CNBCIndonesia; 24 Oktober 2024
Penulis: Pri Agung Rakhmanto Founder & Advisor ReforMiner Institute; Dosen FTKE Universitas Trisakti
Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan swasembada energi menjadi salah satu pilar Asta Cita dan prioritas program pemerintahannya. Dalam konteks ini, migas kemungkinan tetap akan merupakan salah satu sumber energi yang utama.
Proyeksi bauran energi nasional dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) hingga tahun 2050 menunjukkan bahwa migas akan terus memiliki peran yang signifikan. Outlook Energi Indonesia 2021 yang disusun oleh oleh BPPT juga memberikan gambaran yang relatif sama. Sampai dengan tahun 2050, porsi migas dalam bauran energi nasional diproyeksi masih berada pada rentang 34% – 44%.
Swasembada vs Defisit Migas
Jika merujuk pada proyeksi RUEN dan BPPT dalam beberapa skenario roadmap energi Indonesia – BAU (business as usual), EV (electric vehicle), NRE (new renewable energy) – diketahui bahwa peningkatan konsumsi migas nasional ke depan kemungkinan tidak dapat diimbangi dari sisi produksi. Kondisi ini berpotensi menyebabkan defisit neraca perdagangan migas yang akan semakin meningkat, serta memberikan tekanan pada neraca pembayaran.
Skenario RUEN memproyeksikan, Indonesia akan mengalami defisit neraca minyak pada 2030 sebesar 679,56 juta barel, sementara dalam skenario BPPT defisit neraca minyak pada 2030 diproyeksi sebesar 475,6 juta barel (BAU); 437,56 juta barel (EV) dan 435,6 juta barel (NRE).
Untuk gas, skenario RUEN memproyeksikan Indonesia akan mengalami defisit neraca gas pada 2030 sebesar 2 juta BBTU, sementara dalam skenario BPPT defisit neraca gas pada 2030 diproyeksi sebesar 1,1 juta BBTU (BAU); 1,3 juta BBTU (EV) dan 1,3 juta BBTU (NRE).
Sebagaimana diketahui, produksi dan cadangan migas nasional hingga saat ini memang terus menurun. Selama sepuluh tahun terakhir (2013-2023) rata-rata produksi minyak dan gas nasional masing-masing mengalami penurunan sekitar 3,06 % dan 1,87 % per tahun.
Pada periode yang sama, rata-rata cadangan minyak dan gas masing-masing mengalami penurunan sekitar 5,34% dan 7,49% per tahun. Lebih kurang 70% dari lapangan existing yang menjadi tulang punggung produksi migas nasional telah masuk kategori mature dan mengalami penurunan produksi secara alamiah.
Swasembada energi di sektor migas dari sisi penyediaan, dengan demikian, dihadapkan pada kondisi dan tantangan yang besar. Sektor hulu migas, yang berkaitan dengan kegiatan eksplorasi-produksi dan penyediaan ketersediaannya, memerlukan perhatian yang lebih serius dari pemerintah.
Terutama adalah untuk dapat meningkatkan investasi kegiatan eksplorasi-produksi migas secara masif. Kejelian dalam membaca arah arus investasi hulu migas global diperlukan sebagai basis dalam menentukan kebijakan dan langkah yang tepat.
Arah Investasi Hulu Migas
Perkembangan investasi hulu migas global dalam beberapa tahun terakhir tercatat berfluktuasi sejalan dengan pergerakan harga minyak dunia. Selama periode 2015 – 2023, investasi hulu migas global tercatat bergerak pada rentang US$ 426 miliar hingga US$ 736 miliar.
Selama periode itu, rata-rata investasi mengalami penurunan sekitar -2,7% per tahun. Capital expenditure terbesar dialokasikan untuk lapangan migas konvensional existing, dengan kisaran sekitar US$ 200 miliar hingga US$ 250 miliar.
Pada periode yang sama alokasi capital expenditure untuk lapangan migas konvensional baru (new conventional oil and gas field); tight oil dan shale gas serta eksplorasi di lapangan migas konvensional tercatat masing-masing berada pada kisaran US$ 100 miliar hingga US$ 220 miliar; US$ 100 miliar, dan US$ 50 miliar hingga US$ 100 miliar.
Secara persentase, ada pergeseran di dalam arah dan prioritas pilihan investasi hulu migas yang dilakukan. Porsi capital expenditure untuk ke shale gas dan tight oil mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada periode 2000-2010, capital expenditure untuk shale gas dan tight oil hanya sekitar 5% dari total capital expenditure.
Pada periode 2011-2015, porsi capital expenditure untuk shale gas dan tight oil kemudian meningkat signifikan menjadi 18%. Selama periode 2016-2023, porsi capital expenditure untuk shale gas dan tight oil terus meningkat hingga mencapai 20-24%.
Di sisi lain, terjadi penurunan porsi capital expenditure untuk aktivitas onshore conventional dan offshore conventional. Pada periode 2016-2023, porsi capital expenditure untuk onshore conventional berkisar antara 39%-40%, mengalami penurunan dibandingkan dekade sebelumnya. Sedangkan porsi investasi di offshore conventional saat ini mencapai 27%-30%.
Ditinjau dari sisi pelaku, investasi hulu migas yang dilakukan perusahaan migas multinasional terintegrasi skala besar (majors-supermajors) mengkonfirmasi adanya pergeseran itu. Pada periode 2011-2014, investasi terbesar dialokasikan untuk pengembangan laut dalam (deepwater), dengan porsi yang cukup besar juga diberikan untuk conventional onshore.
