Defisit Neraca Migas Terus Berlanjut

Media Indonesia, 3 Juni 2011

JAKARTA–MICOM: Deputi Direktur Bidang Riset Reforminer Institute Komaidi menyampaikan bahwa dalam 3 tahun terakhir rata-rata tahunan neraca migas nasional selalu mengalami defisit. Hal tersebut dikarenakan produksi minyak nasional yang sekitar 945 ribu hingga 950 ribu barel per hari masih belum bisa memenuhi kebutuhan minyak yang sebesar 1,5 juta barel per hari.

“Dalam 3 tahun terakhir memang neraca migas selalu defisit. Di bulan tertentu kadang defisit, kadang surplus, tetapi rata-ratanya defisit,” kata Komaidi, Kamis (2/6). Ia menjelaskan hal tersebut terjadi karena produksi minyak nasional tidak bisa memenuhi kebutuhannya.

Komaidi melihat tidak terpenuhinya kebutuhan minyak nasional disebabkan oleh dua hal, yaitu tidak tersedianya kilang untuk menampung produksi minyak mentah dan tidak tercapainya lifting minyak mentah nasional. Ia menyebutkan bahwa kilang minyak dalam negri hanya mampu menampung kapasitas 700-850 ribu barel per hari dari kebutuhan 1,5 juta barel per hari.

Kurangnya kapasitas kilang dianggap membuat Indonesia harus mengekspor minyak mentah dan mengimpor minyak setengah jadi atau jadi yang nilai tambahnya lebih mahal. Jika hal tersebut dilakukan terus ditambah lagi defisit yang terus membesar, Komaidi menilai defisit migas Indonesia akan mengalami tren meningkat ke depan.

“Kita kan impor produk setengah jadi atau sudah jadi yang ada nilai tambahnya. Kita hanya mengekspor minyak mentahnya,” katanya. Maka pemerintah diminta membenahi masalah kilang agar mampu menampung produksi minyak mentah nasional. Baca Selengkapnya

Renegosiasikan Kepemilikan

Kompas, 4 Juni 2011

Jakarta, Kompas – Renegosiasi kontrak karya di sektor pertambangan umum dan minyak bumi hendaknya dipersiapkan secara matang agar tidak merugikan bangsa Indonesia. Pemerintah juga semestinya memprioritaskan peran nasional dalam penguasaan sektor pertambangan melalui divestasi atau pengalihan hak partisipasi.

Pandangan ini dikemukakan sejumlah pengamat pertambangan dan energi di Jakarta, Jumat (3/6), menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 3/6). Presiden menegaskan, pemerintah mengambil kebijakan akan merenegosiasi semua kontrak karya dengan perusahaan dan mitra dari negara lain yang dirasa tidak adil atau merugikan Indonesia.

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyatakan, pemerintah masih melakukan pemetaan dan penilaian terhadap kontrak karya asing dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sejauh ini belum ada laporan yang cukup kepada Presiden tentang keseluruhan kontrak yang berlangsung, khususnya yang berjangka panjang.

Newmont jadi model

Menurut pengamat energi Kurtubi, dalam kontrak karya untuk pertambangan umum ada dua hal yang perlu diperbaiki. Pertama, besaran royalti perlu dikoreksi karena royalti saat ini sangat rendah lantaran merupakan peninggalan zaman kolonial. Selain itu, pemegang kontrak karya juga diwajibkan mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pemerintah (pusat dan daerah), seperti model kontrak karya PT Newmont Nusa Tenggara di Nusa Tenggara Barat.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu, menjelaskan, pihaknya akan berada di garda terdepan dalam setiap negosiasi kontrak tambang pada masa mendatang dengan model yang digunakan terhadap tambang emas Newmont. Keikutsertaan pemerintah dalam manajemen untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari dividen, pajak, dan royalti.

Renegosiasi, menurut Agus, diharapkan akan menyebabkan kepemilikan nasional tetap dominan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun swasta nasional. Ini dilakukan atas kepemilikan di tambang Newmont, yakni mempertahankan kepemilikan nasional 51 persen, di mana pemerintah pusat memiliki 7 persen saham, pemerintah daerah dan swasta nasional 24 persen, serta 20 persen pihak swasta nasional murni.

Sistem konsesi

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto mengemukakan, untuk pertambangan umum, renegosiasi memang sangat perlu dilakukan. Tidak hanya untuk renegosiasi besaran royalti yang saat ini sangat rendah, yaitu hanya 1 persen hingga 3,5 persen dari nilai penjualan bersih, katanya.

Renegosiasi itu juga menyangkut sistem konsesi kontrak karya yang digunakan dan cenderung longgar dalam pengawasan. Royalti seharusnya lebih berkeadilan, yakni semestinya dikenakan 20-30 persen dari nilai penjualan kotor, bukan nilai penjualan yang sudah dikurangi biaya-biaya, ujarnya.

Komisaris Utama Medco Energi International Hilmi Panigoro sebelumnya mengatakan, dengan kondisi penguasaan modal dan teknologi yang masih terbatas, perlu dikombinasikan kekuatan perusahaan nasional dengan multinasional dalam sektor migas.Hilmi menjelaskan, pemerintah bisa mendorong kemajuan perusahaan migas nasional, antara lain mengubah desain kontrak kerja sama migas agar lebih fleksibel. Lapangan produksi dan eksplorasi yang ditemukan pada akhir kontrak bisa diperpanjang, tetapi untuk wilayah yang lain harus dikembalikan kepada pemerintah dengan cara dilelang.

Pemerintah juga bisa memprioritaskan lapangan migas yang tak membutuhkan biaya dan teknologi tinggi untuk dikelola perusahaan migas nasional melalui mekanisme bisnis jelas, bukan nasionalisasi.

Cara ini dipraktikan di Meksiko. Lapangan-lapangan milik perusahaan multinasional dibeli sedikit demi sedikit sampai akhirnya dikuasai. Dengan cara ini perusahaan multinasional yang keluar dari Meksiko pun tetap diperlakukan adil dan iklim investasi aman, ujar Hilmi.

Di sektor migas, menurut Kurtubi, isi kontrak yang harus diubah adalah kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) harus diubah dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi selaku wakil pemerintah menjadi badan usaha milik negara, yakni PT Pertamina.

Hal ini bertujuan agar negara tidak dirugikan, antara lain dalam kontrak PSC yang sudah selesai, BUMN bisa 100 persen mengambil alih sehingga peluang untuk dijadikan sumber oleh pihak tertentu bisa dihilangkan, katanya. Dengan demikian, pada akhirnya Indonesia akan dapat mengoperasikan mayoritas lapangan migas di Indonesia.

Pri Agung menyatakan, sistem PSC sebenarnya sudah cukup bagus bagi negara, tetapi dalam implementasi perlu lebih dioptimalkan. Renegosiasi tidak diperlukan secara menyeluruh seperti halnya di tambang umum, hanya pada kasus-kasus tertentu saja, seperti Blok Tangguh dan East Natuna, ujarnya.

Berdasarkan data BP Migas, ada beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas yang akan berakhir masa kontraknya kurang dari 10 tahun. Masa kontrak Total E & P Indonesie yang mengelola Blok Mahakam, misalnya, akan berakhir pada 2017. Beberapa KKKS akan berakhir kurang dari 10 tahun, kata Deputi Keuangan BP Migas Wibowo S Wirjawan.

Penerapan Royalti Migas Dinilai Hanya Untungkan Kontraktor

Indonesia Finance Today, 31 Mei 2011

JAKARTA (IFT) Keinginan beberapa kontraktor kontrak kerja sama mengubah skema kontrak bagi hasil (production sharing contract) menjadi royalti dinilai hanya menguntungkan kontraktor, kata analis minyak dan gas bumi. Kontraktor lebih senang menggunakan skema royalti karena tidak menghitung biaya produksi minyak yang dibebankan kepada negara (cost recovery) bersama pemerintah.

Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan perubahan model kontrak bagi hasil ke royalti jika diterapkan adalah langkah mundur. Bila persoalannya pada cost recovery yang terus membengkan sedangkan produksi minyak cenderung turun, penyelesaiannya tidak harus dengan mengganti sistem secara total.

Jika harus diubah, BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) yang harus dibenahi. Mereka jangan lagi terlibat dalam mikro manajemen kontraktor migas, ujar Pri, Senin.

Cost recovery migas selama kurun 2003-2010 mencapai US$ 69,62 miliar atau rata-rara US$ 8,7 miliar per tahun. Namun tingginya cost recovery tidak diimbangi produksi minyak yang rata-rata di bawah 980 ribu barel per hari.

Pri juga mempersoalkan alasan penerapan royalti dalam pengelolaan migas. Bila mengaju pada model royalti yang diterapkan di Amerika Serikat atau negara-negara maju, besar royalti sekitar 20%-30% dari pendapatan kotor (gross revenue) kontraktor, itu bisa dipertimbangkan.

Bila royaltinya seperti di pertambangan umum, yakni dikenakan setelah dikurangi biaya, baru royalti, menurut Pri, itu merugikan Indonesia karena penerimaan yang akan diperoleh paling hanya 20% dari gross revenue. Sebaliknya, bila sistem bagi hasil yang diterapkan, pemerintah bisa mendapat 50% dari gross revenue kontraktor. Enak di kontraktor enggak enak di pemerintah, katanya.Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Energi Nasional menilai, jika diterapkan system royalti, hal itu yang diinginkan kontraktor. Dalam sistem pajak dan royalti biasanya revenue yang dihasilkan diterima kontraktor sendiri. Kontraktor kemudian membayar pajak dan royaltinya berdasarkan revenue yang dikurangi.

Dalam kontrak bagi hasil, menurut Widjajono, hasil produksi harus dihitung dulu bersama pemerintah. Setiap kontraktor mau apapun harus minta izin dulu. Dalam sistem royalti, pengawasan dari pemerintah ringan dan lebih longgar, manajemen ada di tangan perusahaan sehingga korupsi marak karena lebih gampang.

Lihat saja di sektor pertambangan batu bara, pajaknya bisa dimainkan. Ini memang menyenangkan bagi kontraktor. Untuk mainin pajak, bisa menipu di revenue-nya atau di-tax- nya,katanya.

Romahurmuziy, Sekretaris Fraksi PPP yang juga mantan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, justru menilai positif penerapan sistem royalti dalam kontrak pertambangan migas. Selain menghapus cost recovery, mekanisme yang selama ini menghambat seperti Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan akan hilang.

Menurut Roma, selama ini ini bottleneck ada di operasional karena lambatnya persetujuan dari BP Migas. Dengan system royalti, fleksibilitas kontraktor sebagai entitas bisnis lebih leluasa. Penerapan sistem royalti paling tidak bisa menjadi kanalisator kebuntunan proses persetujuan investasi migas kita, ujarnya.

Widjajono menyarankan, pemerintah sebaiknya menerapkan sistem yang fleksibel dalam kontrak migas. Jika keuntungan rendah, pemerintah memberikan pajak yang rendah bagi kontraktor. Sebaliknya jika keuntungan tinggi maka pajaknya juga tinggi. Ini akan sangat menarik bagi dunia usaha. Jadi masalahnya split (pembagiannya) itu harus fleksibel,kata dia.

Sebelumnya eksekutif PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional Tbk mengusulkan kepada pemerintah untuk menerapkan model royalti dalam pengelolaan ladang migas untuk menggantikan skema kontrak bagi hasil. Dengan penerapan royalti, kontraktor lebih efisien dan pemerintah tidak menanggung beban cost recovery

Pemerintah Tak Tegas Terhadap Harga Elpiji 12 Kg

DetikFinance, 28 Mei 2011

Jakarta – Meruginya elpiji 12 kg yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) merupakan permasalahan yang klasik. Pasalnya, dengan harga jual yang dibawah harga keekonomian membuat Pertamina merugi cukup tinggi.

Namun, jika harganya dinaikan, maka akan banyak masyarakat yang beralih ke elpiji 3 kg yang disubsidi karena jauh lebih murah. Kasusnya mirip disparitas harga BBM bersubsidi (premium) dan Pertamax.

“LPG 12 kg itu permasalahan lama, masalah pengaturan,” kata Pri Agung, selaku Direktur Eksekutif ReforMiner Institute kepada detikFinance, Jakarta (Sabtu 28/5/2011).

Menurutnya, persoalan tabung elpiji 12 kg ini hampir sama analoginya seperti pertamax dan premium. Pemerintah tidak mau merubah disparitas harga yang tinggi.

“Pemerintah selalu bilang bahwa untuk tabung LPG 3 kg mekanisme distribusinya tertutup. Namun tetap saja terbuka, sehingga orang yang mampu tetap membeli tabung ukuran 3 kg tersebut,” katanya.

Seperti diketahui, pada Rapat Dengar Pendapat beberapa waktu lalu antara Pertamina dan Komisi VII DPR RI, dilaporkan bahwa Pertamina alami kerugian untuk tabung LPG 12 Kg senilai Rp 1 triliun pada triwulan pertama 2011. Baca Selengkapnya

Pemerintah Sulit Tanggulangi ‘Bobolnya’ Subsidi Premium

DetikFinance, 28 Mei 2011

Jakarta – Pemerintah dinilai akan sulit menekan bobol-nya kuota BBM Bersubsidi alias premium meskipun fungsi pengawasan melalui BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas) diperketat lagi.

Demikian disampaikan oleh Pengamat Perminyakan, Pri Agung Rakhmanto ketika dihubungi detikFinance, Jakarta, Sabtu (28/5/2011).

“Pemerintah justru semakin terlihat tidak kongkrit. tidak bisa lah mengendalikan BBM (bersubsidi) dengan yang dikatakan melalui pengetatan fungsi BPH Migas,” ujar Pri Agung yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif ReforMiner Institute.

Dirinya menambahkan, melakukan penambahan personel BPH Migas yang memang masih kurang untuk melakukan pengawasan distribusi BBM bersubsidi pun juga sulit. Pasalnya, secara birokrasi, hal tersebut tidak mudah dan banyak yang perlu dilihat, termasuk segi anggaran pemerintah.

“Memangnya kalau BPH Migas ditambah tetap bisa mengawasi seluruh wilayah yang ada di Indonesia?” tanyanya.

Pri Agung juga mengatakan, akibat aturan yang belum jelas, maka masih ada tindak penyelewengan terhadap BBM Bersubsidi yang dilakukan di beberapa SPBU kepada ‘oknum’ tertentu.

“Aturan mainnya kan harus dikenai sanksi kalau ada SPBU atau Oknum yag ‘bermain’. Sumber masalahnya adalah, di samping aturan yang tidak jelas, disparitas harga (Pertamax Cs vs Premium Cs) yang besar pun masih ditahan oleh pemerintah,” jelasnya.

Akibatnya, katanya, ketika ada disparitas harga yang tinggi, maka muncul distorsi, penyelundupan, oplosan, dan lain sebagainya terhadap BBM Bersubsidi. “Itu natural, sudah hukum ekonomi,” timpalnya.

Pada akhirnya, Pri Agung hanya menekankan, bahwa solusi terhadap masalah BBM Berubsidi hanya dua. Yakni, politis dan ekonomi.

“Secara politis, mereka bisa memperketat kuota, tapi antrian akan terjadi di mana-mana. Sedangkan kalau dari sisi ekonomi, pemerintah harus menambah kuota, menambah anggaran subsidi, atau menaikkan harga Premium,” ucap Pri Agung. Baca Selengkapnya