Okezone, 28 Februari 2010
Polemik tentang pemberlakuan Undang-Undang Kementerian Lingkungan Hidup (UU KLH) No. 32 Tahun 2009 yang dapat menyebabkan produksi minyak nasional akan terpangkas 40 persen, semestinya tidak perlu dilontarkan dulu ke publik sehingga menimbulkan kepanikan akan berkurangnya produksi dalam negeri.
Pasalnya, meskipun UU tersebut sudah keluar namun belum ada Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur secara teknis pemberlakuan aturan tersebut. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menyatakan berhembusnya wacana yang menyebabkan kepanikan tersebut justru mencerminkan koordinasi yang tidak baik antar kementerian terkait.
PP atau Permen-nya itu kan belum keluar, semestinya jangan dilontarkan dulu ke publik. Seharusnya bisa diselesaikan secara internal, ini kan jadinya mencerminkan koordinasi yang tidak baik di Pemerintah ujarnya saat dihubungi okezone, di Jakarta, Minggu (28/2/2010).
Bahkan menurutnya, wacana yang pengurangan produksi minyak akibat dari pemberlakuan UU tersebut hanyalah sebagai kambing hitam belaka. Pasalnya, sejak awal target lifting yang ditetapkan sebesar 965 barel per hari tidaklah realistis. Tahun 2009 lalu dengan target lifting sebesar 960 barel per hari tidak dapat terpenuhi dan hanya tercapai sekira 949 barel per hari.
Ini kan kesannya jadi sepeti mencari kambing hitam karena target lifting tidak pernah tercapai. Sejak awal saya menganggap target 965 barel per hari itu tidak realistis, tambahnya.
Meskipun demikian, dirinya memaklumi jika pemerintah Percaya Diri memasang target sebesar itu, dengan alasan untuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara yang tinggi. Selama ini, kepercayaan diri pemerintah adalah dengan adanya keyakinan produksi minyak dari Blok Cepu yang akan masuk sebesar 20 ribu barel per hari, padahal hingga saat ini kendala produksi di Blok Cepu yang belum optimal karena masih adanya permasalahan di off taker dalam hal ini belum siapnya PT Tri Wahana Universal (TWU) dalam menampung produksi dari blok Cepu tersebut.
Sebenarnya angka itu (965 bph) tidak masuk akal, tapi mungkin pemerintah ingin menggenjot target pertumbuhan ekonomi jadi kalau dipasang tinggi (lifting) maka asumsi penerimaan negara juga akan tinggi, bisa jadi politis, tandasnya.
Sebelumnya, Dirjen Migas Evita Legowo, menyatakan bahwa Produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional terancam dengan adanya Undang-Undang KLH No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang akan mulai diberlakukan awal April 2010 nanti. Penerapan standar baku mutu lingkungan pada industri migas dikhawatirkan akan membuat target produksi migas nasional tidak tercapai. Produksi Migas pun diproyeksikan hanya akan tercapai setengah dari yang ditargetkan saja.
“Kalau standar baku mutu betul-betul diterapkan per April 2010 seperti apa adanya, hampir separuh target produksi migas nasional tidak dapat diproduksikan karena banyak industri migas dalam waktu dekat tidak dapat memenuhi standar baku mutu temperatur air dari 45 menjadi 40,” ujar Evita.
Pasalnya, untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat.
Sementara itu, pemerintah belum akan mengubah target lifting minyak meskipun ada kekhawatiran karena pemberlakuan UU tersebut.
“Sekarang ini masih 965 ribu barel per hari, nanti akan APBN-P kita bicara dengan dewan,” ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Kamis lalu.
Menurutnya, terbitnya UU tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Namun hanya diperlukan sedikit harmonisasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
“Tentu tidak begitu, kita perlu harmonisasikan tapi tentu tidak tiba-tiba turun 40 persen. Jangan panik. Memang nanti itu kita perlu harmonisasi sedikit,” tandasnya.(adn)