Friday, November 22, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2010UUPA dan Pengelolaan Migas Aceh

UUPA dan Pengelolaan Migas Aceh

Pri Agung Rakhmanto-Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Serambi Indonesia, 14 Juli 2010
UUPA dan Pengelolaan Migas Aceh

Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah banyak memberikan perubahan pada penyelenggaraan kehidupan masyarakat Aceh di segala bidang. Satu diantaranya yang cukup signifikan adalah pengelolaan sumber daya alam, termasuk di dalamnya secara khusus pengelolaan minyak dan gas bumi (migas). Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 160 Ayat 1 UUPA, Pemerintah Aceh kini memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan sumber daya migas bersama dengan Pemerintah Pusat. Dalam Ayat 2 Pasal yang sama kemudian disebutkan bahwa untuk melakukan pengelolaan migas tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama. Dalam konteks pengelolaan migas nasional, khususnya menyangkut kewenangan dan keterlibatan daerah, ketentuan dalam UUPA ini sejatinya merupakan salah satu buah perjuangan Rakyat Aceh yang telah memakan waktu puluhan tahun dan merenggut ribuan korban jiwa. Pencapaian yang sangat berharga ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya secara arif dan bijaksana oleh Pemerintah dan DPR Aceh agar sumber daya migas yang ada di wilayah Aceh benar-benar memberikan manfaat dan kemakmuran yang nyata dan sebesar-besarnya bagi rakyat Aceh.Ujian Satu ujian pertama yang kini dihadapi Pemerintah dan DPR Aceh dijumpai pada kasus pengelolaan migas di wilayah Blok A. Blok A yang berlokasi di daerah Kuala Langsa hingga Tualang Cut, merupakan wilayah kaya akan migas, yang di dalam pengembangannya saat ini dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) PT. Medco E&P Indonesia beserta dengan mitra konsorsiumnya. Kontrak Medco pada Blok A tersebut akan berakhir pada 31 Agustus 2011. Ujian yang dimaksudkan di sini terkait keputusan perpanjangan kontrak Medco pada Blok A tersebut; Apakah Pemerintah dan DPR Aceh sebaiknya menyetujui perpanjangan kontrak Medco pada Blok A tersebut sesegera mungkin sebelum kontrak berakhir ataukah sebaiknya menangguhkan persetujuan perpanjangan kontrak hingga terbitnya Peraturan Pelaksana (PP) dari UUPA yang ada-yang mungkin akan menjadi dasar pelaksanaan terbentuknya badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh. Opsi pertama, menyetujui perpanjangan kontrak sesegera mungkin, dapat dikatakan merupakan pilihan yang memberikan kepastian dan kejelasan bagi semua pemangku kepentingan yang ada.

Bagi Pemerintah dan DPR Aceh, dan juga rakyat Aceh secara keseluruhan, kepastian yang lebih jelas akan adanya aliran pendapatan daerah dari dana bagi hasil produksi migas akan dapat diperoleh dari perpanjangan kontrak yang lebih segera. Dari sini Pemerintah dan DPR Aceh akan dapat membuat perencanaan program-program pembangunan dengan dasar acuan yang relatif lebih terkontrol dan lebih terukur. Hal yang sama juga berlaku bagi Pemerintah Pusat, dimana penerimaan negara yang bersumber dari migas sebagiannya juga bergantung pada pengusahaan Blok A ini. Bagi Medco, kepastian ini juga akan sangat berguna untuk perencanaan dan realisasi investasinya. Semakin cepat kepastian perpanjangan kontrak Blok A diperoleh, semakin cepat pula Medco dapat merealisasikan investasinya, yang pada gilirannya akan semakin cepat pula manfaat ekonomi dari pengembangan Blok A ini dapat dirasakan semua pemangku kepentingan yang ada.

