Jakarta.
Mengenai permintaan Kementerian Perindustrian untuk alokasi gas pipa sebagai kebutuhan bahan baku industri hilir, menurut Jonan, merupakan hal tersendiri. Yang tak kalah penting adalah komitmen, ada pihak yang akan membangun industri hilir sebagai penyerap gas pipa dari Blok Masela.
Jangan sampai nanti sudah disediakan gas pipa 474 MMSCFD, tetapi enggak ada yang mau bangun (industri hilirnya), terus buat apa? Ujarnya.
Saat ditanya pemilihan lokasi pembangunan kilang LNG di darat, Jonan menolak berkomentar. Bahkan, seandainya sudah ada keputusan penunjukkan lokasi, Jonan menegaskan, tidak akan menjelaskan lokasi tersebut. Nanti harga tanahnya jadi mahal, Katanya.
Sementara itu, Senior Communication Manager Inpex Corporation Usman Slamet mengatakan, investor Blok Masela sedang melanjutkan hasil pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Dalam pertemuan tersebut, antara lain dibahas mengenai kemajuan pengembangan gas Blok Masela. Begitu ada kesepakatan yang ditandai dengan keputusan resmi pemerintah atas permohonan kondisi yang dibutuhkan dalam proyek, baru kamu bisa memulai dengan pra-FEED (front end engineering design/perencanaan,pengadaan dan konstruksi), Kata Usman.
Kontrak Blok Masela ditandatangani pada 1998. Inpex dari Jepang menguasai 65 persen sahan dan Shell dari Belanda menguasai 35 persen. Kontrak Blok Masela berakhir 2028. Berdasarkan kesepakatan, pemerintah menambah waktu atau masa operasi kontraktor di Blok Masela selama tujuh tahun sebagai pengganti perubahan rencana pengembangan gas Blok Masela, yang semula di laut menjadi di darat. Penambahan masa operasi merupakan salah satu permintaan yang diajukan kontraktor kepada pemerintah.
Hal lain yang diajukan adalah penambahan kapasitas kilang LNG dari 7,5 metrik ton per tahun menjadi 9,5 metrik ton per tahun. Selain itu, kontraktor menginginkan biaya operasi yang sudah dikeluarkan, sebanyak 1,2 miliar dollar AS dicatat sebagai biaya operasi yang bisa digantikan (cost recovery).
Berpotensi Mundur
Direktur Eksekutif RefoMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pembahasan pengembangan gas Blok Masela yang berlarut-larut akan berdampak terhadap kepentingan nasional dan investor. Dari sisi negara, ada potensi pembayaran cost recovery yang lebih besar karena waktu akan berbanding lurus dengan biaya.
Potensi penerimaan negara juga mundur lantaran jadwal komersialisasi gas yang tak sesuai jadwal. Semakin berlarut-larut, kedua belah pihak (negara dan investor) akan semakin dirugikan. Potensi penerimaan negara berikut nilai tambahnya bisa lebih lama akibat ada kemunduran jadwal, ujar Komaidi.
Mengenai pemanfaatan gas pipa, lanjut Komaidi, kepastian tentang industri penyerapan gas merupakan hal yang wajar. Sebab, laizimnya industri gas, produksi gas dilakukan setelah ada pembeli. Pemerintah dan investor harus cermat menghitung serapan gas pipa yang diproduksi dari Blok Masela.
Polemik pengembangan gas Blok Masela mencuat pada 2015, yang dipicu perbedaan pendapat tentang model pengembangan gas, yakni di darat atau laut. Namun, pada Maret 2016 Presiden Joko Widodo memutuskan pengembangan gas Blok Masela dilakukan di darat.