Pada periode ini, investasi untuk shale gas dan tight oil masih relatif kecil. Memasuki periode 2015-2016, terjadi perubahan. Shale gas dan tight oil mulai mendapatkan perhatian lebih besar dengan peningkatan alokasi investasi menjadi sekitar 10%. Sebaliknya, investasi pada conventional onshore mulai mengalami penurunan.
Distribusi alokasi investasi deepwater oleh majors-supermajors meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020-2023, porsi alokasi deepwater mencapai sekitar 20%-25% dari total investasi hulu. Pola investasi deepwater tersebut berkorelasi dengan tujuan perusahaan yang saat ini semakin fokus pada penyediaan produksi migas berbiaya rendah dengan intensitas karbon rendah.
Rasio emisi CO2 per barel minyak yang dihasilkan dari lapangan deepwater berkisar antara 60kg-80 kg CO2 per barel, sedangkan lapangan konvensional bisa mencapai 100-150 kg CO2 per barel.
Untuk mayoritas perusahaan migas nasional (National Oil Company NOC), sepanjang periode 2011 hingga 2019, investasi terutama terfokus pada conventional onshore, yang merupakan sumber daya utama dalam portofolio aset mereka.
Pada periode 2011-2014, investasi dalam conventional onshore mendominasi dengan porsi hingga 60% dari total investasi upstream, sementara investasi di sumber daya shale gas dan tight oil relatif tidak mengalami pertumbuhan. Tren ini berlanjut hingga 2019, dengan conventional onshore tetap menjadi prioritas utama.
Untuk sebagian perusahaan migas kelas menengah yang relatif memiliki fokus pada lini bisnis hulu – kelas independent -, terutama yang berbasis di Amerika Serikat dan Kanada, alokasi investasi lebih banyak difokuskan untuk pengembangan shale gas dan tight oil. Sepanjang periode 2011 hingga 2019, investasi dalam shale gas dan tight oil mendominasi hampir seluruh portofolio mereka.
Pada periode 2015-2016, investasi pada shale gas dan tight oil terus meningkat dan mendominasi dengan porsi lebih dari 60%. Pada periode 2017-2018 dan 2019, sekitar 70% investasi mereka difokuskan pada shale gas dan tight oil, sementara porsi untuk deepwater, shelf, dan conventional onshore tercatat semakin kecil.
Untuk perusahaan migas independent lainnya, alokasi investasi menunjukkan pola yang hampir sama dengan NOCs. Selama periode 2011 – 2019, porsi investasi terhadap conventional onshore, shelf, deepwater dan shale gas dan tight oil relatif tidak mengalami perubahan signifikan.
Conventional onshore tercatat mendapatkan porsi yang lebih besar yaitu sekitar 50%. Investasi deepwater dan shelf juga memiliki peran yang signifikan dalam portofolio mereka dengan porsi masing – masing sekitar 20%.
Posisi Indonesia
Secara umum, pola investasi hulu migas nasional pada dasarnya cukup sejalan dengan tren investasi hulu migas global. Pada periode 2018 – 2023, porsi terbesar dari investasi adalah untuk kegiatan eksploitasi atau produksi lapangan yang ada (offshore-onshore conventional).
Selama periode tersebut sekitar 71,82% investasi dialokasikan untuk produksi dan sekitar 16,24 % untuk pengembangan. Sementara porsi investasi untuk kegiatan eksplorasi pada periode yang sama berkisar 5%-6%. Ini berarti relatif ada peningkatan di tengah tren investasi eksplorasi global yang menurun.
Sejak tahun 2020 investasi hulu migas nasional juga menunjukkan tren meningkat. Total investasi pada tahun 2020 dilaporkan sebesar US$ 10,5 miliar dan meningkat menjadi US$ 13,7 miliar pada tahun 2023. Beberapa progres cukup signifikan seperti adanya penemuan lapangan skala besar dan deepwater juga dicapai dalam lima tahun terakhir Penemuan di Geng North dan Layaran termasuk merupakan penemuan terbesar sejak Lapangan Abadi di temukan di tahun 2000.
Pada Agustus 2024 lalu, pemerintah terpantau juga telah memberikan persetujuan terhadap rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) lapangan tersebut. Rencana pengembangan proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) untuk lapangan Gehem Wilayah Kerja Ganal dan Wilayah Kerja Rapak yang sebelumnya sempat terkendala, juga terpantau telah mendapatkan persetujuan.
Dengan kata lain, profil investasi dan capaian kinerja sektor hulu migas nasional selama lima tahun terakhir pada dasarnya cukup memberikan harapan bahwa peluang untuk Indonesia dalam menangkap aliran investasi hulu migas yang beredar di tingkat global tetap terbuka. Dalam hal ini, pengembangan wilayah migas laut dalam dan proyek Carbon Capture Utilization/Storage (CCS/CCUS) yang memiliki dimensi low carbon initiatives merupakan peluang yang perlu mendapatkan kemudahan dan dukungan kebijakan yang konkret.
Optimalisasi lapangan existing conventional, baik offshore maupun onshore, namun demikian, juga tetap penting untuk dijaga tingkat kelayakan keekonomian di dalam pengoperasiannya karena merupakan tulang punggung lifting nasional saat ini. P
erbaikan atas hal-hal mendasar seperti penyelesaian revisi UU Migas, percepatan eksekusi proyek migas strategis yang masuk ke dalam PSN (Proyek Strategis Nasional) dan penyederhanaan perizinan perlu dijadikan prioritas program kerja pemerintah.