Bisnis.com, JAKARTA — Dengan mengandalkan produksi minyak dan gas bumi dari lapangan-lapangan yang sudah beroperasi di dalam negeri tanpa adanya eksplorasi baru, tren kinerja sektor hulu bakal terus menurun.
Berdasarkan catatan SKK Migas, realisasi lifting migas sepanjang tiga bulan pertama tahun ini tercatat sebesar 1.665,25 million barrel oil equivalent per day (mboepd)Â atau 97,3 persen dari target APBN tahun ini 1.711,78 mboepd. Realisasi lifting minyak bumi pada kuartal I/2021 tercatat hanya sebesar 676.200 barel per hari atau hanya 96 persen dari target APBN tahun ini 705.000 bopd. Sementara itu realisasi lifting gas bumi tercatat 5.539 MMscfd atau 98,2 persen dari target APBN 5.638 MMscfd.
Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat, penyebab sulitnya mencapai target lifting adalah karena masih terus mengandalkan lapangan-lapangan yang sudah berumur tua yang cenderung mengarah ke penurunan terus-menerus.
Menurut dia, karakteristik lapangan tersebut selain biaya per barelnya cenderung semakin meningkat, juga sulit diprediksikan secara teknis dalam hal-hal operasional produksinya sehingga salah satunya akan sering dijumpai unplanned shutdown.
“Ini penyebab teknis utama mengapa lifting sering tidak mencapai target. Dari tahun ke tahun, kita ya akan selalu berkutat dengan permasalahan itu kalau bicara soal pencapaian lifting dengan lapangan-lapangan yang ada saat ini,” katanya kepada Bisnis, Senin (26/4/2021).
Sementara itu, terkait dengan rendahnya produksi grup Pertamina, Pri Agung menilai penyebab utamanya bukan dari perombakan struktur organisasi melalui pembentukan subholding.
“Menurut saya, tidak ada keterkaitannya dengan masalah holding subholding. Lifting itu lebih ke isu-isu manajerial jangka pendek dan hal-hal teknis operasional,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan hampir semua lapangan di Indonesia sudah mencapai masa puncak produksinya, jadi telah sewajar kalau trennya menurun.
Untuk itu, perlunya intervensi seperti pengembangan lapangan baru atau eksplorasi dan juga program enhanced oil recovery (EOR) untuk lapangan-lapangan yang sudah masuk ke fase secondary atau tertiary production.
“Yang jadi masalah, kebanyakan lapangan tidak dipersiapkan program EOR-nya sejak dini, idealnya sejak POD atau mulai produksi pertama sehingga pengembangan program EOR menjadi sangat mahal dan sering kali sudah tidak masuk lagi ke keekonomian lapangan,” katanya kepada Bisnis, Senin (26/4/2021).
Dia menambahkan, rendahnya realisasi lifting nasional, juga disebabkan oleh sikap para investor yang masih masih menunggu situasi penanganan Covid-19 ini, sehingga kendati harga minyak sudah cukup stabil di atas US$60 per barel, tetapi situasi global masih di dalam masa krisis, distribusi vaksin masih membutuhkan waktu lama, membuat para investor masih waspada.
“Investor akan memfokuskan investasinya di area yang beresiko lebih rendah, misalkan lapangan yang sudah berproduksi, tetap mengurangi eksplorasi dulu,” jelasnya.
Lebih lanjut, terkait dengan kinerja grup Pertamina, Moshe menilai Pertamina EP memiliki banyak area-area yang tidak dikerjakan dan bisa ditawarkan ke investor atau pemain migas swasta. Untuk menarik investor, maka jangan ditawarkan melalui skema kontrak KSO, tetapi bekerja sama dengan Kementerian ESDM untuk melepas daerah-daerah tersebut untuk ditawarkan melalui kontrak KKKS di mana Pertamina tetap sebagai pemegang participating interest di lapangan tersebut.
Menurut dia, hal tersebut bisa memberikan kesempatan bagi pihak swasta dalam peningkatan produksi nasional secara signifikan. “Saya tidak melihat adanya pengaruh negatif akan pembentukan subholding karena corporate action ini niatnya adalah bagus, kalau dijalankan dengan baik sesuai rencana dan tujuannya seharusnya dapat memberikan fleksibilitas yang penting saat masa krisis seperti ini, di mana perusahaan didorong untuk bisa agile,” jelasnya.