Kumparan, 15 Januari 2019
Penentuan harga gas di Indonesia masih menjadi masalah dari hulu hingga hilir. Di kalangan industri, ada disparitas harga yang terlampau jauh dari pusat produksi ke konsumen di hilir.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan jika ingin membentuk harga gas yang seragam di seluruh Indonesia, pemerintah harus mengatur harganya sebagaimana Perum Bulog mematok harga eceran suatu komoditas pertanian seperti beras.
Caranya, kata dia, pemerintah membeli semua gas dari berbagai lapangan yang ada di Indonesia. Gas bumi itu lalu diproduksi dan menjualnya dengan satu harga ke pengguna.
“Jika pemerintah ingin harganya seragam, ide semacam Bulog di pertanian perlu diterapkan di gas. Jadi pemerintah beli semua gas dari lapangan yang variatif lalu blending, lalu mengeluarkan satu harga,†kata dia dalam diskusi Publish What You Pay di Hotel Arya Duta, Jakarta, Selasa (15/1).
Dengan begitu, kata dia, tidak ada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang dirugikan dalam bisnis ini. Pasalnya, selama ini harga gas yang dijual KKKS dari mulut gas tidak sama dengan yang dibeli konsumen akhir.
Komaidi mengatakan, berdasarkan kajian lembaganya, harga gas terbagi menjadi 3 region di Indonesia yang berbeda di mulut tambang. Dari ketiga region, Indonesia bagian barat harga gasnya paling tinggi yaitu mendekati USD 8 per mmbtu.
Untuk Indonesia bagian tengah sekitar USD 7 per mmbtu. Hanya di Indonesia bagian Timur yang harga gas dari mulut tambang kurang dari USD 5 per mmbtu. Perbedaan harga gas di sumber utamanya pada setiap region disebabkan karena lokasi gas tersebut.
Di timur Indonesia misalnya, harga gas di sana murah karena sumbernya banyak. Tapi, ketika gas itu dibawa ke Jawa, harganya menjadi mahal. Belum lagi, keberadaan trader gas yang bertingkat-tingkat membuat harga gas sampai ke konsumen terakhir seperti pabrik pengolahan makanan atau pabrik keramik, menjadi lebih mahal lagi.
Padahal, kata dia, Presiden Joko Widodo telah menetapkan harga gas bumi untuk industri sebesar USD 6 per mmbtu. Aturan itu diteken Jokowi dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penerapam Harga Gas Bumi.
“Jadi di kepala sumur ada yang dekati USD 8 per mmbtu. Jokowinya mintanya USD 6 per mmbtu. Bagaimana nasibnya? Karena keekonomian proyek tidak sama. Ada wilayah-wilayah tertentu, infrastruktur belum mapan, sementara infrastruktur di barat dan timur berbeda,” kata dia.
Ketika kontraktor tertekan, Komaidi khawatir penemuan cadangan baru semakin berkurang. Jika cadangan baru berkurang, maka ketahanan energi bisa terganggu.