Media Indonesia, 21 Oktober 2021
PELAKU industri Tanah Air ramai-ramai mendesak pemerintah untuk melakukan intervensi akibat melambungnya harga batu bara. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah belum juga mengambil kebijakan menyelamatkan industri dalam negeri, justru terkesan membiarkan kondisi ini.
Hal itu tentu sangat mengkhawatirkan mengingat jika pemerintah tidak segera turun tangan dampak bagi industri dalam negeri sangat besar. Selain akan menaikkan harga jual produk, kondisi ini bisa berujung pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) karena biaya energi yang membengkak.
“Industri pupuk kemudian semen, petrokimia, tekstil merupakan industri-industri yang memang padat energi. Jadi, kalau energinya naik dua kali lipat, ya bisa dibayangkan. Kalau misalnya porsi untuk biaya energi 30%, kalau naik dua kali lipat kan lumayan itu. Ke harga produknya lumayan juga,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangannya, Kamis (21/10).
Selama ini, kebijakan capping harga batu bara domestic market obligation (DMO) yang sebesar US$70 per metrik ton hanya untuk sektor kelistrikan umum atau PLN. Akibatnya, saat harga batu bara global melambung seperti sekarang, banyak industri dalam negeri yang selama ini menggunakan batu bara seperti industri semen, petrokimia, tekstil, mengalami kesulitan. Pasalnya, harga batu bara DMO yang mereka beli dari penambang dalam negeri tetap mengacu pada harga global.
Apalagi, selama ini mayoritas batu bara Indonesia digunakan untuk ekspor. Tahun ini, dari target produksi 625 juta ton, yang terserap pasar domestik maksimal hanya sekitar 150 juta ton. Artinya, masih ada 450 juta ton lebih yang diekspor. “Jadi, cukuplah dapat untung dari yang 450 juta ton. Sisanya untuk domestik agar daya saing industri dalam negeri lebih bagus,” tandasnya.
Karena itu, kata Komaidi, untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap harga jual batu bara untuk industri nonkelistrikan umum. Kebijakan tersebut setidaknya berlaku selama harga batu bara yang saat ini sedang melambung tinggi.
Komaidi menegaskan, jika harga produknya naik, sudah pasti akan menurunkan daya saing industri. Kalau daya saing turun, pendapatannya pasti juga turun. Kalau turun, dampaknya nanti ke pemerintah juga. Pendapatan pajak dan nonpajaknya turun juga. “Hal yang sangat dikhawatirkan kalau harga produk naik dan daya saing lemah akan membuat perusahaan mengurangi modal kerja. Itu tentu ada impact ke pengurangan tenaga kerja. Itu yang tidak kita harapkan,” tandasnya.
Terkait capping harga, Komaidi mengatakan kalau pun tidak sama dengan PLN di level US$70 per metrik ton, bisa lebih tinggi misalnya US$80 per ton. “Poinya, industri nonkelistrikan umum perlu diberi harga DMO. Apakah sama dengan PLN atau tidak, tergantung pertimbangan pemerintah di dalam memberikan fasilitas tersebut,” ujarnya.
Yang pasti, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan mengambil kebijakan yang bersifat darurat untuk menjaga keberlangsungan industri pengguna. “Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah gejolak harga barang strategis seperti produk semen, tekstil, pupük, baja, kertas, dan lainnya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso.
Sebagai salah satu industri yang cukup besar menggunakan batu bara sebagai bahan bakar di tanur putar (KILN), industri semen sangat merasakan dampaknya. Selama ini, biaya produksi komponen batu bara mencapai 30%-35%. Tidak mengherankan jika biaya produksi naik hingga 25%-30% karena harga batu bara yang melambung.
Ini diperparah dengan terkendalanya pasokan batu bara dan proses pengiriman ke lokasi pabrik semen. “Bayangkan saja, stok batu bara di pabrik hanya bertahan 1-2 minggu saja yang seharusnya minimum sampai 3 minggu. Ini akan berdampak pada produksi dan volume produksi semen terganggu,” ujarnya.
Di sisi lain, Widodo mengingatkan pemerintah terkait pentingnya peranan semen dalam program infrastruktur nasional. “Ini perlu pertimbangan pemerintah, karena bila harga semen naik, dampaknya akan ke pembangunan perumahan rakyat, kenaikan biaya infrastruktur, dampak industri dalam negeri, serta proyek-proyek strategis nasional,” pungkasnya.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga mulai sempoyongan karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk ongkos produksi. Peristiwa cukup mencengangkan dipaparkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita. “Ada dua pabrik yang mematikan pembangkit listriknya. Sedangkan enam pabrik lagi mengurangi kapasitas pembangkitnya. Semua ada di Tangerang, Karawang, dan Purwakarta. Kondisi ini akan semakin parah jika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan terkait DMO batu bara,” ujarnya.
Untuk pabrik yang mematikan pembangkit listriknya, kini beralih ke PLN. Menurut Redma, langkah ini mau tidak mau dilakukan banyak pabrik tekstil karena harga batu bara sudah terlampau tinggi. Harga batu bara yang berada di atas US$170 per metrik ton telah membuat industri tekstil pusing karena biaya produksi meningkat. Selama ini, bagi produsen serat dan benang filamen, kebutuhan batu bara bukan hanya digunakan sebagai sumber energi, tetapi juga bahan baku dari gasifikasi batu bara.
Karena itu, ongkos energi berkontribusi hingga 25% dari keseluruhan struktur biaya industri TPT dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar. “Yang pasti kita terkena dua kali pukulan, yakni cost energi dan harga bahan baku akibat harga batu bara juga,” ujar Redma. (OL-14)