Pri Agung Rakhmanto;A�A�A�A�A�A�A�A�
Dosen FTKE Universitas Trisakti,A� Pendiri ReforMiner Institute
Kompas:A� Selasa, 26 Juli A�2016
Melalui APBN-P 2016, pemerintaha��dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerala��mengalokasikan anggaran Rp 1,6 triliun untuk digunakan sebagai dana ketahanan energi.
Separuh dari anggaran tersebut akan digunakan untuk mengimpor sekitar 1,6 juta barrel minyak mentah sebagai persediaan untuk mengantisipasi keadaan darurat. Separuhnya lagi untuk memperkuat cadangan operasional persediaan BBM.
Langkah pemerintah mengalokasikan dana ketahanan energi (DKE) secara langsung melalui APBN merupakan satu terobosan dan langkah maju yang sangat positif. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah, pemerintah akan memiliki apa yang disebut sebagai cadangan penyangga energi yang berwujud persediaan minyak mentah. Di negara-negara lain yang telah terlebih dahulu menerapkan, persediaan minyak mentah untuk ketahanan atau penyangga energi seperti ini lazim disebut sebagaiA�strategic petroleum reserves.
Dalam hal ini, saya melihat pemerintah telah mengambil langkah cerdas dengan tidak terbelenggu pada diskursus DKE yang sempat berkembang pada akhir tahun lalu, tetapi urung diimplementasikan karena terbentur pada masalah payung hukumnya yang tidak cukup kuat. Dalam diskursus DKE sebelumnya, pemerintah cenderung mendasarkan DKE pada konsep yang di dalam teori ekonomi energi lebih mengarah pada apa yang disebut sebagaiA�depletion premium. Depletion premium merupakan sejumlah nilai ekonomi tertentu yang dikenakan pada aktivitas pendayagunaan suatu sumber daya (energi) yang tidak terbarui. Tujuannya untuk menjaga ketersediaan sumber daya energi (tersebut) selama mungkin atau juga untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan energi lainnya dalam arti yang lebih luas.
Dalam praktiknya, sebagaimana telah banyak diterapkan di banyak negara, depletion premiumA�dapat secara langsung diambilkan dari sebagian penerimaan yang diperoleh dari pendayagunaan sumber energi non-terbarukan. Atau, dapat juga dikenakan dalam bentuk pajak yang dimasukkan sebagai salah satu komponen harga energi.
Kebijakan progresif
Pilihan instrumen kebijakan yang sempat akan dipilih untuk mengimplementasikan DKE dengan dasar konsepA�depletion premiumA�ketika itu adalah yang kedua, yaitu melalui tambahan komponen pada harga energi.
Payung hukum yang ketika itu akan dijadikan sebagai rujukan, yaitu UU No 30/2007 tentang Energi dan PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tidak cukup kuat. Pasal 30 Ayat 1, 2, dan 3 dari UU No 30/2007 memang menyebut tentang dana untuk penelitian pengembangan energi. Namun hal itu masih memerlukan aturan pelaksananya berupa peraturan pemerintah (PP), yang hingga kini juga masih belum ada. Sementara itu, PP No 79/2014 bukan merupakan aturan pelaksana yang dimaksud Pasal 30 UU No 30/2007 tersebut.
PP No 79/2014 memang menyebut tentang adanya premi pengurasan (depletion premium)energi fosil yang dapat diperuntukkan bagi kegiatan eksplorasi migas, selain bagi pengembangan energi baru terbarukan, sumber daya manusia, penelitian pengembangan, dan infrastruktur. Namun, PP itu tidak secara spesifik mengatur bahwa premi pengurasan itu diambil dari sebagian komponen harga energi (BBM). Jika di dalam menerapkan kebijakan DKE pemerintah terus terpaku pada pendekatanA�depletion premiumyang berbasis komponen harga energiini, dapat dipastikan hingga hari ini hal itu tetap belum akan dapat dijalankan.
Demikian juga halnya jika pemerintah terus terpaku pada menerapkan DKE dengan pendekatan yang pertama, yaitu dengan mengurangi sebagian penerimaan dari pendayagunaan sumber energi non-terbarukan (migas), pemerintah akan kesulitan dalam melewati proses penganggaran dan prosedur birokrasinya.
Dengan demikian, langkah pemerintah yang secara langsung menganggarkan DKE di dalam APBN dengan menggunakan pendekatan cadangan penyangga energi, yang berpijak pada Pasal 5 UU No 30/2007, tanpa harus mengaitkannya dengan komponen harga maupun dengan aspek penerimaan migas, bukan saja cerdas di dalam konteks untuk mempercepat implementasinya, tetapi juga progresif di dalam aspek fundamentalnya.
Di sini terlihat jelas komitmen dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk segera mulai merintis dan membangun aspek dan komponen ketahanan energi nasional secara riil. Angka 1,6 juta barrel sebagai persediaan minyak mentah hanyalah suatu langkah awal dan pembuka jalan. Kebijakan dan program penganggaran cadangan penyangga energi ini patut didukung oleh semua pihak dan mesti berkelanjutan ke depan, seiring dengan program penyiapan infrastrukturnya.