Katadata.co.id; 9 Oktober 2020
Pemerintah tak kunjung merampungkan revisi UU Migas. UU Cipta Kerja tak membuat persoalan menjadi lebih baik. Investasi ke sektor ini diperkirakan tak mampu terdongkrak.
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR memuat aturan pengelolaan minyak dan gas bumi (migas). Beberapa pasal dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 tak tampak lagi dan menimbulkan ketidakpastian investasi di sektor ini.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan UU Cipta Kerja mengubah sistem rezim hulu migas dari kontrak kerja sama menjadi perizinan berusaha. Peraturan perizinan berusaha juga menjadi tak utuh dan rancu karena Pasal 4A dalam UU Migas telah dicabut. Pada pasal itu tertulis kegiatan usaha hulu migas diselenggarakan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan. Dengan begitu, pemerintah dapat membentuk atau menugaskan badan usaha milik negara khusus atau BUMNK sebagai pelaksana kegiatan usaha migas.
Pasal 4A identik dengan ketentuan kuasa pertambangan migas yang diberikan kepada Pertamina melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 44 tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971.
Karena itu, Pri Agung mempertanyakan kepada siapa nantinya izin itu diberikan jika rezimnya berubah menjadi perizinan berusaha.
“Apakah kepada badan-badan usaha secara langsung seperti halnya yang diterapkan di pertambangan mineral dan batu bara (minerba)? Atau nantinya akan kepada badan usaha tertentu (khusus) yang dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Jumat (9/10).
Kepastian hukum sektor migas melalui undang-undang mendesak diselesaikan. Apalagi, UU Cipta Karya muncul untuk meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Tanpa aturan yang jelas, ia tak yakin aliran modal dapat meningkat ke sektor ini.
Masalahnya sekarang pemerintah tak kunjung merampungkan revisi UU Migas dan ini menimbulkan tanda tanya. Padahal, revisi UU Minerba telah selesai dalam waktu singkat pada awal tahun ini. Pemerintah sekarang juga sedang mengebut untuk menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang energi baru terbarukan RUU EBT.
Revisi UU Migas sudah diamanatkan sejak panitia khusus atau pansus bahan bakar minyak (BBM) pada 2008 serta putusan Mahkamah Konstitusi. “Seharusnya Revisi UU Migas mendapat prioritas lebih dan diselesaikan terlebih dahulu,” kata Pri Agung.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pemerintah dan DPR sepakat pembahasan detail aturan itu akan masuk di revisi UU Migas. “Sub-klaster minyak bumi tetap UU Migas. Pembahasannya mulai di 2021,” kata dia pada saat konferensi pers virtual, Rabu (7/10).
Sektor Migas Tak Lagi Jadi Prioritas Pemerintah?
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin mengatakan rencana pembahasan RUU Migas sudah berlangsung cukup lama. Namun, hingga kini tak kunjung terealisasi.
Dalam lima dekade terakhir, UU Migas telah berubah dua kali. Pada saat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 masih berlaku, kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS masih di bawah Pertamina. Perusahaan pelat merah ini bertanggung jawab dari soal pembebasan lahan hingga perizinan.
KKKS pun dijamin porsi bagi hasilnya dalam klausul assume and discharge. Kontraktor hanya fokus menemukan cadangan dan mengembangkannya sesuai rencana.
Nah, UU Migas tahun 2001 kemudian muncul. Pengelolaan hulu migas kemudian dilaksanakan oleh BP Migas, sekarang bernama SKK Migas. Segala kewajiban mengenai pembebasan lahan dan perizinan menjadi tanggung jawab penuh KKKS. SKK Migas hanya berperan mendampingi.
Lahan yang dikerjakan kontraktor pun menjadi milik negara. “Itu pun dengan risiko tidak dikembalikan uangnnya bila lapangan tidak ekonomi,†kata Mosche.
Kondisi kemudian menjadi pelik karena cadangan migas dari tahun ke tahun menipis. Penemuan cadangan baru pun minim. Di sisi lain, biaya operasional semakin mahal. Investasi migas kemudian menjadi tidak menarik. Pemerintah lalu ingin mengubahnya dengan melakukan revisi UU Migas, yang sampai sekarang tak kunjung masuk ke pembahasan dengan DPR.
