Ruangenergi.com; 20 Agustus 2021
Ruangenergi.com – Industri hulu minyak dan gas bumi sepakat untuk mendukung proses transisi energi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan komitmen Indonesia sebagaimana tertuang dalam Paris Agreement untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sesuai NDC (Nationally Determined Contribution). Selain itu, Pemerintah juga berkomitmen untuk menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat Celcius, dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat Celcius.
Berdasarkan konvensi perubahan iklim, Pemerintah memiliki kewajiban untuk penurunan emisi karbon di sektor kehutanan sebesar 17,2%, di sektor energi sebesar 11%, sektor limbah sebesar 0,32%, sektor pertanian sebesar 0,13%, sektor industri dan transportasi sebesar 0,11%.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institut, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa proses transisi energi yang dilakukan oleh industri hulu migas yakni untuk menyeimbangkan aspek lingkungan.
“Transisi energi merupakan upaya untuk menyeimbangkan banyak hal. Terutama dalam kaitannya dengan aspek lingkungan,†katanya kepada Ruangenergi.com, (19/08).
Sebelumnya, Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong, dalam gelaran Conference IPA Convex 2021 mengatakan, transisi energi harus dilakukan, akan tetapi bukan berarti melupakan energi fosil seperti minyak, gas bumi dan lainnya, karena kebutuhan energi fosil di Indonesia dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) pada 2030-2050 masih cukup besar.
“Dalam arti kata, kita tetap memerlukan energi yang berasal dari bumi yaitu minyak dan gas bumi, karena kebutuhan energi Indonesia sangat besar sekali. Jadi, Pemerintah saya kira sedang mencoba mengakselerasi adanya energi dari renewable,â€Â terang Marjolijn dalam conference IPA Convex 2021 ketika ditanyakan Ruangenergi.com, (18/08).
Dijelaskan olehnya, jika dilihat dalam RUEN kebutuhan akan energi migas di Indonesia tetap besar. Hal tersebut sejalan dengan rencana pemerintah dalam meningkatkan produksi minyak nasional yakni sebesar 1 juta BOPD minyak dan gas 12 BSCFD pada 2030 mendatang.
“Dengan demikian, kami industri migas tetap akan fokus menemukan, mengembangkan, memproduksikan minyak dan gas bumi ini. Akan tetapi pada masa energi transisi ini, kami juga akan memberikan perhatian yang cukup besar agar energi fosil ini jadi lebih bersih,†terang Meity sapaan akrabnya.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebutkan bahwa secara volume kebutuhan minyak dan gas akan selalu meningkat.
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, mengatakan, di mana konsumsi minyak di 2050 akan meningkat 139% dan saat ini sebesar 1,6 juta barel per hari menjadi 3,97 juta per hari.
“Sementara untuk konsumsi gas, diperkirakan akan terus meningkat lebih besar lagi. Di mana Konsumsi gas saat ini adalah 6.000 MMScfd, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 26.000 MMScfd di 2050 atau meningkat sebesar 298%,†ujar Dwi, dalam sebuah webinar Peran Perbankan Nasional Di Industri Hulu Migas, (19/08).
Untuk itu, Pemerintah sangat mendorong penggunaan energi bersih yang berasal dari fosil yakni gas bumi, lantaran potensinya yang dimiliki Indonesia cukup melimpah.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mendorong penggunaan gas bumi yakni mengkonversi kendaraan bermotor yang semula menggunakan BBM ke gas. Hal ini ditandai dengan diresmikannya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di Kaligawe, Semarang, Jawa Tengah.
Peresmian SPBG tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas), Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, pada Jumat, 20/08/2021.
Pasalnya, SPBG tersebut memiliki kapasitas sebesar 1 MMSCFD atau setara dengan 30.000 liter premium per hari (lsp), sekaligus ini merupakan SPBG Online Station yang dibangun dengan mengunakan dana APBN Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tahun Anggaran 2015 yang kemudian diserahkan ke PT Pertamina (Persero) melalui mekanisme Penyertaan Modal Pemerintah.
