Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Investor Daily; Senin 06 Oktober 2014
Kegiatan usaha hulu (ekplorasi- produksi) migas memiliki karakteristik padat modal, teknologi tinggi, dan berisiko besar. Industri yang menjalankan dan terlibat di dalamnya sangat memerlukan jaminan kepastian usaha dan keamanan pengembalian investasinya. Pada 2014, perkiraan kebutuhan investasi hulu migas nasional mencapai US$ 25,6 miliar. Sementara itu, negara dan pemerintah Indonesia tidak mengambil sikap dan tidak berada dalam posisi sebagai pihak yang menanggung dan menjalankan sepenuhnya investasi tersebut.
Sekitar 90% dari angka investasi itu merupakan investasi yang dilakukan oleh para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) selain Pertamina. Konsekuensi logis dan rasionalnya, negara dan Pemerintah Indonesia wajib menciptakan dan menjaga iklim investasi hulu migas yang kondusif, yang dapat memberikan jarninan kepastian usaha dan keamanan pengembalian investasi bagi para KKKS terse but.
Namun, kondisi yang ada saat ini sangat bertolak belakang. Iklim investasi hulu migas sangat tidak kondusif. KKKS ragu dan gamang untuk menanamkan investasinya secara masif dan progresif. Status Kontrak Kerja Sama (KKS) mereka dalam posisi rawan. Penyebab utamanya adalah landasan hukum dan status kelembagaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKKMigas) yang lemah.
Bisa Terbitkan Perppu
Sebagai pihak yang mewakili Negara dalam KKS, keberadaan SKK Migas sangat lemah karena pendiriannya hanya didasarkan atas perangkat perundangan setingkat peraturan presiden, yaitu Perpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Pasal 2 ayat 1 Perpres 9 Tahun 2013 tersebut menyatakan, sampai dengan dibentuknya Undang..Undang Migas yang baru, pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan usaha hulu migas dilakukan oleh SKK Migas.
Merujuk ketentuan ini, keberadaan SKK Migas jelas bersifat sementara. Ada pun bentuk kelembagaan SKK Migas, berdasarkan Perpres tersebut, jelas merupakan badan pemerintah, karena ditempatkan di bawah koordinasi dan pengawasan menteri energi dan sumberdaya mineral (ESDM), serta anggaran operasionalnya berasal dari APBN. Ini artinya masih belum sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/ PUU-X/2012.
Putusan MK tersebut mengamanatkan, jika pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas dilakukan dengan menggunakan sistem kontrak (bersifat privat), bentuk kelembagaan yang mewakili negara yang sesuai adalah sebuah badan usaha. Dengan demikian, redefinisi dan reposisi SKK Migas melalui payung hukum yang lebih kuat- yaitu setingkat undang-undang menjadi satu agenda mendesak yang harus segera diselesaikan.
Langkah yang harus segera diambil idealnya tentu saja adalah menerbitkan Undang-Undang Migas yang baru, sebagai pengganti UU Migas No 22 Tahun 2001 – yang seluruh pasal terkait kegiatan usaha hulu telah dianulir oleh MK Kondisi saat ini, revisi UU Migas berada di tangan DPR dan hingga masa tugas DPR periode 2009-2014 berakhir minggu lalu, proses revisi masih sangat jauh dari menghasilkan UU Migas baru.
RUU Migas pun secara formal masih belum ada karena belum diparipurnakan. Alternatif solusi atas kondisi yang ada salah satunya adalah dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perppu). Dari sudut pandang ketahanan energi nasional yang semakin melemah akibat tidak kondusifnya iklim investasi yang tercermin dari terus menurunnya produksi dan cadangan minyak sejak diberlakukannya UU Migas No 22 Tahun 2001- kondisi kegentingan yang ada semestinya sudah dapat menjadi satu dasar argumentasi yang cukup untuk menerbitkan perppu. Bersamaan dengan itu, pemerintahan baru nantinya diharapkan memulai inisiatif untuk bekerja sama dengan DPR untuk melanjutkan proses revisi yang telah ada.
Badan Usaha Khusus
Menyangkut substansi perppu atau UU Migas baru yang terkait bentuk kelembagaan SKK Migas, perlu menjadi catatan bahwa yang menjadi penentu dari bentuk kelembagaan itu nantinya adalah sistem apa yang akan digunakan di dalam pengusahaan kegiatan usaha hulu migas itu sendiri; apakah sistem kontrak ataukah sistem perizinan. Mengacu pada putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 dan juga pada best practice pengusahaan hulu migas di banyak negara lain – jika yang digunakan adalah sistem perizinan, pola hubungan yang ada bersifat publik dan bentuk kelembagaan SKK Migas baru yang sesuai adalah badan pemerintah.
Fungsinya adalah sebagai regulator dan pengawas bagi para perusahaan migas yang ada. Fiscal regime yang mengikuti pola hubungan ini lazimnya adalah royalty and tax.
Jika yang digunakan adalah sistem kontrak, seperti KKS saat ini, apa pun bentuk dan jenis kontraknya nanti, pola hubungan yang ada bersifat privat dan bentuk kelembagaan SKK Migas baru yang sesuai adalah badan usaha. Fungsinya adalah sebagai mitra kerja sama bisnis dan sekaligus fasilitator bagi para kontraktor yang ada.
Pengawasan dan penerapan standar atau prosedur birokrasi tertentu hanya sebatas merupakan representasi pola hubungan antara sebuah badan usaha dan kontraktor mitra kerja atau rekanannya, dan bukan sebagai regulator. Fiscalregime yang mengikuti pola hubungan ini dapat lebih fleksibel dan beragam, sesuai kesepakatan bisnis yang dicapai oleh para pihak.
Dari sisi konstitusi yang menghendaki penguasaan negara pada tingkat pertama (melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsung), saya melihat sistem kontrak secara relatif masih lebih cocok untuk diterapkan. Hal ini juga mengingat keberadaan KKS yang ada dan masih berlaku (menghargai kontrak dan sekaligus meminimalkan ketidakpastian}, serta tingkat daya saing Indonesia berdasarkan ketersediaan cadangan migas yang tidak terlalu tinggi.
Artinya, ke depan, SKK Migas perlu ditransformasikan menjadi sebuah perusahaan hulu migas negara atau sebuah badan usaha khusus (lex special is) untuk menangani kontrak-kontrak pengusahaan hulu migas. Lebih cepat hal itu dilakukan, lebih baik.