Lokadata.co.id, 11 Februari 2021
Kebutuhan gas LPG bersubsidi terus meningkat dalam lima tahun ini. Hal ini karena gas untuk masyarakat tidak mampu ini banyak jatuh ke tangan yang tidak berhak. Padahal pemerintah harus mengimpor liquefied petroleum gas ini dan volumenya terus meningkat.
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Soerjaningsih mengatakan skema penyaluran LPG 3 kg subsidi untuk tahun ini belum akan berubah. Artinya masih menggunakan pola subsidi yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Yang pasti keputusan di tahun 2021 kita masih menggunakan pola subsidi yang lama,” ujar Soerja yang juga menjabat sebagai Plt. Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas, Kamis (11/2/2021).
Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati mengatakan, volume impor LPG baik untuk subsidi maupun non-subsidi diprediksi 7,2 juta metrik ton (MT) atau naik 16,13 persen dibandingkan dengan realisasi impor pada 2020 yang mencapai 6,2 juta MT.
Nicke mengatakan, Pertamina masih mengimpor LPG lantaran produksi dalam negeri tidak cukup. Saat ini produksi LPG nasional masih berkisar 995 ribu MT dari kilang domestik dan 1 juta MT dari kilang Pertamina.
Kabar baiknya, produksi kilang domestik dan Pertamina naik sehingga impor LPG bisa ditekan. “LPG produksi dalam negeri juga ada peningkatan baik dari kilang Pertamina maupun kilang lain di domestik sehingga kita bisa sedikit mengurangi yang seharusnya diimpor,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (9/2/2021).
Merujuk data Pertamina, sepanjang 2020, produksi LPG dari kilang dalam negeri baru 930.234 MT. Pada 2021 ini, Pertamina memproyeksikan produksi LPG dapat digenjot menjadi 995.814 MT.
Direktur Pertamina Trading dan Komersialisasi, Mas’ud Khamid mengungkapkan, peningkatan laju penjualan LPG subsidi 3 kg dalam lima tahun terakhir sejalan dengan tingkat laju pertumbuhan majemuk tahunan atau compound annual growth rate (CAGR) sebesar 5,3 persen.
Mas’ud mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang terus mendorong pertumbuhan konsumsi LPG bersubsidi setiap tahunnya. Pertama, hal tersebut disebabkan oleh pelaksanaan program konversi BBM kepada LPG.
Setiap tahun Pertamina mendistribusikan converter kit kepada nelayan dan petani untuk dapat beralih ke LPG. Dengan jumlah paket yang diberikan mencapai 25.000 hingga 35.000 paket tiap tahunnya, hal ini ditengarai juga menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan konsumsi.
Kedua, Masud mengungkapkan, sejak 2007 saat awal program konversi minyak tanah ke LPG dilakukan hingga tahun 2020 belum ada perubahan harga LPG subsidi 3 kg. Hal ini kemudian berdampak pada gap antara LPG subsidi dan LPG non subsidi sebesar Rp 5.368 per kg. Padahal, Mas’ud mengungkapkan tren CP Aramco terus mengalami fluktuasi pergerakan harga.
Terakhir, yang tidak kalah penting, tidak adanya kriteria penerima LPG subsidi yang jelas dalam regulasi membuat penyaluran tabung melon ini terus meningkat dan rentan tidak tepat sasaran.
“Dari regulasi yang ada selama ini juga belum ada penegasan kriteria konsumen yang berhak mendapatkan LPG 3 kg bersubsidi dan berapa besaran jumlah subsidi yang dapat diterima,” katanya.
Perlu perbaikan skema
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai, peningkatan volume konsumsi LPG akibat penambahan wilayah konversi khususnya terkait program converter kit untuk nelayan dan petani merupakan hal yang wajar.
Menurutnya, problem utama dalam peningkatan konsumsi LPG bersubsidi terletak pada skema distribusi yang masih bermasalah. Sampai saat ini, praktik subsidi gas melon yang tidak tepat sasaran masih banyak ditemukan di masyarakat.
Oleh sebab itu, ia lantas mendesak agar pemerintah segera melakukan kebijakan subsidi tertutup untuk LPG 3 kg. “Selama masih dengan skema terbuka maka masih akan ada potensi deviasi. Karena kita tidak pernah tahu berapa sih kebutuhan riil untuk LPG subsidi,” katanya kepada Lokadata.id, Kamis (11/2/2021).
Komaidi menyayangkan terkait masih belum adanya kepastian mengenai pelaksanaan subsidi tertutup untuk LPG 3 kg. Padahal dikatakannya, wacana perubahan skema subsidi langsung ke penerima ini sudah bergulir dalam beberapa tahun terakhir.
Ihwal basis data penerima subsidi LPG, pemerintah dapat menggunakan sejumlah data yang sudah ada sembari diperbarui ketika mulai berjalan ketimbang membuat basis data baru yang lebih sulit dan memakan waktu lebih banyak.
Sejumlah data yang dapat dijadikan acuan menurutnya, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial, data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), hingga data Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
“Jadi bisa digunakan basis data yang ada, apalagi di tengah pandemi ini pemerintah juga sudah menyalurkan bansos, data tersebut bisa dipakai. Dengan distribusi tertutup akan baik untuk semua pihak, terutama beban anggaran subsidi menjadi lebih jelas peruntukannya,†katanya.
Jika basis data yang digunakan sudah benar, Komaidi mengatakan, ada sejumlah opsi mekanisme subsidi yang dapat dilakukan pemerintah. Misalnya, dengan menerapkan satu harga di pasaran dan penerima manfaat diberikan subsidi dalam bentuk anggaran langsung ke rekening masing-masing.
Ataupun dengan menggunakan kartu khusus agar penjualan LPG bersubsidi tidak salah sasaran lagi. Ia mengatakan, kedua cara ini menekankan pada pemberian subsidi yang menyasar langsung pada penerimanya dan bukan pada komoditas seperti yang terjadi saat ini.
Potensi penyimpangan pada skema tertutup dinilai Komaidi jauh lebih mudah untuk ditangani ketimbang subsidi melalui harga komoditas LPG 3 kg. “Karena kontrolnya akan jauh lebih mudah. Meskipun tidak memakai basis digital, data penerima jauh lebih detail. Apalagi kalau pakai digital akan lebih memudahkan,” tuturnya.
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM, Soerjaningsih, mengatakan, perubahan skema subsidi gas melon seperti yang diusulkan oleh Komaidi masih menjadi pembahasan di tingkat kementerian. Ia pun mengaku belum bisa memastikan kapan pembahasan itu akan rampung dan penyaluran LPG subsidi bisa berubah agar lebih tepat sasaran.
“Saat ini sedang dalam proses pembahasan dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), dan mohon bersabar,”kata