Investor.id; 28 Oktober 2024
JAKARTA, .investor.id -Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci utama dalam mencapai target kapasitas pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 10,5 GW pada 2035. Berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, industri, akademisi, media massa, dan masyarakat, perlu bekerja sama memastikan transisi energi berjalan lancar menuju target Indonesia Emas 2045 dan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Pengembangan energi panas bumi, yang memiliki cadangan besar di Indonesia, harus dioptimalkan untuk mendukung ketahanan energi nasional. Sinergi ini diharapkan tidak hanya memajukan sektor energi, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam energi terbarukan. Melalui pendekatan pentahelix, setiap pihak diharapkan dapat berkontribusi sesuai peran masing-masing.
Demikian benang-merah yang mengemuka pada webinar bertajuk “Peran Penting Industri Panas Bumi Dalam Kebijakan Transisi Energi dan Pencapaian Target Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan ReforMiner Institute di Jakarta, Kamis (24/10/2024). Hadir sebagai pembicara Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk Julfi Hadi, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) unsur konsumen Dina Nurul Fitria, Redaktur Kompas Online Aprillia Ika, dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Mereka membahas pentingnya sinergi dan kolaborasi dalam mewujudkan target energi bersih di Indonesia.
Para pembicara menyatakan bahwa energi panas bumi adalah sumber daya yang sangat penting dalam upaya transisi energi nasional. Media massa diakui sebagai mitra strategis dalam edukasi publik tentang manfaat energi terbarukan ini.
Julfi Hadi menegaskan komitmen PGE untuk terus mengembangkan kapasitas PLTP guna memenuhi target yang telah ditetapkan. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia dengan potensi mencapai 23,7 GW, namun pemanfaatannya masih minim, hanya sekitar 2,2 GW. “Dalam dua hingga tiga tahun mendatang, PGE menargetkan peningkatan kapasitas 1 GW dan tambahan 1,5 GW pada 2030,” ujarnya.
Menurut dia, PGE juga mengadopsi teknologi baru seperti pompa submersible listrik dan pengukur aliran dua fase untuk meningkatkan efisiensi operasional. Investasi untuk mencapai target ini diperkirakan mencapai US$17-18 miliar, dengan kontribusi signifikan terhadap PDB nasional sebesar US$21-22 miliar.
Dalam hal pengurangan emisi, lanjut Julfi, energi panas bumi memiliki potensi yang luar biasa. Dengan pengembangan yang tepat, energi panas bumi di Indonesia diperkirakan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca tahunan sebesar 18-20 juta m³ CO₂. “Komitmen ini tidak hanya mendukung transisi energi bersih, tetapi juga memberikan kontribusi langsung terhadap upaya global mengatasi perubahan iklim,” ujarnya.
Sektor ini dapat menciptakan sekitar 1 juta pekerjaan baru, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini tentunya berdampak positif pada perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar proyek panas bumi.
Namun, lanjut Julfi, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan panas bumi tidaklah sedikit. Salah satu hambatan terbesar adalah risiko pengeboran, di mana hasil eksplorasi sering kali lebih rendah dari yang diharapkan. Proses pengeboran hingga komersialisasi juga memakan waktu yang cukup lama, yakni 5 hingga 15 tahun. Selain itu, regulasi yang kompleks dan perizinan yang lambat menjadi kendala utama dalam menarik investasi di sektor ini. “Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan yang lebih fleksibel dan insentif yang memadai untuk mempercepat pengembangan energi panas bumi di Indonesia,” katanya.
Dina Nurul Fitria menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan industri dalam menghadapi tantangan global. Pemerintah harus memberikan kepastian regulasi dan insentif yang mendukung pengembangan energi terbarukan, termasuk panas bumi. Pemerintah pusat dan daerah juga diharapkan dapat memberikan dukungan dalam bentuk kemudahan alokasi lahan dan kebijakan insentif untuk pengembangan infrastruktur energi terbarukan.
“Inventarisasi sumber daya energi terbarukan di seluruh wilayah Indonesia juga menjadi langkah penting untuk mencapai target bauran energi nasional. Dengan dukungan yang tepat, energi panas bumi dapat menjadi solusi strategis dalam mencapai ketahanan energi Indonesia,” katanya.
Aprillia Ika, pemerhati panas bumi dan redaktur Kompas Online, menyoroti peran media dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya energi terbarukan seperti panas bumi. Media memiliki tanggung jawab besar dalam mengedukasi publik mengenai manfaat energi panas bumi serta tantangan yang dihadapi dalam pengembangannya. “Konflik sosial yang sering muncul di proyek-proyek energi terbarukan, termasuk panas bumi, dapat diminimalisir melalui edukasi dan komunikasi yang efektif,” katanya.
Dengan menyampaikan informasi yang akurat, lanjut Lia, media dapat membantu mengubah persepsi masyarakat tentang dampak lingkungan dari proyek panas bumi. Media juga dapat membangun dialog antara pemangku kepentingan untuk menciptakan solusi bersama dalam mengatasi isu-isu sosial yang muncul.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menyampaikan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mendukung pengembangan panas bumi yang berkelanjutan. Pengembangan panas bumi tidak hanya mengurangi ketergantungan pada energi fosil, tetapi juga memberikan stabilitas energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi.
Komaidi mencatat bahwa biaya operasional PLTP jauh lebih murah dibandingkan pembangkit listrik berbasis fosil, dengan rata-rata Rp 107,15/kWh. Selain itu, kapasitas operasi PLTP yang tinggi hampir setara dengan pembangkit listrik tenaga nuklir, memungkinkan efisiensi tinggi dalam jangka panjang. “Tantangan regulasi dan biaya awal yang tinggi masih menjadi kendala bagi banyak investor,” katanya.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Komaidi menekankan pentingnya dukungan kebijakan yang optimal untuk menciptakan value creation dari produk turunan panas bumi. Contohnya, negara-negara seperti Selandia Baru dan Jepang telah sukses memanfaatkan produk turunan seperti green hydrogen dan ekstraksi silika untuk meningkatkan keekonomian proyek panas bumi. Indonesia juga memiliki potensi besar untuk mengembangkan produk-produk ini sebagai bagian dari industri energi terbarukan. Dengan demikian, pengembangan panas bumi dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi negara dan mendukung target transisi energi bersih. “Kolaborasi antarpemangku kepentingan menjadi kunci utama untuk mewujudkan potensi ini,” katanya.
Para narasumber sepakat bahwa kesuksesan pengembangan energi panas bumi di Indonesia bergantung pada komitmen bersama dari seluruh pihak yang terlibat. Pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat harus saling bekerja sama untuk menciptakan kebijakan yang mendukung dan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan energi terbarukan. Dukungan yang kuat dari media juga dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi publik dalam transisi energi ini. Dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat menjadi pemimpin global dalam pemanfaatan energi panas bumi dan mencapai target ketahanan energi yang berkelanjutan.