Berdasarkan data BP cadangan minyak terbukti Indonesia menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Pada 1980, angkanya di 11,6 miliar bare. Lalu, di 2017 anjlok tinggal 3,17 miliar barel, di bawah Malaysia (3,6 miliar barel) maupun Vietnam (4,4 miliar barel).
Penurunan terjadi karena berkurangnya aktivitas eksplorasi. Pada 2011, realisasi pengeboran sebanyak 79 sumur. Di 2017 tinggal 48 sumur. Dana untuk melakukan eksplorasi sangat besar, apalagi cadangan minyak nasional saat ini sebagian besar berada di laut dalam.
Industri migas, menurut Mosche, sebaiknya jangan hanya dilihat dari kacamata pendapatan negara. Dampak bergandanya sangat banyak. Misalnya, penciptaan lapangan kerja, pengembangan industri penunjang dalam negeri, dan pemenuhan kebutuhan energi.
Apalagi kondisi neraca perdagangan di dalam negeri sangat erat kaitannya dengan komoditas migas. Bila investor kurang tertarik menanamkan modalnya di Indonesia, maka investasinya pun ikut turun. “Revisi UU Migas dapat memperbaiki kondisi tersebut,” ujarnya.
Defisit neraca minyak Indonesia mulai terjadi pada 2003 dan kian melebar setiap tahun. Hal ini seiring dengan peningkatan konsumsi domestik serta penurunan produksi.
Tahun lalu impor minyak yang tinggi menyebabkan neraca dagang Indonesia mengalami defisit. Defisit perdagangan sektor migas mencapai US$ 9,3 miliar. Sektor nonmigas yang surplus sebesar US$ 6,1 miliar tak mampu mendongkrak neraca perdagangan 2019.
SKK Migas Nantikan RUU Migas Tak hanya kontraktor yang menantikan revisi UU Migas. SKK Migas pun serupa. Pasalnya, badan ini merupakan pengganti BP Migas yang telah dibubarkan pada 2012 oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah lalu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 untuk membentuk SKK Migas.
Namun, peran badan pengelola hulu migas itu sangat rentan karena tidak memiliki payung hukum yang kuat. Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih berharap pembahasan RUU Migas segera dilakukan.
Ia mengatakan masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan melalui RUU Migas ini. “Status SKK Migas sampai sekarang adalah lembaga sementara. Itu kan enggak bagus untuk mengelola bisnis yang panjang dengan investasi yang mahal,” kata dia.
Para pelaku industri juga meminta kepastian hukum di sektor ini. Tanpa adanya undang-undang yang jelas, sulit bagi investor mengembangkan bisnisnya di Indonesia. “Keluhan investor juga urusan kepastian hukum yang utama. Kami berharap supaya bisa segera selesai,” ucap Susana.
Perubahan UU Migas sebenarnya telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020. Namun, pemerintah sampai sekarang belum menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi aturan itu ke DPR.
Ketua Komisi Energi DPR Sugeng Suparwoto menyatakan revisi UU Migas merupakan inisiatif anggota dewan. Untuk memulai pembahasannya pun memerlukan DIM yang disusun oleh pemerintah. Apabila pemerintah tak kunjung menyusun dan menyerahkannya, maka DPR akan memberikan naskah akademiknya ke pemerintah sehingga undang-undang itu menjadi inisiatif lembaga eksekutif.
Menanggapi itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial menyatakan pemerintah masih fokus pada UU Cipta Kerja. Pihaknya bakal menunggu apabila DPR menyerahkannya sebagai insiatif pemerintah.
Harapannya, revisi UU Migas dapat mendorong kegiatan ekplorasi di dalam negeri. Hal ini menjadi penting mengingat dalam 10 hingga 30 tahun ke belakang, para kontraktor tidak menghasilkan penemuan-penemuan cadangan migas dalam jumlah besar. “Ini menjadi dasar untuk membuat regulasi baru lebih menarik,†katanya.