Katadata.co.id; 23 Oktober 2020
Tarik menarik kewenangan regulasi sektor hilir minyak dan gas bumi (migas) terus berlangsung. Hal itu terlihat dari draf Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja buatan Sekretariat Negara yang ternyata berbeda dengan versi paripurna DPR.
Sekretariat Negara memiliki draf dengan jumlah 1.187 halaman, sementara DPR hanya 812 halaman. Dalam UU Cipta Kerja teranyar itu rupanya ada pasal yang hilang dan dikeluarkan Setneg.
Salah satu pasal yang hilang adalah Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas. Dalam draf lawas, pasal soal hilir migas ini masuk dalam bagian Paragraf 5 tentang Energi dan Sumber Daya Mineral.
Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi alias BPH Migas Jugi Prajogio mengatakan hilangnya aturan itu berarti ketentuannya kembali mengacu pada UU Migas. “Pengertian saya, jika tidak ada di Omnibus Law Cipta Kerja, artinya tetap mengacu ke UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Jadi, tidak ada perubahan tugas dan fungsi BPH Migas,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (23/10).
Pasal 46 dalam UU Cipta Kerja dalam versi DPR ini terdiri dari beberapa ayat. Ayat 1 berbunyi pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan pengangkutan gas bumi melalui pipa dilakukan oleh badan pengatur.
Lalu, di ayat 2 tertulis fungsi badan itu adalah melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi BBM dan gas bumi yang ditetapkan pemerintah pusat dapat terjamin di seluruh wilayah negara ini.
Surat Arifin untuk Menko Airlangga
Tarik-menarik pasal hilir migas sebenarnya telah terlihat ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengirimkan surat ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 2 Mei 2020. Dalam surat itu, Arifin meminta agar aturan penetapan toll fee pada RUU Cipta Kerja dapat dialihkan dari BPH Migas ke Kementerian ESDM.
“Kami mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee gas bumi melalui pipa yang sebelumnya ditetapkan oleh BPH Migas sesuai Pasal 46 ayat 3 huruf Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang migas, menjadi ditetapkan oleh Menteri ESDM dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Presiden,” tulisnya.
Arifin beralasan, hal tersebut untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing industri melalui pemanfaatan gas bumi. Selain itu, pengalihan kewenangannya dapat mendorong implementasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang tata cara penetapan pengguna dan harga gas bumi tertentu di bidang industri.
Dalam Rapat Dengar Pendapat pada 29 September lalu, anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam sempat menyinggung surat itu. Dia mempertanyakan dasar permintaan Kementerian ESDM tersebut serta menyebut pola komunikasi yang buruk antar dua pihak.
Penetapan toll fee oleh BPH Migas, menurut dia, lebih ideal lantaran badan itu bersifat independen, ketimbang Kementerian ESDM. “Kalau harus ditentukan oleh Kementerian ESDM, maka itu tidak senafas dengan UU Migas,” ujar dia.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial ketika itu tak menjawab secara jelas atas pertanyaan dan pernyataan Ridwan Hisjam tersebut. “Kami sudah melakukan penataan terkait harga dan dalam proses penyempurnaan,” katanya.
Perubahan Draft UU Cipta Kerja Bikin Investor Bingung Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menyebut rancangan UU Cipta Kerja terus berubah. “Ini memberi kesan yang negatif ke masyarakat dan juga investor,” ujar dia.
Para pengusaha hanya berharap siapapun nantinya yang mengatur hilir migas dapat menetapkan tarif angkutan gas bumi melalui pipa atau toll fee sesuai keekonomian. Jangan sampai proyek yang sudah untung harus mengikuti harga baru. “Kami menunggu saja yang versi final dan sah. Belum mau berspekulasi dulu,” katanya.
Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpandangan berbeda. Penghapusan pasal tersebut merupakan langkah bijak. Di tengah ketidakpastian karena pandemi Covid-19, menurut dia, lebih baik semua tetap mengacu pada aturan yang sudah ada. Apalagi, pemerintah dan DPR juga berencana melakukan revisi UU Migas.
Meskipun terjadi tarik-menarik kewenangan di sektor hilir migas, kondisi ini tak akan berpengaruh besar pada minat investasi. “Akan berjalan normal saja, seperti yang sudah ada,” katanya.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai persoalan terkait tarik-menarik kewenangan di sektor hilir migas bukanlah hal baru. Ada beberapa pihak yang menginginkan BPH Migas dibubarkan lantaran kebijakannya kerap bertabrakan dengan Kementerian ESDM.
Mamit menyarankan sebaiknya semua pihak menahan diri dan menunggu revisi UU Migas. Jangan sampai persoalan ini malah menjadi kontraproduktif. Apalagi fungsi BPH Migas masih cukup penting dalam proses pengawasan distribusi BBM, gas, maupun elpiji.
Tarik-menarik kepentingan ini hanya mengganggu iklim investasi. Kepastian hukum di Indonesia menjadi pertanyaan. “Karena toll fee sangat berpengaruh terhadap harga gas dan proyek pembangunan pipa,” kata dia. Kalau kewenangan itu dialihkan ke Kementerian ESDM, menurut dia, BPH Migas sebaiknya dibubarkan saja.
“Apakah sumber daya manusia Kementerian ESDM sudah siap untuk ini?” ujar Mamit. Sebaliknya, kalau hanya beberapa kewenangan yang dikurangi, peran BPH Migas masih sangat vital.
Berdasakan catatan Katadata.co.id tiga tahun lalu, DPR sempat mengusulkan pembubaran BPH Migas masuk dalam revisi UU Migas. Namun, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa menyanggahnya dengan alasan hal itu berlawanan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) BPH Migas, menurut Fanshurullah, tidak bisa dibubarkan karena keputusan MK Nomor 65 Tahun 2012 menyatakan keberadaan badan tersebut sudah sesuai konstitusi. “Kalau MK sudah memutuskan, tidak ada lagi lembaga hukum yang bisa menggagalkan, mencabut, atau meninjau kembali,” kata dia.
Dalam Undang-undang Minyak 22 tahun 2001, Badan Pengatur Hilir Migas bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM dan pengangkutan gas bumi melalui pipa. Fungsinya adalah mengatur ketersediaan BBM dan gas bumi yang ditetapkan pemerintah agar terjamin di seluruh wilayah Indonesia dan meningkatkan pemanfaatan gas bumi.
Ada beberapa hal yang pengaturannya menjadi tugas BPH Migas. Pertama, pengaturan dan penetapan ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM). Kedua, cadangan Bahan Bakar Minyak nasional. Ketiga, pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak.
Keempat, menetapkan tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa. Kelima, menetapkan dan mengatur harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil. Keenam, pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.