Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
Koran Sindo: Senin, 4 Desember 2017 – 08:00 WIB
BERSAMAANÂ dengan kecenÂderungan harga minyak dunia yang rendah, pemerintahan Presiden Jokowi tercatat menyesuaikan keÂbijakÂÂÂan harga BBM. PenyesuaiÂan diÂlakukan melalui Perpres Nomor 191/2014 tentang PeÂnyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diundangkan pada 31 Desember 2014.
Perbedaan antara Perpres Nomor 191/2014 dengan reguÂlasi sebelumnya (Perpres NoÂmor 71/2005, Perpres Nomor 22/ 2005, Perpres Nomor 09/2006, Perpres Nomor 45/2009, dan Perpres Nomor 15/2012) adalah pada penentuan jenis BBM yang diatur. Pada regulasi sebelum Perpres 191/2014, bensin RON 88 (Premium) ditetapkan sebaÂgai jenis BBM tertentu yang diÂberikan subsidi oleh pemerinÂtah. Pada regulasi ini, tidak lagi.
Pada Perpres 191/2014 jenis BBM yang diatur terbagi menÂjadi tiga, BBM tertentu (minyak tanah/kerosene dan minyak solar/gas oil), BBM khusus penugasan (bensin minimal RON 88/Premium), dan BBM umum, yaitu jenis BBM di luar BBM tertentu dan BBM khusus penugasan.
Kebijakan Subsidi
Kebijakan subsidi BBM daÂlam Perpres 191/2014 berbeda dengan regulasi sebelumnya. Bensin RON 88 (Premium) diteÂtapkan sebagai jenis BBM khuÂsus penugasan yang tidak lagi diberi subsidi. Melalui Perpres ini subsidi BBM hanya dialoÂkasiÂkan untuk BBM jenis miÂnyak tanah dan minyak solar.
Minyak tanah diberi subsidi dengan mekanisme seperti reÂguÂlasi sebelumnya, yaitu diberi subsidi per liter yang merupaÂkan pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter minyak tanah setelah dikurangi pajak-pajak dengan harga dasarnya.
Adapun mekanisme subsidi untuk minyak solar diubah menjadi subsidi tetap. Dalam hal ini subsidi diberikan dari selisih kurang harga dasar per liter minyak solar setelah diÂtamÂbah pajak-pajak sesuai deÂngan ketentuan peraturan perÂundang-undangan. BerdasarÂkan ketentuan ini, besaran subÂsidi minyak solar dapat ditenÂtuÂkan sejak penyusunan APBN, yaitu perkalian dari volume minyak solar yang disubsidi dan besaran subsidi untuk setiap liternya.
Perpres itu mengatur peÂnyediaan dan pendistribusian BBM tertentu/BBM subsidi oleh badan usaha melalui penugasan oleh Badan Pengatur (BPH Migas). Dalam hal ini BPH Migas berperan melakukan peÂrencanaan volume kebutuhan dan perencanaan penjualan taÂhunan BBM subsidi yang diÂusulÂkan kepada Menteri ESDM.
Berdasarkan usulan dari Badan Pengatur tersebut, MenÂteri ESDM menetapkan perenÂcanaan volume kebutuhan tahunan dan volume penjualan tahunan BBM subsidi. Pada tahapan selanjutnya, Menteri ESDM menyampaikan kepada Menteri Keuangan perihal peÂnetapan perencanaan volume kebutuhan tahunan dan volume penjualan tahunan untuk peÂnyuÂsunan perkiraan subsidi BBM tertentu (minyak tanah dan solar) serta proses penyeÂlesaian sesuai dengan ketenÂtuan perÂaturan perundang-undangan.
Qui scelle la marque Viagra ou la pastèque peut-elle vraiment traiter la dysfonction érectile. Avant de prendre Viagra Générique , parlez-en à votre médecin, les points qu’ils industrie et veuillez éviter de mâcher le comprimé.
Konsekuensi Kebijakan
Perpres 191/2014 yang tidak lagi menetapkan bensin RON 88/Premium yang umumnya dengan volume besar menÂjadi BBM subsidi menyebabkan kebijakan subsidi BBM pada era Presiden Jokowi relatif lebih seÂderhana. Berdasarkan regulasi ini, Menteri ESDM memiliki kewenangan lebih kuat dalam menetapkan harga BBM subsidi.
Dalam regulasi sebelumnya, Menteri ESDM harus terlebih dahulu mendapatkan pertimÂbangan Menteri Keuangan sebelum menetapkan harga BBM. Harga BBM subsidi juga harus mengacu pada hasil keÂsepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan Menteri KoorÂÂdinator Bidang PerÂekoÂnomian. Sementara melalui Perpres ini tidak demikian.
Penetapan volume dan peÂnyesuaian harga BBM subsidi pada era pemerintahan Presiden Jokowi sering kali tidak perlu melalui pembahasan dengan DPR seperti pada tahun angÂgarÂan sebelum-sebelumnya. Pada APBN 2017 misalnya, tercatat tidak ada lagi jumlah volume dan besaran nilai subsidi BBM yang diatur/ditetapkan.
Kondisi tersebut berbeda dengan subsidi BBM pada periode sebelumnya yang mana penetapan volume dan besaran subsidinya tidak haÂnya harus melalui pemÂbahasÂan, tetapi juga harus atas perÂsetujuan DPR. Dalam penaikan harga BBM misalnya, jikapun pemeÂrintah diberikan keweÂnangÂan, hal tersebut baru dapat dilakuÂkan dengan ketentuan terÂtentu. Misalnya, jika harga miÂnyak mentah Indonesia (ICP) telah mengalami kenaikÂan hingga level tertentu atau telah menÂcapai persentase tertentu dari harga patokan yang ditetapkan.
Meski memberikan dampak positif bagi pemerintah, PerÂpres 191/2014 berpotensi memÂberikan konsekuensi keuangan bagi pelaksana penugasan, terÂutama Pertamina, jika pemeÂrinÂtah tidak konsisten melakÂsanaÂkan kebijakan. Pasal 19 Perpres ini menetapkan untuk pertama kali (2015) Pertamina yang diÂtugaskan melaksanaÂkan penyeÂdiaan dan penÂdistribusian jenis BBM khusus penugasan.
Wilayah penugasan sendiri meliputi seluruh Wilayah NeÂgara Kesatuan Republik IndoÂnesia, kecuali Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi DI Yogyakarta, dan Provinsi Bali. Berdasarkan data, sampai saat ini sebagian besar penyeÂdiaan dan pendistribusian BBM khusus penugasan masih dilakÂsanakan Pertamina.
Perlu diketahui, BBM khusus penugasan merupakan BBM (bensin, RON 88) yang diÂdistriÂbusikan di wilayah penugasan dan tidak diberi subsidi. Tapi penetapan harganya masih tetap dilakukan pemerintah (Menteri ESDM). Berdasarkan Permen ESDM No.39/2014 tenÂtang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah beberapa kali diubah Menteri ESDM pun akan menetapkan harga jual BBM khusus penugasan secara berkala dengan menggunakan formula tertentu.
Semangat dari regulasi terÂsebut pada dasarnya positif, konsisten dengan Konstitusi UUD 1945, agar BBM yang meÂrupakan komoditas yang meÂnguasai hajat hidup masyarakat luas tetap diatur atau diinterÂvensi oleh Negara c.q PemeÂrinÂtah. Akan tetapi intervensi keÂbijakan harga yang tidak disertai kebijakan subsidi akan memÂberiÂkan konsekuensi bagi keÂuanÂgan pelaksana penugasan.
Jika reviu dan penetapan harga secara berkala sebagaiÂmana yang diamanatkan reguÂlasi tidak dilaksanakan secara konsisten, sementara di APBN tidak ada lagi alokasi subsidi untuk BBM khusus penugasan, beban subsidi akan bergeser dari pemerintah (APBN) menÂjadi beban korporasi yang meÂlaksanakan penugasan terÂsebut. Kondisi inilah yang sebenarnya terjadi pada saat ini.
Meskipun pelaksana penuÂgasÂan adalah BUMN (PerÂtamina), yang urusannya deÂngan APBN sering disebut kantong kiri dan kanan, kondisi yang terjadi saat ini sesugguhnya tidak baik unÂtuk semua. Bagi pemerintah, tidak terbiasa memisahkan deÂngan tegas mana fungsi pemeÂrintah dan mana fungsi korÂporasi. Sementara bagi PerÂtamina, menjadi tidak terÂbiasa deÂngan budaya korÂporasi yang harus mencari profit, tumÂbuh, dan berkemÂbang secara profesional.