Tutuka mengatakan, SPBG Kaligawe telah terhubung dengan sumber gas dari Pipa gas Gresik-Semarang sehingga siap untuk dioperasikan oleh Pertamina melalui salah satu anak usahanya, Subholding Gas PT PGN Tbk.
“Produksi gas bumi nasional cukup besar sehingga harus dimanfaatkan secara maksimal untuk penggunaan dalam negeri dan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia,†ungkap Tutuka dalam sambutannya.
Kembali, Komaidi menambahkan, sampai saat ini bukan hanya Indonesia saja yang bergantung pada energi fosil tapi dunia juga demikian masih tergantung pada energi fosil.
“Jadi perlu hati-hati dalam mengambil kebijakan. Yang didorong adalah net zero emisi. Artinya tetap boleh pakai fosil dengan catatan dapat mengkompensasi dengan penggunaan EBT dalam level emisi yang setara,†paparnya.
Komaidi menjelaskan, energi yang bersumber dari fosil juga dapat mengurangi emisi, itu adalah gas bumi.
Meski termasuk dalam kategori energi fosil, terangnya, akan tetapi gas bumi merupakan energi bersih. Sebab, penggunaan energi gas bumi dalam pembangkit tenaga listrik dapat mengurangi emisi sekitar 50%, ketimbang menggunakan energi fosil lainnya seperti batubara.
“Saya kira industri hulu migas sudah merespon kebijakan transisi energi dengan baik. Ada upaya-upaya seperti implementasi carbon capture dan diversifikasi ke EBT,†tutupnya.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang tertuang daam laporan keempat studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Ensuring a Just Energy Transition in Indonesia: Lessons learn from country case studies. Studi ini menyoroti bagaimana keempat negara, Jerman, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan mengelola transisi energi dan dampaknya, sehingga Indonesia dapat mengambil pembelajaran dalam mempersiapkan proses transisi energi yang berkeadilan, terutama dari aspek sosial dan ekonomi.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan, saat ini, sistem energi global sedang mengalami keadaan di mana lebih banyak pembangkit listrik berbasis terbarukan yang dibangun dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Di banyak negara, energi terbarukan perlahan-lahan menggantikan bahan bakar fosil untuk memasok listrik. Fenomena ini dikenal sebagai transisi energi. Hingga akhir tahun 2019, kapasitas energi terbarukan di dunia mencapai 2.537 GW, meningkat 176 GW dari tahun sebelumnya (IRENA 2020).
“Transisi energi adalah fenomena global yang sedang terjadi di berbagai negara-negara maju dan berpendapatan menengah di seluruh dunia. Transisi ini mengubah lanskap penyediaan energi di dunia dan prosesnya terjadi secara cepat dalam satu dekade terakhir. Energi fosil seperti batubara mulai dikurangi dan diperkirakan pertumbuhan akan melandai dan kemudian menurun dalam dua dekade mendatang seiring dengan upaya dunia melakukan dekarbonisasi,†jelas Fabby.
Menurutnya, transisi energi dari energi fosil yang sedang terjadi akan berdampak pada negara yang bergantung pada bahan bakar fosil pada risiko sosial dan ekonomi.
Pembelajaran dari empat negara; Jerman, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa transisi energi dapat memberikan baik dampak positif dan dampak negatif. Untuk memaksimalkan dampak positif dan menghindari dampak negatif, penting bagi pemerintah untuk mempersiapkan sejumlah instrumen kebijakan demi menjamin proses transisi yang berkeadilan.
“Transisi energi yang berkeadilan sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses transisi yang memastikan bahwa biaya dan keuntungan (cost and benefit) yang dibawa oleh transisi energi akan didistribusikan secara merata dan bahwa proses transisi yang berlangsung tidak akan meninggalkan/merugikan pihak manapun (no one left behind),†tuturnya.