Wednesday, January 29, 2025
HomeReforminer di Media2007Standardisasi & Transparansi Cost Recovery Migas

Standardisasi & Transparansi Cost Recovery Migas

Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Reforminer Institute
Bisnis Indonesia, 3 Agustus 2007

Istilah cost recovery (pengembalian/pemulihan biaya) dalam industri migas yang semula masih asing di kalangan awam, kini telah mulai banyak dikenal.

Satu hal yang cukup menggembirakan, karena sedikit banyak publik kini mulai mengerti bahwa di dalam pengusahaan migas di Indonesia, para kontraktor bagi hasil migas, KPS (sekarang istilahnya adalah kontraktor kontrak kerja sama, KKKS), akan mendapatkan pengembalian biaya dari pemerintah (baca: rakyat) berkenaan dengan seluruh biaya (100%) yang telah dikeluarkannya untuk mencari (eksplorasi) dan memproduksikan migas.

Namun, kegembiraan di satu sisi tersebut juga diiringi dengan keterkejutan, ketika mengetahui bahwa besarnya cost recovery migas selama 2006 diperkirakan mencapai Rp70 triliun lebih (Bisnis Indonesia, 28 September 2006). Untuk 2007, cost recovery yang diajukan bahkan mencapai Rp93,9 triliun (Kompas, 26 Juli 2007).

Besaran yang mencengangkan ini merupakan kelanjutan peningkatan cost recovery migas yang terus terjadi sejak 2001. Dari data yang beredar, untuk 2001-2005, besarnya cost recovery migas yang harus ditanggung negara (dalam miliar dolar AS) berturut-turut adalah 4,35 ; 5,06 ; 5,52 ; 5,60 ; dan 7,68. Atau jika dirata-ratakan dengan kurs Rp9.000/US$, adalah sekitar Rp50 triliun per tahun.

Di sisi lain, produksi dan cadangan migas kita menunjukkan tren yang terus menurun. Tak mengherankan jika kemudian masyarakat pun bertanya-tanya, apa saja yang sebenarnya dibiayai oleh cost recovery migas ini? Dimanakah sebenarnya ketentuan tentang cost recovery migas ini diatur? Dari pertanyaan-pertanyaan ini, setidaknya ada dua aspek penting yang terkait, yaitu standardisasi cost recovery dan transparansi cost recovery.

Standardisasi komponen

Secara normatif, biaya yang dapat dimasukkan sebagai cost recovery (mestinya) adalah biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor yang terkait langsung dengan operasi eksplorasi dan produksi migas di Indonesia.

Dalam hal ini, ada tiga komponen utama dari cost recovery migas kita, yaitu pertama biaya operasi tahun berjalan. Biaya ini merupakan biaya non-capital (intangible) yang meliputi biaya operasi dan administrasi perusahaan untuk eksplorasi dan pengembangan lapangan migas. Termasuk di dalamnya adalah biaya tenaga kerja (domestik dan ekspatriat, konsultan), biaya administrasi perkantoran, biaya pelatihan dan kesehatan tenaga kerja.

Kedua, biaya depresiasi dari capital/tangible assets tahun berjalan. Biaya barang-barang modal, peralatan dan fasilitas eksplorasi produksi yang digunakan tercakup disini. Dan ketiga, sisa cost recovery tahun-tahun sebelumnya (carry over/unrecovered costs). Namun, pada kenyataannya, hasil temuan audit BPK dan BPKP belum lama ini mengindikasikan bahwa terdapat banyak pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan operasi eksplorasi dan produksi tetapi dimasukkan ke dalam cost recovery.

Pengeluaran itu di antaranya adalah untuk community development, biaya administrasi kantor pusat di negara asal si kontraktor, dan biaya depresiasi barang modal yang ternyata sudah tak dapat lagi digunakan. Singkatnya, ada indikasi kuat bahwa cost recovery migas telah digelembungkan. Besarannya pun sangat mencengangkan.

Untuk periode 2003-2004 dan hanya untuk 5 kontraktor KKS, indikasi penyimpangan yang ditemukan oleh BPK telah mencapai Rp13 triliun lebih. Apa yang menyebabkan biaya-biaya yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas eksplorasi produksi migas itu dapat dimasukkan ke dalam cost recovery? Jawaban dari pertanyaan ini bisa sangat beragam.

Lemahnya pengawasan, khususnya terkait masalah teknis, ditambah dengan praktik korupsi dan kolusi tentu merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang sangat mungkin terjadi di sini. Satu hal yang patut digarisbawahi di sini adalah bahwa hal itu sangat mungkin terjadi karena tidak adanya standardisasi yang jelas dan tegas dalam aturan cost recovery ini.

Pemerintah hanya mempunyai aturan garis besarnya, tetapi tidak secara detail dan tegas mengatur biaya-biaya mana saja yang dapat dan tidak dapat dimasukkan ke dalam cost recovery.

Tidak adanya standardisasi yang jelas inilah yang menyebabkan pada akhirnya penentuan cost recovery lebih banyak dilakukan melalui negosiasi-negosiasi antara pemerintah dan para kontraktor. Praktik-praktik semacam ini sudah berlangsung sejak lama dan tak banyak diketahui masyarakat luas. Tak mengherankan, karena transparansi mengenai cost recovery ini dapat dikatakan memang (hampir) tak ada.

Ketentuan cost recovery yang diatur dalam kontrak kerja sama antara pemerintah dan kontraktor praktis selama ini tak dapat diakses oleh masyarakat luas. Pun DPR sebagai wakil rakyat dan pengawas pemerintah, juga mengalami kesulitan untuk mengetahui secara pasti apa yang tertulis di dalam kontrak tersebut.

Dengan dalih menjaga kerahasiaan negara, transparansi mengenai isi kontrak-kontrak migas pada umumnya, dan transparansi mengenai ketentuan cost recovery pada khususnya, menjadi suatu hal yang diharamkan. Kedua hal di atas, standardisasi dan transparansi cost recovery, menjadi kata kunci dari awal upaya perbaikan yang harus segera dilakukan.

Lebih dari lima puluh triliun rupiah per tahun jelas suatu angka yang mestinya dapat memberi kontribusi signifikan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Terlalu mahal jika hanya ditujukan untuk sesuatu yang ‘abu-abu’ yang bernama cost recovery.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments