(Kompas; Senin, 17 Maret 2015)
Transaksi migas surplus untuk pertama kali pada Februari 2015 sebesar 170 juta dollar AS setelah bertahun-tahun defisit. Namun, surplus ini sebatas dampak jadwal impor, bukan membaiknya fundamental pengelolaan migas.
Transaksi migas surplus terkait jadwal impor dan stok. Kebetulan pada Februari impor kecil karena, misalnya, stok dalam negeri masih cukup.
Jadi, tak bisa dibaca sebagai perbaikan fundamental pengelolaan migas kita, kata dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Senin (16/3).
Berdasarkan data BPS, transaksi migas Februari 2015 surplus 170 juta dollar AS. Adapun transaksi nonmigas surplus 570 juta dollar AS. Alhasil, neraca perdagangan Februari surplus 740 juta dollar AS.
Menurut Kepala BPS Suryamin dalam keterangan pers, kemarin, surplus transaksi migas adalah kejadian langka karena bertahun-tahun transaksi migas selalu defisit. Defisit migas, beberapa tahun terakhir selalu lebih besar daripada surplus transaksi nonmigas. Akibatnya, transaksi perdagangan secara total defisit.
Akumulasi defisit transaksi migas pada 2014 mencapai 13,13 miliar dollar AS, sedangkan surplus nonmigas 11,24 miliar dollar AS. Neraca perdagangan transaksi perdagangan 2014 defisit 1,88 miliar dollar AS.
Transaksi migas terdiri dari minyak mentah, hasil minyak, dan gas. Transaksi minyak mentah surplus sekitar 257,6 juta dollar AS, sedangkan hasil minyak defisit 856 juta dollar AS. Adapun transaksi gas surplus 174,1 juta dollar AS.
Pri berpendapat, transaksi migas akan kembali defisit pada bulan-bulan mendatang. Alasannya, kondisi fundamental pengelolaan migas memang defisit. Artinya, konsumsinya jauh lebih besar daripada pasokan.
Kondisi tersebut, dari sisi pasokan, antara lain akibat kurangnya kapasitas kilang minyak dalam negeri dan turunnya produksi. Dari sisi permintaan, konsumsi bahan bakar fosil terus meningkat, sedangkan pengembangan energi alternatif minim.
Menurut Pri, situasi fundamental pengelolaan migas Indonesia saat ini sudah masuk fase kritis. Jika tak muncul terobosan pengelolaan migas dalam waktu dekat, Indonesia diperkirakan akan menjadi importir bahan bakar minyak terbesar di dunia pada 2019.
Impor BBM Indonesia saat ini rata-rata 600.000 barrel per hari, sedangkan impor minyak mentah rata-rata 400.000 barrel per hari. Pemerintah menargetkan menambah kapasitas kilang menjadi 1,6 juta barrel per hari pada 2019. Saat ini kapasitasnya sekitar 1 juta barrel per hari.
Harga minyak rendah bisa bertahan 2-3 tahun ke depan. Ini menyebabkan investasi di sektor migas menjadi sulit, kata Pri.