Patut untuk diperhatikan di sini, telah lebih dari 30 tahun sejak potensi migas di Blok A ini ditemukan (kurang lebih tahun 1972), pengembangannya banyak menemui hambatan terutama karena nilai ekonominya yang tergolong marjinal (cadangan gas hanya berkisar 343 BSCF) dan tingginya tingkat risiko investasi yang ada. Salah satu aspek yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai titik lemah dari opsi pertama ini adalah hanya jika kontrak diperpanjang di saat belum terbentuk badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh, maka kewenangan pengelolaan migas dikhawatirkan tetap akan ada di tangan Pemerintah Pusat dan bukan di tangan Aceh sendiri. Opsi kedua, menangguhkan persetujuan perpanjangan kontrak hingga menunggu terbitnya PP dari UUPA, terlebih menunggu dibentuknya badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh, membawa konsekuensi pada adanya ketidakpastian dalam berbagai aspek.

PP dari UU PA tentu tidak bisa begitu saja diterbitkan hanya semata karena dorongan untuk segera mengambil keputusan tentang perpanjangan kontrak Blok A. Penerbitan PP memerlukan kajian dan pertimbangan yang saksama dan komprehensif. Pembentukan badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh, jika mengacu pada Pasal 160 Ayat 2 di atas, sejatinya juga dapat dikatakan bukan merupakan suatu keharusan, tetapi lebih merupakan suatu pilihan yang mungkin bisa diterapkan ataupun tidak di dalam konteks pengelolaan migas bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Dalam praktik industri migas di banyak negara, pengelolaan migas pun tidak selalu dilakukan melalui suatu badan pelaksana. Di tingkat nasional, saat ini juga sudah mulai bergulir wacana untuk kemungkinan ditiadakannya badan pelaksana migas tersebut, karena dalam banyak aspek dipandang tidak cukup kondusif untuk pengelolaan sektor migas secara keseluruhan. Dengan kata lain, meskipun opsi kedua tampaknya menjanjikan sesuatu yang lebih, khususnya dalam hal kewenangan mengelola , unsur ketidakpastian menyangkut kapan dapat diwujudkannya akan hal itu juga tinggi.

Perlu untuk menjadi perhatian bersama bahwa kontraktor migas-siapapun itu, nasional ataupun asing-memerlukan kepastian yang jelas untuk bersedia menanamkan investasinya. Dalam pada itu, investasi yang ditanamkan saat ini, terlebih jika berkaitan dengan kegiatan eksplorasi dan produksi migas, juga tidak akan langsung membuahkan hasil saat ini juga, sehingga aspek waktu menjadi penting dalam hal ini. Mencermati perkembangan kasus Blok A hingga saat ini, setidaknya sebagaimana yang diberitakan Serambi (18 Mei 2010), bahwa dari pertemuan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah pada 17 Mei 2010 lalu, telah disetujui bahwa kontrak Medco di Blok A diperpanjang dengan syarat-tidak merugikan Aceh dan Medco akan mengikuti PP Migas bila nanti telah disahkan-, apa yang diputuskan tersebut sesungguhnya dapat dikatakan sudah tepat. Dalam hal ini, sisi positif dari opsi pertama, yaitu masalah kepastian yang dinantikan semua pemangku kepentingan, telah dipenuhi, dan sisi positif dari opsi kedua, yaitu concern terhadap masalah kewenangan pengelolaan oleh Aceh, juga relatif telah terakomodasi. Dengan memberikan persetujuan perpanjangan kontrak Blok A segera namun bersyarat ini, dapat dikatakan bahwa Pemerintah dan rakyat Aceh tetap akan dapat memetik manfaat dari pengembangan Blok A ini dengan lebih pasti, tanpa harus khawatir bahwa kewenangan pengelolaan nantinya tidak berada di tangan Aceh. Tanpa adanya badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh pun, dengan ketentuan Pasal 160 UUPA, sudah begitu jelas bahwa Pemerintah Aceh-dengan persetujuan DPR Aceh-mempunyai kewenangan mengelola sumber daya migasnya.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments