Pertamina Mestinya Masih Bisa Tekan Harga Elpiji 12 Kg

Detik Finance, 07/08/2009

Jakarta – PT Pertamina (persero) harusnya bisa mampu mengefisienkan komponen alpha dalam penjualan elpiji 12 kg. Jika bisa efisien, seharusnya harga elpiji tidak lebih dari Rp 5.000 per kg.

Saat ini Pertamina menjual elpiji 12 kg sebesar Rp 5.250 per kg. Dengan besarnya komponen alpha, maka Pertamina memang ‘layak’ menanggung kerugian.

Direktur Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, Pertamina diperkirakan harus menanggung kerugian sebesar Rp 21.000-Rp 24.000 dari setiap satu tabung elpiji 12 Kilogram yang dijualnya.

Menurutnya, dengan asumsi elpiji aramco US$ 500-515 per ton, nilai tukar rupiah 10.000 per dolar AS, PPN 10 persen dan alpha sebesar 40 persen, maka harga keekonomian elpiji mencapai Rp 7.500- Rp 7.750 per kilogram. Sementara saat ini, Pertamina menjual elpiji 12 kilogram seharga Rp 5.250 per kilogram.

“Sehingga rugi yang harus ditanggung Pertamina sebesar Rp 1.750- Rp 2.000 per kilogram,” kata Pri Agung kepada detikFinance, Jumat (7/8/2009).

Menurut Pri Agung, sebenarnya kerugian tersebut bisa ditekan jika Pertamina mampu mengefisiensikan komponen alpha (transport, storage, distribusi,margin). Ia menilai, alpha 40 persen yang ditetapkan Pertamina itu masih terlalu tinggi dan masih bisa ditekan hingga di bawah 25 persen.

“Kalau bisa dibawah 25 persen, ya bisa lebih kecil ruginya. Harga produk elpiji sendiri (tanpa lain-lain) sebenarnya kan tidak lebih dari Rp 5.000 per kilogram,” jelas Pri Agung.

Seperti diketahui, PT Pertamina (Persero) telah mengajukan usulan kenaikan harga elpiji 12 Kilogram kepada pemerintah.

Menurut Vice Presiden Pertamina Basuki Trikora Putra, jika harga elpiji 12 Kilogram tidak dinaikkan hingga tahun depan maka subsidi yang ditanggung Pertamina akan semakin besar.

“Jangan sampai beban subsidi Pertamina menjadi besar untuk elpiji 12 KG,” ungkap Basuki dalam pesan singkatnya, Kamis (6/8/2009).

Namun sayangnya, Basuki belum mau menyebutkan besaran kenaikan yang diajukan oleh Pertamina tersebut.

“Besarannya nanti ditetapkan pemerintah, tapi yang jelas dalam perhitungannya kita sangat memperhatikan masyarakat sehingga tidak membebani,” kata Basuki.

Sementara itu, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengaku pihaknya telah menerima surat pengajuan kenaikan harga elpiji ukuran 12 Kilogram tersebut dari Pertamina.

“Saat ini hal itu sedang dievaluasi oleh Dirjen Migas,” kata Purnomo di sela acara Diskusi mengenai Penyusunan Roadmap Sektor Ketenagalistrikan, di Menara Kadin, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (6/8/2009).

(epi/qom)

Pembelian Saham NNT Pekan Ini
Selasa, 04 Agustus 2009
“Jika beli 14 persen saham NNT pemerintah harus menyiapkan 492 juta dolar AS.

JAKARTA Keputusan pemerintah untuk membeli atau tidak 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) senilai 492,8 juta dolar AS akan ditetapkan pekan ini. Bila pemerintah jadi membeli saham NNT, sebaiknya lewat BUMN daripada membebani APBN 2010.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan, keputusan tersebut disesuaikan jadwal yang telah ditetapkan. ”Insya Allah pekan ini diputuskan,” kata Sri usai pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal RAPBN 2010 di depan Rapat Paripurna Luar Biasa DPR di Jakarta, Senin (3/8). Namun, ia enggan berkomentar apakah pemerintah membeli atau tidak saham Newmont tersebut. ”Kalau saya beritahu, nanti mendahului surat ke Presiden,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, mengharapkan menkeu sudah memberikan kepastian penawaran saham divestasi NNT pada akhir bulan Juli 2009. Penetapan waktu tersebut terkait dengan batas waktu penyelesaian saham Newmont sesuai keputusan arbitrase internasional pada 27 September 2009. ”Waktu kami sempit. Jadi, akhir bulan ini diharapkan sudah ada keputusan menkeu,” kata Purnomo.

Arbitrase internasional memerintahkan Newmont mendivestasikan 17 persen saham tahun 2006-2008 yang tertunda. Newmont akan mendivestasikan 10 persen saham untuk tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar tiga persen dan tujuh persen kepada pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat. Sementara Pemerintah pusat akan mengambil divestasi 2008 dan 2009 yang masing-masing sebesar tujuh persen. Sesuai putusan arbitrase, harga saham divestasi 2006, 2007, dan 2008 paling lambat diselesaikan 27 September 2009. Tim Pemerintah RI dan Newmont pada 14 Juli 2009 sudah menyepakati harga 100 persen saham Newmont untuk menghitung saham divestasi tahun 2008 dan 2009.

Direktur Eksekutif Reforminer Institut, Pri Agung Rakhmanto, menyambut baik rencana pemerintah yang akan segera memutuskan saham divestasi Newmont pada pekan ini. ”Hal ini sebetulnya sudah lama ditunggu-tunggu, supaya jelas BUMN yang mana yang akan membelinya,” kata Pri kepada Republika.

Pri menduga lamanya keputusan ini dibuat terkait dengan RAPBN 2010. ”Mungkin pemerintah masih menunggu untuk dimasukkan ke RAPBN atau bisa juga tidak,” kata Pri. Karena jika memang terkait RAPBN tidak terlalu beralasan jika harus menunggu sekian lama. ”Saya pikir lebih bagus diberikan ke BUMN daripada RAPBN. Mekanisme financing-nya agak mepet jika harus masuk ke RAPBN,” kata Pri.

Tapi yang ditakutkan jika pemerintah dan BUMN tidak jadi membeli divestasi NNT. Jika itu terjadi, bisa saja perusahaan swasta nasional yang masuk walaupun bisa saja dananya justru dari luar negeri atau bahkan dari Newmont sendiri sehingga setelah dibeli pemiliknya bisa berganti. ”Jika seperti ini tujuan divestasi jadi tidak tercapai.” tandas Pri. cep/ant Divestasi NNT Tahun Harga NNT Divestasi 2006 3,63 miliar dolar AS 109 juta dolar AS 2007 4,03 miliar dolar AS 282 juta dolar AS 2008 3,52 miliar dolar AS 246 juta dolar AS 2009 3,52 miliar dolar AS 246 juta dolar AS @ Republika Online

Lifting Minyak 2010 Dinilai Tak Realistis

detikFinance, 3 Agustus 2009

Jakarta – Lifting minyak dalam RAPBN 2010 ditargetkan 965 ribu barel per hari (bph) atau naik dari 2009 yang sebesar 960 ribu bph. Namun sejumlah kalangan menilai target ini tidak realistis. Ada yang menganggap target tersebut terlalu rendah, namun ada juga yang menilai target itu terlalu tinggi.

Menurut pengamat perminyakan Kurtubi, meski target lifting 2010 sudah naik, namun target tersebut dinilai masih terlalu rendah karena seharusnya lifting minyak bisa digenjot hingga 980 ribu-1 juta bph.

“Sasaran lifting RAPBN 2010, 965 ribu bph terlalu rendah. Sasaran tersebut menggambarkan bahwa Pemerintah tidak melakukan apa-apa. Soalnya lifting saat ini sudah sekitar 960.000 bph,” jelasnya dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Senin (3/8/2009).

Menurut Kurtubi, salah satu yang bisa menggenjot lifting minyak adalah Blok Cepu yang akan berproduksi dalam beberapa minggu ke depan.

“Beberapa minggu yang akan datang, Blok Cepu sudah akan berproduksi 20.000 bph. Jadi sasaran yang lebih tepat adalah antara 980 ribu-1 juta bph dengan disertai upaya serius dan kerja keras BP Migas dan Departemen ESDM,”paparnya.

Berbeda dengan Kurtubi, Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto justru pesimistis lifting sebesar 965 ribu bph pada 2010 bisa tercapai.

“965 ribu bph itu terlalu tinggi, sulit dicapai. Setahu saya tidak ada lapangan baru yang bisa untuk menambah produksi secara signifikan selain Blok Cepu,” ungkapnya.

Kalaupun Blok Cepu benar-benar berproduksi, lanjut Pri Agung, pada tahun depan produksi maksimalnya hanya mencapai 15-20 ribu bph. Menurut Pri Agung, dengan mempertimbangkan penurunan alamiah dari lapangan-lapangan tua sekitar 5%, maka total produksi 2010 hanya sekitar 912 ribu bph.

“Kalaupun toh upaya mengurangi decline yang dilakukan membuahkan hasil paling totalnya hanya bisa sampai 920-925 ribu bph saja,” paparnya.

Sementara Direktur Eksekutif Center for Indonesia Energy and Resources Law, Ryad A Chairil mengatakan, seharusnya pemerintah tak lagi mengandalkan pendapatan dari lifting minyak mentah. Jika kreatif, pemerintah harusnya bisa menargetkan pendapatan negara dari migas hingga 2 kali lebih besar.

“Karena banyak potensi dalam slot migas yang bisa di excercise pemerintah untuk men-generate pendapatan negara. Untuk meningkatkan pendapatan pemerintah harus cerdas dan cermat termasuk mengalokasikan derivasi industri dari sektor migas,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan, dengan struktur yang sekarang, lifting minyak 2010 jelas terlalu tinggi karena ada faktor yang tidak dimasukkan. Ia juga menilai banyak pemborosan yang tidak diantisipasi karena jeleknya pengaturan.

Sementara itu, Kepala BP Migas R Priyono mengatakan pihaknya akan berusaha secara maksimal agar target lifting minyak tahun depan bisa tercapai.

“Kalau Presiden bilang begitu, artinya harus diusahakan maksimal,” katanya dalam pesan singkatnya kepada detikFinance.

Sementara itu berdasarkan data BP Migas, produksi minyak sampai dengan tanggal 30 Juli 2009 yaitu mencapai 946.328 bph yang terdiri dari minyak 822.695 bph dan kondesat 123.633 bph. (epi/lih)

ICP US$ 60 Buka Peluang Kenaikan BBM di 2010

detikFinance, 03/08/2009

Jakarta – Asumsi harga minyak (ICP) di RAPBN 2010 sebesar US$ 60 per barel dinilai terlalu rendah dan berisiko membuka peluang untuk kenaikan harga BBM di tahun depan. Asumsi minyak tahun depan seharusnya ada di kisaran US$ 70 per barel.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Senin (3/8/2009). “ICP US$ 60 per barel cenderung terlalu rendah dan berisiko. Asumsi US$ 60 per barel ini cenderung politis. Peluang harga BBM naik tahun depan sepertinya terbuka lebar jika pemerintah hanya memasang US$ 60 ini,” katanya.

Menurut Pri Agung, jika melihat kondisi saat ini dimana ICP sudah mencapai US$ 61 per barel, seharusnya asumsi yang digunakan untuk RAPBN 2010 bekisar US$ 65-70 per barel. “Mestinya asumsi tahun depan lebih tinggi daripada itu, seiring perekonomian global yang sudah lebih baik. Yang lebih realistis dan lebih aman dalam hitungan saya adalah US$ 65-70,” katanya.

Pengamat perminyakan Kurtubi pun setuju bahwa asumsi ICP sebesar US$ 60 terlalu rendah. Seharusnya pemerintah menggunakan angka US$ 75 per barel sebagai asumsi ICP 2010 karena pada ekonomi AS dan dunia yang sudah pulih dan akan mendorong harga minyak naik. “Jika lifting dan harga minyak dinaikkan sesuai saran saya tersebut maka besaran RAPBN 2010 bisa ditingkatkan untuk dapat lebih banyak menciptakan lapangan kerja,” ungkapnya.

Batas Akhir HoA, Konsorsium Senoro Sebaiknya Cari Pembeli Lokal

detikFinance,31/07/2009 08:55 WIB

Jakarta – Batas waktu Head of Agreement (HoA) jual beli LNG Senoro dengan pembeli di Jepang akan habis hari ini. Namun pemerintah tak kunjung memberikan persetujuan atas HoA tersebut.

Konsorsium DS LNG pun disarankan jangan memaksakan rencananya untuk mengekspor gas alam cair ke Jepang dan mulai mencari pembeli dari dalam negeri saja. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Jumat (31/7/2009).

“Konsorsium sebaiknya jangan terpaku dan jangan memaksakan harus mengekspor gas ke Jepang saja,tapi justru juga harus kreatif mencari pembeli domestik,” kata Pri Agung.

Menurutnya, jika konsorsium pengembang LNG Senoro merasa keekonomian proyek tidak bisa terpenuhi dengan memasok gas ke domestik, seharusnya konsorsium membicarakannya dengan pemerintah dan mencari solusi bersama. “Misalnya meminta pemerintah memberi insentif-insentif tertentu,” ungkapnya.

Pri Agung menegaskan dari sisi kepentingan nasional yang lebih luas, memang akan lebih baik jika gas tidak diekspor. Untuk itu, ia menilai keputusan pemerintah yang belum memberikan persetujuan kepada konsorsium dimaksudkan agar gas tidak jadi diekspor, sudah tepat. “Prinsip itu yang mestinya pemerintah pegang. Jangan hal itu dikalahkan oleh kepentingan korporat,” tandasnya.

Seperti diketahui, rencana eskpor LNG Donggi Senoro hingga kini belum ada kejelasan. Rencana semula konsorsium untuk mengekspor LNG Senoro ke pembeli di Jepang, tersandung intruksi Wapres Jusuf Kalla agar semua potensi gas yang ada dipasok ke pasar domestik. Padahal konsorsium pengembang proyek gas Senoro yang terdiri dari Pertamina, Medco dan Mitsubishi sudah menyepakati dengan Head of Agreement (HoA) dengan pembeli asal Jepang, yaitu Chubu Electric Power Co Inc dan Kansai Electric Power Co Inc. Hari ini merupakan batas akhir HoA jual beli LNG Senoro antara konsorsium dengan pembeli asal Jepang tersebut, namun pemerintah masih belum juga menunjuk sinyal positif untuk memberikan persetujuan atas rencana konsosium mengeskpor LNG itu ke Jepang.